enam

999 159 4
                                    

Hatchii..

Tiba-tiba Naruto bersin di tengah ruangan hangat. Dia tersenyum kikuk menoleh pada semua mata yang melihatnya dengan tatapan heran.

"Maaf," kata si peramal lelaki itu.

Tidak ingin berbuat konyol lagi. Naruto berdiri meninggalkan ruangan menuju pintu keluar.

Dewan sedang berbincang-bincang tak terdengar di dekat sungai. Naruto memandangi mereka dengan tidak minat.

Tiba-tiba ada sebuah suara di kepalanya.

"Kau bertanya namaku?"

Naruto menggeleng refleks.

Angin dingin menyentuh kulit. Naruto melipat tangan di dada, menghalau angin menerpa tubuh. Dia tidak ingin sakit saat baru saja sehari menjadi peramal negeri.

Lalu dalam lamunannya, sosok itu datang lagi.

Rambut panjang merah melambai tertiup angin. Senyumnya sombong, dan tangannya terulur ke depan.

"Namaku Kyuubi."

Naruto batuk parah setelah sosok itu mengucap nama dan menghilang begitu saja. Dari mulutnya keluar lagi helaian rambut merah. Kali ini lebih banyak, membuat Naruto tersedak parah.

"Naruto-chan," pundaknya di tepuk pelan oleh seseorang. Seseorang yang tidak melihat apapun selain Naruto yang sibuk melamun.

Naruto menoleh. Tersadar bahwa dirinya tidak lagi terbatuk seperti barusan. Atau memang tidak terbatuk sama sekali.

" I-Iya," sahut Naruto. Ia memerhatikan salah satu bopeng di wajah Dewan ini. Bergidik ngeri.

"Ada apa?" tanya Naruto gugup.

Yang di tanya tersenyum penuh maksud. Lengkap dengan cairan liur yang menetes hijau hingga ke jubah hitamnya.

Naruto bergidik lagi.

Apa orang lain benar-benar tidak melihat ini. Kenapa hanya Naruto yang bisa melihat keburukan di wajah para Dewan.

"Keluargamu tidak datang." anggota Dewan itu memberitakan.

Naruto diam. Dia tahu ini. Tanpa mengerahkan kemampuannya membaca masa depanpun, firasatnya jauh lebih dulu mengatakan kalau hal ini akan terjadi padanya malam ini.

"Mito-san sakit, saudarimu tengah merawatnya. Dan satu-satunya pria di rumah itu hanya mengirimkan selembar kertas ini," dewan itu menyodorkan secarik kertas yang di lipat rapi. "Untukmu." lanjut si dewan itu dengan suara bergetar seperti menahan tawa.

Naruto memandang tangan yang terulur itu. Kukunya yang hitam terlihat jelas oleh mata. Namun kali ini Naruto tidak bergidik demi kesopanan.

Kertas surat itu ditarik pelan. Di ambil tanpa dibaca langsung oleh si pirang. Dia menyimpan dalam saku lengan kimononya untuk dibaca nanti.

"Terima kasih." ucap Naruto tulus walau tidak disertai senyuman.

"Aku Hidan." kata Dewan itu tiba-tiba, "yang menarik tanganmu tadi siang. Kau ingat?" seringai Hidan menampakan banyak luka yang menghijau di bibirnya.

Naruto mengangguk setelah menelan ludah kering.

"Temui aku jika kau membutuhkan apapun." Hidan melihat mata Naruto sebelum pergi berbalik menjauhi sang peramal.

Naruto melihat punggung lebar itu meninggalkannya. Diam-diam ia berharap tidak membutuhkan apapun selama tinggal di menara hingga ia tak harus menemui para Dewan.

Tepat setelah Dewan bernama Hidan itu pergi, Naruto didatangi kawan-kawannya sesama peramal yang mengatakan bahwa keluarga merekapun sama-sama tidak bisa datang pada kunjungan pertama malam ini.

Tanabata Legend : ORACLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang