Zee POV
Apa yang barusan Justin katakan? Apa aku tidak salah dengar? Ku rasa aku harus membersihkan telingaku ketika sampai di rumah nanti. Tapi menurutku aku tidak salah dengar, Justin mengatakan bahwa dia hanya mencintaiku. aaaa aku senang sekali, eh- tapi mana mungkin dia menyukaiku. Dia berpacaran dengan Ami, kn? Ah, sudahlah. Ku rasa aku sudah sedikit gila karena kejadian 3 minggu lalu di pesta ulang tahunku. Sekarang aku sudah tidak peduli lagi dengan apa yang akan terjadi besok. Toh, tidak ada orang memperhatikanku lagi kecuali keluargaku dan Skandar.
Ngomong-ngomong soal Skandar, kami akan berangkat bersama besok. Katanya dia akan menjemputku di rumah. Aku tersenyum lebar mengingat masih ada orang yang masih sangat memperhatikanku.
"Kau memikirkan apa?" ucapan Justin membuyarkan lamunanku. Haihh, aku lupa bahwa sekarang aku masih berada di mobil Justin. "Hei, kau mendengarku tidak?"
"Ini bukan urusanmu!" ucapku ketus dan memalingkan wajahku ke jendela. Mungkin memperhatikan kendaraan yang berlalu lalang lebih menarik dibanding melihat Justin.
Author POV
Setelah melakukan percakapan singkat itu, tidak ada lagi yang mau membuka suara diantara mereka berdua. Membiarkan keheningan masuk diantara mereka. Beberapa menit kemudian mereka sampai di gerbang rumah Zee. Gadis itu langsung membuka pintu dan berjalan membuka gerbang rumahnya, namun aksinya di gagalkan oleh Justin yang berhasil mencekal tangan Zee sebelum gadis itu masuk ke dalam rumahnya.
"Apa?" ucap Zee dengan nada kesal yang sangat ketara.
"Apakah tidak ada ucapan terimakasih?" ucap Justin dengan santainya, tidak memperdulikan nada kesal yang terlontar dari mulut gadis yang ada di depannya itu.
"For what?" tanya Zee bingung.
"Tidakkah kau tahu bahwa aku baru saja mengantarmu pulang Zee?" Justin mengucapkannya dengan sangat lembut. Setahu Justin, sebesar apa pun pertengkarannya dengan Zee, gadis itu pasti akan tetap mengucapkan terimakasih pada Justin.
"Apa kau lupa bahwa kau yang membawaku pulang dengan cara paksa, hah? Seharusnya aku masih berada di sana dengan Fanya dan yang lainnya."
"Yaa, aku tahu. Tapi setidaknya ucapkanlah berterimakasihlah padaku."
"Astaga Justin! Aku sama sekali tidak pernah memintamu mengantarkanku. Kau yang memintanya, apa kau dengar aku, kau yang memaksaku memasuki mobil sialmu ini." ucap Zee sambil menendang ban mobil milik Justin dan melenggang masuk ke dalam rumahnya.
Justin terperangah melihat sikap Zee yang benar-benar berubah 180º dan ia tahu bahwa dialah faktor utama perubahan sikap Zee. Pria itu menjambak rambutnya frustasi, tidak percaya dengan segala perubahan yang ia berikan pada gadis yang di cintainya.
********
Pagi ini Zee berangkat bersama Skandar. Siswa-siswa di sana memandangi mereka yang berjalan menuju kelas, memperhatikan tangan mereka yang saling bergandengan. Zee sudah menganggap Skandar sebagai kakaknya. Skandar sangat memperhatikannya seperti adik kecil yang benar-benar butuh perhatian. Sedangkan Skandar masih tetap sama. Pria itu masih menyukai Zee.
Mereka masuk ke kelas. Zee duduk di kursinya dengan santai. Justin sudah berada di sampingnya, namun tidak ada yang ingin memulai pembicaraan. Beberapa menit kemudia guru matematika mereka masuk dan mereka memulai pelajaran dalam diam.
Zee merasa risih saat ini. Pasalnya Justin terus memandanginya dengan senyum tak jelas sejak tadi. Entah setan apa yang memasuki Justin hari ini, rasanya ia sangat ingin mengganggu Zee ketika belajar. Zee yang sudah tidak tahan lagi, membalas tatapan Justin dengan tatapan membunuh. Justin hampir tertawa melihat reaksi Zee.
Pelajaran matematika selesai dan guru pada jam selanjutnya tidak hadir. Mengetahui itu, Justin langsung menarik Zee ke atap sekolah. Tidak peduli dengan tatapan heran yang dilemparkan teman-teman sekelasnya. Ia sudah tidak akan kuat jika berdiaman dengan Zee lebih lama. Satu bulan berdiaman dengan Zee seakan terasa bertahun-tahun bagi Justin.
Kali ini Justin membawa Zee tanpa ada kendala sedikit pun, karena gadis itu sama sekali tidak memberontak terhadap tindakan yang Justin lakukan.
Mereka telah di atap saat ini. Justin melepas genggamannya dan langsung memeluk Zee. Memeluk gadis itu erat, melepaskan rasa rindu yang selama ini ia rasakan karena sedang bertengkar dengan gadis itu. Zee juga tidak menolaknya. Ia juga merindukan Justin, merindukan pelukan hangat pria itu. Namun Zee tidak membalasnya, egonya yang sangat tinggi melarangnya untuk membalas pelukan yang Justin berikan.
"Maafkan aku." kata Justin tiba-tiba. Zee hanya diam dengan wajah datarnya. "Hei, aku minta maaf Poo." ucap Justin lembut.
"Buat apa kau meminta maaf, kau tidak bersalah." kata Zee datar.
"Aku salah Zee, aku telah berpacaran dengan Ami. Maafkan aku." Justin menundukkan kepalanya.
"Sia-sia saja kau meminta maaf padaku. Aku tidak melarangmu berpacaran dengannya, kan. Kau menyukainya, jadi kau berhak berpacaran dengannya. Aku hanya... sekedar temanmu, tidak ada hubungannya denganku jika kau berpacaran dengan Ami, toh kau menyukainya kan." ada rasa sakit dihati Zee saat ia mengatakan hal itu.
"Tidak Zee, kau sahabatku. Sahabatku dari kecil." ucap Justin lembut, ia tahu bahwa Zee ingin sekali menangis saat ini.
"Baiklah, aku sahabatmu dan kau adalah sahabatku. Tapi walaupun kita bersahabat, aku tak berhak menentukan siapa yang harus menjadi pacarmu Justin." ucap Zee mencoba normal. Bibirnya bergetar menahan air matanya agar tidak jatuh. Zee tidak mau lagi mengandalkan emosinya saat ini. Ia sedang dalam proses melepaskan Justin, merelakan pria itu bersama gadis lain. Ia tidak ingin egois lagi. Tapi jauh di dalam lubuk hatinya, dia tidak akan pernah bisa melepas Justin dari sisinya. Justin dalah tumpuannya selama ini.
"Tidak Poo. Ini semua salah. Kau tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi." ucap Justin mulai frustasi. Tapi ia tetap sabar menghadapi Zee, ia ingin menjelaskan semuanya.
"Sudahlah Justin, kita tidak perlu membahas hal sepele seperti ini lagi. Intinya hari ini kita berbaikan. Hari ini kita sudah tidak bertengkar lagi. Maafkan aku karena selama ini aku mendiamkanmu, oke? Aku tahu aku salah, dan aku minta maaf. Wooaaahh..." Zee menguap, setetes air matanya jatuh, ia sudah tidak bisa menahannya. "Sekarang aku mengantuk dan aku ingin tidur di kelas. Aku duluan, bye Justin."
Zee berjalan melewati Justin, butiran bening itu menetes dari mata Zee. Tidak, dia harus bisa menahannya. Paling tidak ia harus manahannya sampai ia tiba di rumah.
********
Pelajaran telah selesai. Justin dan Zee berbaikan namun tidak seperti biasanya. Mereka hanya bicara seperlunya saja. Zee mengemasi barang-barangnya kedalam tas dengan diam, begitu pula dengan Justin. Tiba-tiba Justin berdehem memecah keheningan diantara mereka.
"Ekhem,, ee... kau pulang bersamaku, kan?" ucap Justin agak canggung. Mereka tidak pernah seperti ini sebelumnya.
"Tidak, aku bisa pulang sendiri." balas Zee tanpa memangdang Justin.
"Ooh, ayolah Zee. Kita sudah berbaikan, kan? Jadi pulanglah bersamaku." paksa Justin.
"Baiklah. Jika kau memaksa."
_________
part 10
maaf lama, aku emang libur. tapi tugas sekolah numpuk.
ini aja aku nyuri2 waktu buat ngenext part ini.
maaf banget yaa.
bentar lagi end kok kayanya.
aku blm tau pasti
jangan lupa vote sama komen nya yaa
love u guys
KAMU SEDANG MEMBACA
Remember When
Teen FictionNamaku Zee, tepatnya Ziya Annabelle Morrison. Aku menyukai sahabat kecilku bernama Justin Bieber. Kami mendapatkan sahabat baru saat usia kami 13 tahun. Dia bernama Amily Xanders. Aku memberitahu nya bahwa aku mencintai Justin. Dan kalian tahu apa...