II

874 210 2
                                    

Written & Story: Moonlight-1222 & LeneChoi

***

Aroma amis menyengat melebihi aroma tuak. Merah pekat mewarnai suasana; tercecer ke setiap sudut. Pedang-pedang terhampar tanpa pemilik. Potongan demi potongan tubuh manusia yang berserakan layaknya daun kering, dan... Satohito yang ternyata adalah salah satu anggota Ninja Iblis.

Tamami berusaha meyakinkan dirinya bahwa semua itu adalah mimpi buruk saat terbangun dan mengenali suasana kamarnya. Ia pasti terlalu serius membaca sampai-sampai terbawa ke alam mimpi. Tersenyum lega sebelum turun dari tempat tidur dan menggeser shoji yang menghadap ke taman.

Pemandangan taman kediamannya yang indah semakin meyakinkannya bahwa semua yang dialaminya semalam hanyalah mimpi—sebuah mimpi buruk. Ia menyesap aroma pagi yang menenangkan sampai seseorang mengetuk pintu kamarnya dengan panik. Seorang pelayan berlari ke arahnya dengan bercucuran air mata. Mengindahkan asingnya wajah sang pelayan serta absennya keempat pelayannya yang biasanya salah satu dari merekalah yang selalu mengurusi keperluannya ataupun memberikan kabar padanya.

"Ada apa?"

Tersedu-sedu pelayan itu menjawab. "Tenno-Heika[1] sudah meninggal, Hime-Sama[2]."

Bagai petir di siang bolong, pemberitaan itu meluluhlantakkan hati Tamami. Mungkinkah mimpi buruk semalam adalah pertanda? Mengenakan jubahnya, Tamami berlari menuju kediaman ayahnya, langkahnya diikuti oleh si pelayan yang mengukir lengkungan sudut ke satu sisi.

***

Tamami merasa tungkainya lemas. Bukan karena lelah berlari, tapi karena...

"Chichi-ue...[3]"

...tubuh ayahnya terbujur kaku di atas pembaringan dengan wajah sepucat kapas. Tak ada hembusan napas hangat, tak ada denyut nadi.

Dua orang pelayan menahan tubuh Tamami yang hendak roboh, memapahnya untuk tetap berada di sebelah ayahnya. Setelah itu yang mampu dilakukan olehnya hanyalah menangis tersedu-sedu sambil memeluk jasad tanpa raga itu.

Sekarang ia sendirian. Ibunya sudah lama pergi saat ia masih kecil. Ayahnya tidak menikah lagi karena teramat mencintai ibunya. Ibunya, Beatrix Hilton, merupakan seorang putri pengusaha ternama di Belanda yang kala itu menjabat sebagai VOC Opperhoofd [4] di pulau Dejima, Benedicte Hilton. Cantik, anggun, cerdas, bermata hijau, dan berambut pirang. Tak ada yang bisa menolak pesona ibunya, termasuk ayahnya, Takahiro, yang dulu masih sebagai Pangeran Mahkota.

Pertemuan mereka terjadi saat Kaisar Kunohito, kakeknya, yang tertarik dengan sistem perdagangan Vereenigde Oostindische Compagnie meminta Takahiro, ayahnya, untuk berkunjung ke pulau Dejima dan mengamati perkembangan para pedagang VOC dan Nippon di sana.

Saat pertama kali melihat Beatrix, Takahiro langsung menyukainya. Benih-benih cinta itu terus tumbuh sampai keduanya mantap untuk menikah. Tentu saja, pernikahan tersebut disambut baik oleh Benedicte dan Kaisar Kunohito. Setelah resmi menikah, Beatrix pun mendapatkan nama Jepangnya, Akiko, dan menetap di Edo bersama Benedicte.

Kemudian lahirlah dirinya setelah setahun penobatan ayahnya menjadi Kaisar menggantikan kakeknya yang wafat setelah tiga bulan pernikahan berlangsung. Semua orang berkata bahwa dirinya dan ibunya bak pinang dibelah dua. Ia merupakan cerminan ibunya. Mempesona... tapi asing. Terkadang keberadaannya tidak terlalu dianggap, bahkan dulu pernikahan kedua orang tuanya pernah terhambat karena adanya kudeta.

Sekarang apa yang harus dilakukannya?

***

Isak tangis itu menjadi sayup-sayup dan Tamami terlambat untuk menyadari bahwa ia sudah kembali berada di dalam kamarnya. Semua lilin menyala, menandakan malam sudah berkuasa. Meringkuk sepi di atas tempat tidur, matanya berubah bengkak karena tiada henti menangis. Sampai ia menyadari sesuatu yang ganjil pada posisinya. Kepalanya bersandar pada sebuah dada yang bidang, tangannya digenggam oleh seseorang: jemari yang besar dan kokoh, mengalirkan kehangatan dan kedamaian padanya.

Ia mendongak, menemukan sebentuk wajah yang terpejam lelap. Seulas senyum tipis melengkung di bibirnya. Ia ingat, saat pemakaman dan seusainya, Satohito terus berada di sisinya, berusaha menenangkannya.

"Aku tidak tahu akan bagaimana bila kau tidak ada di sisiku." Tamami mengeratkan pelukannya dan memejamkan mata. Seharian ini ia terlalu lelah karena menangis, ia masih ingin beristirahat.

Satohito membuka mata setelah hembusan napas Tamami yang teratur mengalun. Matanya menatap pilu sebelum berhati-hati menyingkap bagian leher kimono hitam Tamami, menatap pada tengkuk putih yang bernoda memar disana.

Perlahan, Satohito melepaskan tautan tangan mereka, meletakkan kepala Tamami di atas bantal lalu bangkit untuk berada dekat dengan tengkuk gadis itu. Tangannya bergerak melingkari pinggang ramping Tamami, sementara bibirnya berada di memar kebiruan pada tengkuk sang Putri.

"Maafkan aku..., sungguh."

***

Notes :
1. Tenno Heika : Yang Mulia Kaisar
2. Hime : Putri
3. Sama : Sapaan informal untuk keluarga kerajaan kecuali Kaisar
4. Chichi-ue : Sapaan formal era lampau untuk ayah
5. Opperhoofd (bahasa belanda) : Kepala/Pemimpin
6. Edo : Tokyo

Tamami Hime [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang