SEMENJAK ia mendengar pembicaraan kedua orang yang sudah ia anggap sahabat tapi ternyata hanya memanfaatkannya itu, akhir-akhir ini Sera lebih sering menghabiskan waktunya bersama sahabatnya sejak SMA. Suci dan Dea.Mereka bertiga dipertemukan di kelas satu SMA. Kebetulan saat itu mereka mengikuti ekstrakurikuler yang sama. Meskipun kelas mereka berbeda, mereka sering menghabiskan waktu bersama, saat istirahat maupun pulang sekolah. Dan persahabatan mereka masih tetap terjalin hingga saat di bangku kuliah. Kebetulannya lagi mereka memilih kampus yang sama, hanya berbeda jurusan.
Walaupun mereka berbeda jurusan, bahkan beberapa kali Sera harus menunggu mereka yang masih berada di kelas, itu lebih baik daripada harus menghabiskan waktu dengan orang yang sudah jelas tidak menganggap keberadaannya.
Seperti saat ini, Sera sedang berada di warung langganan mereka yang letaknya masih berada di sekitar kampus. Dia menunggu kedua sahabatnya yang masih ada kelas.
Warung tersebut menjadi favorit para mahasiswa untuk berkumpul. Dan selalu ramai setiap harinya. Selain makanannya yang enak-enak dan ramah di kantong mahasiswa sepertinya, warung tersebut juga memiliki desain yang hits dan kekinian. Apalagi dilengkapi dengan fasilitas wi-fi gratis. Membuat orang yang menunggu seperti Sera menjadi tidak bosan.
Setelah sekitar tiga puluh menit menunggu, akhirnya Suci dan Dea datang.
"Sorry, Sist. Lama ya nunggunya?" seru Dea sembari mengambil tempat duduk di depan Sera.
"Hm. It's okay. Selama ada wi-fi." Sera mengacungkan ponselnya.
"Terus gimana, Ra? Bener tuh, dua temen lo muka dua?" tanya Suci yang duduk disamping Dea. Sera sudah bercerita pada dua sahabatnya itu mengenai kedua teman dekatnya di kelas yang ternyata menusuknya dari belakang.
Sera mengangguk, "Ya, bener. Gue denger dari mulut mereka langsung. Kalo nggak gitu, mungkin gue nggak akan nyangka kalo mereka manfaatin gue. Lain di mulut lain di hati."
"Ini yang gue khawatirin dari lo. Lo terlalu baik, Ra. Sebenarnya bagus. Tapi sayangnya ada aja oknum yang memanfaatkan kebaikan hati lo." Ujar Suci sendu.
"Mereka kan padahal belajar psikologi ya. Tapi kok kepribadiannya minus banget." Ketus Dea.
Sera mengedikkan bahu, "Mungkin istilah mahasiswa psikologi berobat jalan itu berlaku buat mereka."
Pembicaraan mereka terputus untuk memesan makanan. Saat pelayan pergi Suci kembali bertanya, "Terus sekarang lo udah ngejauh kan dari mereka?"
"Ngobrol sih masih. Tapi nggak seintens biasanya. Kalo kerja kelompok juga gue lebih suka sama orang lain."
"Duh, lo tuh ya, Ra. Masih aja baik sama orang. Kalo gue jadi lo sih, gue langsung hadepin mereka terus nanya maksudnya apa mereka bersikap kayak gitu sama gue." Sungut Dea.
"Tapi sayangnya gue bukan lo yang berapi-api kayak gitu. Gue juga kesel lah sama mereka. Cara gue menghadapi mereka itu ya dengan cuekin mereka. Nggak usah pake otot. Tapi pake otak."
"Gue setuju sama lo. Bales dendam dengan cara elegan. Jangan bar-bar kayak istri sah yang ngelabrak pelakor di tempat umum terus viral di medsos."
"Kenapa jadi kesana deh, Ci? Bawa-bawa pelakor segala." delik Dea. "Mabok sama matkul ekonomi tadi lo, ya? Jadi ngelantur gitu."
Ucapan Dea membuat Suci mencibir cewek bermata sipit itu. Sera hanya tertawa terbahak melihat kelakuan kedua sahabatnya. Mereka memang teman Sera paling the best.
"Marshal juga nyuruh gue buat jauhin mereka, sih. Tapi ya mana bisa. Secara gue sama mereka satu kelas."
"Oh ya, ngomong-ngomong soal Marshal, kemana dia? Tumben amat nggak ngekorin elo." Tanya Suci sambil mendekatkan makanannya yang baru saja datang.
"Emangnya dia apaan ngekorin gue?" kekeh Sera, menuangkan sambal pada mie ayam pesanannya.
"Abisnya dimana ada lo, pasti ada dia."
"Tadi sih dia bilang lagi ada kelas tambahan."
Marshal dan kedua sahabat Sera itu berada di fakultas yang sama. Fakultas ekonomi. Hanya berbeda jurusan. Mereka juga sudah saling mengenal karena memang keempatnya satu almamater di SMA.
"Kok lo bisa deket banget sih sama Marshal?" tanya Dea yang tengah mencolek ayam bakarnya pada sambal.
"Dea, lo udah tanya itu berkali-kali. Nggak bosen apa?" ujar Sera.
"Ya habisnya gue heran aja. Dulu kan kalian nggak deket, eh malah sekarang sahabatan. Deket banget lagi. Sampe ortu kalian juga udah saling kenal juga."
Sera menjadi ingat saat pertama kali ngobrol sama Marshal waktu di acara reuni. Saat itu ekstrakurikuler yang mereka ikuti mengadakan acara reuni setelah lulus SMA. Sera yang pendiam tidak terlalu mengenal Marshal saat itu. Bahkan selama sekolah Sera hanya memiliki teman laki-laki sedikit. Bisa dihitung dengan jari.
Saat itu para anggota diminta berbicara satu persatu mengenai kegiatan masing-masing setelah lulus. Tiba saat giliran Sera, Marshal tiba-tiba nyeletuk bertanya pada gadis itu. Saat itu Sera menjelaskan dimana dirinya berkuliah, dan Marshal bertanya di jurusan apa karena ia juga berkuliah di tempat yang sama.
Pertemuan selanjutnya terjadi tanpa sengaja. Saat itu Sera sedang lari pagi tiba-tiba ia menabrak Marshal hingga terjatuh dan mengakibatkan lututnya terluka. Tak disangka, dengan sigap Marshal saat itu membantunya berdiri dan mengobati lukanya.
Berikutnya, saat Sera sedang duduk di kafe sendirian secara tiba-tiba dihampiri oleh Marshal. Mungkin saat itu Marshal merasa mengenalnya dan berinisiatif untuk menyapa. Sera yang saat itu sedang sedih rupanya disadari oleh Marshal. Lelaki itu menawarkan diri untuk menjadi pendengarnya. Awalnya Sera ragu, namun karena cowok itu berkata akan menjaga rahasianya dengan baik, mengalirlah curahan hati seorang Sera. Dan lelaki itu benar-benar membuktikan bahwa dirinya bisa menjaga rahasia dan menjadi pendengar yang baik. Setelahnya, Sera jadi lebih sering bercerita pada Marshal, pun sebaliknya. Hingga mereka menjadi bersahabat sampai sekarang.
"Lo nggak ada perasaan apa gitu ke Marshal?" tanya Dea membuyarkan lamunan Sera.
"Perasaan gimana?"
"Ya kayak naksir atau ada something gitu."
Sera berpikir sejenak, "Mm...mungkin ada. Tapi dulu."
Karena memang Marshal ganteng. Sera rasa cuma orang nggak normal yang nggak suka dia.
Marshal itu teman cowok pertama Sera. Awal-awal dekat ada lah baper-baper sedikit. Namanya juga cewek jomblo dideketin sama cowok ganteng. Baper sedikit masih wajar kan?
"Sekarang nggak lah. Dia kan sahabat gue." Lanjutnya.
"Sahabat emangnya nggak boleh naksir-naksiran." Celetuk Suci.
"Sekarang mungkin belum. Siapa tau kan nanti kalian beneran naksir-naksiran." Tambah Dea, tertawa.
Kalau boleh jujur, dulu Sera pernah naksir sama Marshal. Ya karena itu tadi. Tampang Marshal yang ganteng. Saat SMA cowok itu sebenarnya bukan termasuk cowok populer. Tapi pasti ada saja yang suka sama dia. Gimana nggak suka. Sudah ganteng, cool, dan yang pasti he is a good boy, not a bad boy. Gimana nggak klepek-klepek kan sama cowok macam Marshal.
Tapi itu dulu. Sera rasa untuk sekarang ini ia tidak mungkin memiliki perasaan itu lagi pada Marshal. Marshal pun sepertinya sama. Buktinya, selama dua tahun sahabatan mereka bisa mempertahankan pertemanan mereka tanpa embel-embel naksir-naksiran seperti yang Suci dan Dea bilang. Lagipula Marshal sering memiliki kekasih. Dan menurut Sera, dari situ saja sudah jelas bahwa laki-laki itu sama sekali tidak memperlihatkan kalau dia memiliki perasaan padanya.
Sera mengibaskan tangannya, "Kita cuma sahabat. Nggak lebih."
***
Jangan lupa masukin cerita ini ke library dan reading list kalian yaaa...
Trims.
KAMU SEDANG MEMBACA
STUCK [COMPLETED]
Ficção Geral"Kita terjebak dalam lingkaran bernama persahabatan yang kita buat sendiri." [Versi lengkap bisa dibaca di Karyakarsa]