4장 : Salju Pertama

4.8K 793 44
                                    

"Salju pertama, turun. Membawa sejuta kebahagiaan dan sejuta luka."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.

"Janji tidak akan keluar saat musim dingin datang?"

"Musim dingin, ya?" Jimin tersenyum tipis setelah mengingat perkataan Taehyung tempo hari. Jimin menempelkan telapak tangannya di jendela, menatap salju yang mulai berjatuhan.

Salju pertama.

Jimin mendongak, menatap langit mendung dengan beberapa bulir salju yang turun. Matanya berbinar, bersamaan dengan senyum yang terlukis di wajahnya.

×××

Sejujurnya, Jimin menyukai musim dingin. Teramat sangat.

Bahkan saat dirinya tidak bisa bermain seperti anak lainnya, saat dimana ia berperang dengan rasa sakitnya sendiri. Jimin masih sesenang itu saat musim dingin datang.

Sering kali, Jimin kabur dari pengawasan Taehyung untuk sekedar memandangi anak kecil yang bermain-main dengan salju, menatap anak kecil yang saling berkejaran dan melempar bola salju. Jimin hanya duduk dengan senyum hangat yang tidak luntur sebelum akhirnya ia kehilangan kesadaran kala bulir salju-salju itu menyentuh kulitnya tanpa henti.

Tentunya, ia selalu bangun dengan masker oksigen yang menutupi hidung dan mulutnya beserta udara hangat yang dialirkan dari selang masker. Taehyung selalu ada di dekatnya setiap ia membuka mata, tertidur di sofa dengan televisi yang menyala.

Hanya saja, keadaan yang membuat dirinya sedikit membenci salju tidak bersalah itu. Porsi kebenciannya pada salju, tidak sebesar porsi kebenciannya pada musim gugur yang selalu membuat Jimin teringat perpecahan keluarganya. Hanya memori tentang perpecahan itu yang masih melekat di kepalanya. Masa kecil Jimin sebelum bertemu Taehyung selalu dibayang-bayangi oleh kekerasan yang dilakukan ayah kandungnya.

"Kau adalah pembawa sial! Siapa kau seenaknya menggandakan kesialan dengan melahirkan anak itu? Sudah kubilang, gugurkan!"

Saat itu Jimin masih berusia 5 tahun. Bersembunyi di balik pintu dan menatap kedua orangtuanya dengan takut. Tangannya gemetar dan berulang kali ia memejamkan matanya takut saat ayahnya melayangkan pukulan demi pukulan pada ibunya.

"Untuk apa kalian masih hidup dan menyusahkanku?!"

Jimin sudah berderai air mata dengan isakan tertahan. Tangisan dan raungan permintaan ampun dari ibunya juga terdengar pilu. Saat itu masih pada musim gugur, yang beberapa minggu lagi akan berganti musim dingin.

Berulang seperti itu setiap hari. Tangisan, teriakan dan air mata menjadi romansa pergantian musim Jimin. Sehingga, akhirnya ibu pun menyerah. Memilih untuk kabur dengan Jimin yang tertidur di dekapannya.

Hanya dengan balutan jaket tanpa penutup kepala, Ibu Jimin berjalan terseok menyusuri Taman Kota Seoul dengan riwayat komplikasi alergi yang sama dengan anaknya. Kerap kali ia terjerembab dan terjatuh duduk saat pusing yang mendera kian memparah. Seolah kepalanya telah beku oleh salju, Ibu Jimin mulai kehilangan akalnya.

Saat ia kembali terjatuh di samping tempat sampah, ia meletakkan Jimin disana. Membuka jaketnya dan memakaikannya pada Jimin kemudian membungkus tubuh Jimin dengan kantung plastik sampah kering yang telah ia buang sampahnya.

"Jimin, maafkan ibu."

Ibu Jimin kembali menegakkan tubuhnya dengan air mata yang mengalir deras. Kemudian berjalan menjauh, cukup jauh sebelum akhirnya tubuhnya ambruk dengan diikuti gonggongan anjing di belakangnya.

Sebut saja, saat itu Kim Taehyung adalah malaikat kedua Jimin. Jimin menyayanginya, sangat menyayanginya.

.
.
.

Jimin adalah pemuda yang ceria, pemuda berusia 20 tahun yang tak pernah lelah untuk sekedar menebar senyum dan menampilkan mata sabitnya.

"Taehyung, apa tidak ada hadiah musim dingin untukku?"

Jimin merajuk, memainkan jemari Taehyung dan menatapnya penuh harap. Sedangkan, Taehyung yang merasa terganggu mulai mengernyit heran. Ini belum masuk minggu natal untuk meminta hadiah. Lagipula, "Apa-apaan itu hadiah musim dingin?"

Jimin tersenyum lebar dengan duduk bersila di samping Taehyung dengan mengeratkan jaketnya, "Khusus untukku, harus ada dua hadiah!"

"Hadiah musim dingin dan hadiah natal."

Jimin melanjutkan, "Ini hukuman karena kau selalu melarangku ini itu saat musim dingin tiba."

Taehyung terbahak saat mendengarnya. Tidak habis pikir dengan Jimin yang masih sangat kekanak-kanakan. Jimin menatap Taehyung mantap sedangkan Taehyung sibuk berpikir untuk membalas Jimin.

"Hadiah musim dingin hanya di peruntukkan untuk orang yang penurut."

"Dan kau selalu membangkang saat aku menyuruhmu diam dirumah saat musim dingin," Taehyung menyentil dahi Jimin yang sontak membuat pemuda bermata sabit itupun cemberut. Tidak berselang lama, Jimin seolah merubah atmosfir menyenangkan sekitarnya menjadi canggung dengan helaan napas dan senyum tipis dari bibirnya.

"Aku sangat merepotkan ya ?"

"Ayah dan ibu harus bekerja dua kali lebih keras setelah mengadopsiku."

Jimin adalah seseorang yang mampu merubah suasana menjadi hangat, namun juga mampu merubah kehangatan itu menjadi sedingin salju di luar sana dalam hitungan detik saja.

"Jimin, kita tidak pernah merasa direpotkan. Kami menyayangimu."

Taehyung menatap wajah sendu saudaranya, Jimin tersenyum tipis dengan gurat luka di setiap inci pandanganya. Jimin menjadi seseorang yang sangat sensitif saat topik seperti ini dimulai, yang tersenyum bahkan saat terluka, satu-satunya orang paling tegar yang pernah Taehyung temui.

Dia ... Park Jimin, pemuda dengan sejuta rasa sakit yang bersemayam di balik senyum bulan sabitnya yang menghangatkan.<>

___________________________________________

re-published, 21-07-20.

With love,
Thea.

Lonely Whale [RE-WRITE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang