13장 : Mimpi Buruk Lagi.

3.7K 594 53
                                    

" menyedihkan ketika bisa melihat masa depan, tapi tidak bisa merubahnya. "

×××

         Berbatas kaca kedap suara khas ruang kunjungan narapidana, Jimin memandang Taehyung tanpa mengucap satu patah kata apapun.

Seingat Taehyung, lusa kemarin, Yoongi baru saja memberitahu bahwa Jimin sudah sadar. Baru 2 hari lalu dan kini Jimin sudah berhadapan dengannya di ruang kunjungan.

Ingin marah, tapi Taehyung tahan.

Masih masuk musim dingin dan Jimin masih memaksakan diri untuk menjenguk Taehyung. Jelas, jika kondisinya tidak seperti ini Taehyung akan memarahi Jimin habis-habisan dan menyeret Jimin pulang. Akan tetapi, kenyataan memaksa Taehyung untuk tetap bungkam.

Karena aku, Jimin keluar dari rumah. Aku tidak berhak marah. Ini salahku. Begitu pikir Taehyung.

Sesekali, Taehyung berdeham untuk mencairkan suasana yang canggung. Tidak tahu mengapa, kejadian kemarin membuat Taehyung kikuk setengah mati. Padahal, mereka sangat dekat. Meski bertengkar, beberapa hari kemudian mereka akan berbaikan dengan sendirinya.

"Pulang saja, Ji." Taehyung membuka percakapan.

Jimin terhenyak. Sementara Taehyung kembali menunduk setelah berucap demikian. Taehyung mengambil napas dalam kemudian menghembuskannya berat. Ia memberanikan diri untuk mendongakkan kepala, menatap wajah pucat Jimin di hadapannya.

"Kau pucat. Jangan membuat aku semakin merasa bersalah," tukas Taehyung singkat.

Jimin menggeleng. Tangan Jimin terangkat, menyentuh kaca pembatas dengan telapak tangannya. Bibir Jimin yang pucat pasi sedikit tertarik. Mata hitamnya memandang Taehyung. Merasa ditatap sebegini hangatnya, Taehyung mencebik. Ia mengalihkan pandangan ke samping, enggan bertukar tatap dengan Jimin.

Taehyung semakin merasa bersalah. Ingin lari saja rasanya. Ia malu berhadapan dengan Jimin.

"Cepat keluar dari sini dan pulang ke rumah. Aku kesepian," celetuk Jimin tiba-tiba.

Potongan ingatan tentang mimpi Taehyung tiba-tiba mengudara. Jimin berucap serupa, sama persis seperti di mimpinya. Taehyung mengernyit, mimpi itu benar-benar mengganggu Taehyung.

Taehyung tidak mau mimpi buruknya benar-benar terjadi, apalagi pada Jimin.

"Waktu kunjungan sudah habis," polisi di samping Taehyung berucap pelan. Memecah lamunan Taehyung.

"Jangan bilang pada Ibu dan Ayah kalau aku ditahan. Aku keluar secepatnya setelah sidang, doakan aku."

Mata Taehyung panas, perih sebab ia menahan air mata mati-matian di hadapan Jimin. Ia berdiri, membelakangi Jimin dengan terburu-buru. Sipir penjara meraih borgol pada tangan Taehyung, menyeret pemuda itu menyingkir dari ruang kunjungan.

"Taehyung!"

Langkah Taehyung terhenti ketika pekikan Jimin menggema, tangannya masih ditahan oleh polisi sipir penjara. Taehyung menolehkan kepala. Menatap Jimin yang berdiri di luar kaca pembatas.

Jimin memandang Taehyung yang mengenakan baju tahanan. Bibirnya kering, wajahmya kusam. Jimin tersenyum teduh sambil menghela napas.

"Aku merindukanmu. Baik-baik, ya. Besok aku kembali lagi."

×××

"Ibu mau pulang?"

Jimin sontak menolehkan kepalanya dan menatap Namjoon di sampingnya. Ponsel masih melekat di telinga. Jimin mendengarkan suara ibu angkatnya yang mengutarakan bahwa besok akan terbang pulang ke Seoul. Riang, tanpa beban, seolah tidak sabar bertemu putranya.

Sungguh, Jimin tidak ingin mengacaukan kebahagiaan sang Ibu dengan berkata 'jangan pulang dulu, Bu'. Duh, yang benar saja. Jimin harus beralasan apa untuk melarang Ibunya pulang? Tidak ada. Jimin tidak memiliki alasan logis untuk menahan ibunya.

Namun, ia juga tidak ingin Ibunya tahu bahwa Taehyung dipenjara sementara dan terlibat kasus penusukan. Kondisi Jimin juga masih drop dan tidak sehat.

Mimpi buruk. Ini mimpi buruk.

Jimin menggigit bibir. "Tapi, Bu---"

Jimin seketika terdiam saat ibunya menyela. Raut wajahnya berubah, tangan Jimin meremas selimut.

"Tapi, Ibu tidak bisa meninggalkan Ayah sendirian disana kan, Bu? Bagaimana kalau jangan pulang dulu? Uh, tunggu Ayah juga, maksudku."

Jimin meraih tangan Namjoon, kemudian menatapnya dengan sorot 'bagaimana ini?'. Namjoon diam, tidak mengerti maksud Jimin. Sementara itu, Jimin kembali menatap objek lain ketika Ibunya menjawab. Beliau masih kukuh ingin pulang dan ternyata sudah membeli tiket pesawat.

"Bu ... jangan memaksa untuk pulang."

Namun, jawaban terakhir ibunya, cukup membuat Jimin menyerah untuk membujuk. Sama seperti Taehyung dan dirinya, keras kepala. Ibunya sedikit marah dan langsung memutus panggilan setelah berucap jika ia tetap akan pulang.

Mata Jimin bergerak gusar. Ia harus bagaimana?

×××

Taehyung berdiri di sebuah taman dengan berhias beberapa batu nisan yang tertancap di tanahnya. Taehyung mendongak, menatap awan hitam dan salju yang turun secara lembut.

Isakan terdengar, membuatnya menoleh dan menatap seseorang berpayung hitam yang menangis meraung. Bersimpuh di tanah bersalju yang amat dingin.

Jimin menangis disana, dengan badan menggigil dan hidung yang berdarah. Telinganya berdenging, begitu memilukan.

Taehyung membuka matanya dan mengambil napas dengan rakus. Ia bermimpi tentang Jimin, lagi-lagi. Air mata Taehyung tidak kuasa merebak, dan menatap sekitar. Ia masih di sel. Dingin dan sempit. Taehyung meringkuk seperti udang, menghangatkan diri.

Ia sedikit mengangkat tangan dan menatap telapak tangannya. Berbagai pertanyaan hinggap di kepala Taehyung. Air matanya terus jatuh. Ia takut.

Siapa yang akan mati saat itu?
Kenapa Jimin menangis?
Kenapa aku tidak ada disamping Jimin dan malah menatap Jimin saja? <>

___________________________________________

re-publish, 24-7-21.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 24, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Lonely Whale [RE-WRITE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang