"Ilra! Katanya kuliah jam tujuh!"
Aku tersentak mendengar suara papa dari luar kamar. Catat ya, nggak lupa sambil menggedor pintu secara brutal.
"Papa apaan sih orang masih jam lima."
"Jam lima udelmu? Ini udah jam tujuh lewat!"
Aku mengerjap pelan sebelum akhirnya menatap jam di atas nakasku.
"PAPAAA AKU TELAT!"
🙈🙈🙈
Aku memakan sarapanku santai ditemani tatapan tajam papa. Aku mengernyit.
"Matanya mau nyolot tuh pa."
"Jadi kamu milih nggak berangkat ke kampus sekalian daripada telat?" tanyanya yang aku balas anggukan.
"Lagian dosennya galak. Percuma datang kesana, ujung-ujungnya disuruh keluar juga."
Papa menghela nafas sebelum kembali memakan makanannya. "Jangan malas-malas kamu, nak."
"Iya papa Bulanku yang paling aku sayang," jawabku. Niatnya sih pingin menghibur beliau, tapi respon yang papa kasih masih sama. Bahkan papa udah hampir nangis aja.
"Papa bingung, nak. Kuliah kamu masih dua tahun lagi, tapi gaji papa sebagai satpam mana cukup buat semua kebutuhan itu? Belum lagi porsi makan kita udah kayak babi."
Aku hampir tertawa disela-sela adegan Moon Taeil menangis sesenggukan. Papa emang bukan tipikal orang tua yang rela menyembunyikan fakta agar anaknya nggak khawatir. Dia jujur. Terlalu jujur malah.
Aku meraih tisu lalu memberikannya pada papa. "Udah ih nggak usah nangis. Malu dilihat mama Seulgi di atas," hiburku. Perlahan papa mulai meredakan tangisannya.
"Andai mama kamu masih ada...Setidaknya kita masih punya sumber kekuatan. Tapi..."
"Pa." Aku meraih tangan papa lalu menggenggamnya erat. "Kita bisa saling menguatkan satu sama lain. Jangan menyesali kepergian mama. Nanti Tuhan marah."
Papa menatapku lalu mengangguk pelan. Selain terlalu jujur, papa ini orangnya juga terlalu nurut. Ah, satu lagi.
Terlalu cengeng.
🙈🙈🙈
Adegan tadi pagi membuatku sadar kalau kondisi keuanganku dan papa harus ditolong sesegera mungkin. Caranya? Yah, satu-satunya dengan bekerja.
Jangan menyuruhku mendaftar beasiswa. Aku ini mahasiswa biasa aja, mendekati bodoh malah. Yang aku punya hanya semangat!
Tapi kerja dimana ya?
"Ra!"
Yuqi, temanku yang memiliki darah Tionghoa itu menyapaku dengan senyum manisnya. Aku refleks tersenyum membalasnya.
"Yuqi yang unyu, lama banget ya nggak ketemu," ujarku sambil mencubit pipinya. Dia hanya merintih kesakitan sambil berusaha melepas tanganku dari pipinya.
"Astaga, baru tadi pagi nggak ketemu. Kok tadi bolos?"
"Kesiangan, biasa."
Yuqi menghela nafas. Kami pun berjalan beriringan menuju kelas. Belum sempat kaki kami melangkah, ponsel Yuqi tiba-tiba aja berbunyi.
"Astaga." Dia menghela nafas kasar. "Sebentar ya Ra, mau angkat telfon dari nenek."
"Oh, oke.".
Yuqi sedikit menjauhiku agar bisa mengangkat telfonnya. Aku? Berdiri di dekat pintu sambil sesekali menguping. Haha.
Tapi sialnya suara Yuqi nggak kedengeran. Hm.
"Iya iya."
Cuma itu kalimat yang aku dengar sebelum Yuqi memutus sambungan telfonnya.
Iya iya apa nih?
"Kenapa, Qi?" tanyaku saat melihat raut wajah Yuqi yang berubah. Perempuan imut itu mengerucutkan bibirnya.
"Ini, nenek aku ngomel."
"Kok gitu?"
"Habisnya aku belum dapet guru privat buat adik sepupu aku. Lagian, baru masuk SD udah sok-sokan pingin punya guru privat. Alay nggak sih?"
Aku tertawa mendengar curhatannya. "Nggak juga sih, Qi. Jaman udah berubah, emang kita yangㅡtunggu! Kamu bilang apa? Guru privat?"
"Iya."
"Buat anak SD?"
"Iya."
"Dan kamu belum dapet?"
"Iya, Ilra anaknya om Taeil. Kenapa sih?"
Aku tersenyum penuh kemenangan. "Aku tau siapa kandidat terkuat untuk memperebutkan posisi itu."
"Siapa?"
Seringai muncul di bibirku. Jadi guru SD nggak perlu pinter-pinter banget kan ya? Sepertinya dewi fortuna berpihak padaku. Haha.
🙈🙈🙈
tidak jewlas tapi aku sangat ingin menulis ff tidak jewlas ini wkw
buat yang blm tau yuqi
member g-idle dia ucul bgt makanya aku syuka wkw
KAMU SEDANG MEMBACA
Falling For Dokter Jeha
Fanfiction"Aku akan mencintai Om dengan ugal-ugalan, biar she fell first he fell harder." Hidup Jeha yang awalnya sedatar papan triplek berubah jadi nano-nano saat Ilra melamar jadi pengasuh anaknya. Jeha yang sedingin es harus berhadapan dengan Ilra si mahas...