11: Aku, Kau, dan Hujan

563 61 158
                                    

[Ino's POV]

Rabu. Tak terasa, beberapa hari sudah berlalu sejak insiden di atap sekolah. Meski begitu memori tentang Sai yang bertranformasi menjadi cewek PMS masih berbekas, sulit dilupakan. Memangnya yang kuperbuat itu salah? Aku hanya mau membaca puisinya. Itu saja. Tidak ada yang salah, bukan?

Sampai saat ini, masih ada satu pertanyaan ganjil di benakku: si mayat hidup membuat puisi itu untuk siapa?

Apa sebaiknya kutanyakan langsung padanya, ya?

Kringg...

Bunyi bel sekolah membuyarkan lamunanku. Ah, ternyata sudah waktunya pulang.

Aku membereskan peralatan tulis dan buku-buku. Mulai dari awal pelajaran sampai pulang aku tidak bisa konsentrasi. Lagi-lagi mayat hidup itu alasannya.

"Bangun, Tukang Bobok!"

Suara galak sang ketua kelas menyita perhatianku. Aku penasaran.

Terlihat gadis dengan kuncir kuning nyentrik berteriak sekencang-kencangnya di telinga lelaki berambut nanas yang sama nyentriknya.

Sambil menguap, laki-laki berambut nanas itu bergumam. "Aku ngantuk banget~ mendokusei~"

Ya, dia-laki-laki pemalas itu- adalah Nara Shikamaru. Dia murid pindahan dari Suna. Masih baru di sekolah ini. Banyak bilang dia jenius. Dan ternyata itu benar. Hanya saja dia (sangat amat) pemalas.

Dan ibu ketua tidak menyukai sikapnya itu.

"Piket, dulu! Habis itu baru boleh tidur!" Suara Temari baik dari oktaf. Wajahnya menjadi merah karena marah. Ah, seandainya baterai Hpku tidak habis, aku akan memotret wajah Temari itu. Lumayan buat nambah koleksi aib.

Shikamaru hanya mengangkat kepalanya sedikit. Setelah itu, dia menggeser pelan meja yang dipakainya ke depan. Ia menatap Temari dengan tatapan malas.

"Lihat? Aku udah merapikan meja. Jadi, aku boleh tidur lagi," setelah berkata begitu, dia kembali ke posisi awal: tidur di atas meja dengan kedua tangannya sebagai bantal.

Dari air mukanya, aku tahu kesabaran Temari sudah pada batasnya. Aku merinding. Apakah ini adalah awal perang dunia Shinobi ke 5?!

"SHI. KA. MA. RU!"

Setelah itu, aku tidak tahu kelanjutannya. Karena aku segera kabur keluar kelas secepat mungkin. Sepertinya kebrutalan Temari akan kumat.

Selain selamat dari amukan Ibu ketua kelas, aku jadi bisa bolos piket. Terima kasih banyak, Shikamaru!

.

.

.

Langkahku terhenti.

Aku baru ingat. Hari ini hari Rabu. Itu artinya ada kelas puisi. Dan itu artinya, mau tak mau aku akan bertemu dengan si mayat hidup.

Pernahkah kalian merasa belum siap bertemu dengan seseorang, tapi harus bertemu dengannya sekarang? Begitulah kira-kira perasaanku saat ini.

Aku mendesah malas. Lalu melanjutkan langkahku dengan gontai.

Tapi, saat itu juga, ide brilian, namun licik, hinggap di kepalaku.

Kenapa tidak bolos, saja?

Wajahku sumringah. Senyum lebar terukir di wajahku. Ternyata aku ini pintar juga!

Tapi kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Senyumku meredup kala melihat sesuatu di depan mataku.

Pintu perpustakaan.

Aku, Kau, dan Kelas Puisi [SAIINO] ✓✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang