[COMPLETED✓]
Di kelas puisi, kita bertemu.
Di kelas puisi, kita berkarya.
Tapi,
Akankah kita jatuh cinta di kelas puisi?
###
"Kau serius mau masuk kelas puisi itu, Pig?" tanya Haruno Sakura ragu pada sahabatnya.
"Nggak apa-apa, dong. Aku ya aku. Jad...
Anda memang tidak pantas disebut ayah, Shimura Danzo.
Suara anak-anak menyambutku di Relzone. Untung saja aku sudah terbiasa dengan keramaian anak-anak. Aku kan kakak idaman.
Aku hanya duduk di kursi berbentuk err... ulat hijau yang imut-imut jijik? Bodo amat. Yang penting aku bisa duduk dan tidak perlu berdiri. Capek jalan terus mengikuti mereka berdua--Sasuke dan Ino.
Sesekali aku melirik Sasuke dan Ino. Saat ini, mereka sepertinya sedang membeli kartu gesek beserta isinya. Kalau aku boleh menebak, Sasuke-lah yang akan membayar, alias traktir. Bukannya memang selalu begitu? Cowok membayar, agar si cewek terpesona. Klasik.
"Papa..."
Suara khas anak-anak membuyarkan lamunanku. Memang di sini ada banyak sekali anak-anak. Tapi kenapa yang satu itu seperti... memanggilku?
Aku menoleh arah sumber suara, tepat di belakangku. Tampak seorang anak laki-laki berambut pirang berlari menghampiriku. Saat anak itu sudah berada di dekatku, dia menarik-narik kemeja yang kukenakan.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Papa...?" katanya lugu sambil memiringkan kepala. Imutnya...
Lupakan keimutannya sejenak. Apa bocah ini baru saja menyebutku "papa"? Atau aku yang salah dengar? Atau aku sekarang sedang berhalusinasi?
Yang lebih penting: Apa yang harus kulakukan?
A. Laporkan ke polisi.
B. Usir anak itu karena dia mengganggu.
C. Diam saja, tidak usah pedulikan anak itu. Abaikan.
D. Teriak huru-hara demi mencari orang tua anak itu.
E. (Isi sendiri di kolom komentar v;)
Sementara otakku masih sibuk berpikir, mataku melirik anak itu. Mata anak itu berkedip-kedip lucu. Pipinya yang gembul menambah nilai plus. Apalagi bibirnya yang mungil.
Rasanya gemas dan kasihan. Tapi ingat, aku sama sekali tidak punya niat menjadi om-om pedofil yang belok seperti Burhan. Camkan itu.
Setelah 30 detik memutar otak, aku menghela nafas berat, lalu berdiri. Kedua mataku menatap anak itu dalam-dalam. Kugandeng tangan kanan kecilnya. Kulihat ia agak tersentak. Mukanya saat kaget terlihat lucu.
"Dik, Kakak bakal bantu kamu cari papa-mamamu." Aku tersenyum simpul. Semoga saja dia tidak ketakutan. "Jangan takut. Kakak baik kok."
Mulutnya terbuka lebar. "Papa...?" ucapnya.
"Iya, adik manis. Kita mau ketemu sama papamu," kataku lembut sambil mengelus puncak kepalanya.
Dia tersenyum kecil. Imut.
Aku menoleh ke belakang, ke arah Sasuke dan Ino berada. Keduanya tampak akan masuk ke dalam photo booth. Kulihat Ino tersenyum lebar sambil mendorong Sasuke main-main. Mereka berdua tampak bahagia.