Itu yang dinamakan cinta sejati bukan?
Aku hanya menghela nafas malas. Rasanya berbeda jika aku makan sendirian dibanding jika aku makan bersama Kabuto-kun, anak-anak, atau... Ino. Aku merenung.
"Kamu Shimura Sai kan?" Seseorang menepuk pundakku. Bagaimana dia bisa tahu identitas asliku?
Memang siapa dia?
A. Si kasir yang tagihan
B. Aurel dan asistennya
C. Fans fanatikku (baca: kamu v;)
D. Shimura Danzo
E. Sasuke dan Ino
F. (Isi sendiri di kolom komentar v;)
Daripada aku menebak-nebak siapa yang mengganggu acara makanku, lebih baik aku langsung lihat saja. Aku menoleh ke belakang dengan malas. Nafasku tercekat saat melihatnya.
Yamanaka Ino yang menyapaku dengan seulas senyum. Kenapa dia ada di sini? Bukannya bersama Sasuke? Bagaimana dia bisa tahu kalau aku ini Shimura Sai? Dan masih banyak pertanyaan lain tersimpan di dalam benakku.
Aku berpikir sejenak sebelum aku berkata, "iya. Aku Shimura Sai. Silahkan duduk, Ino."
Dia bernafas lega. Lalu duduk di hadapanku dan menaruh nampan makanannya di atas meja. Untuk beberapa saat, tidak ada satu pun yang bicara.
"Aku mau tanya."
Kami berucap berbarengan, seperti beberapa chapter yang lalu. Bedanya kali ini kami tertawa pelan, mengingat kejadian yang sama waktu itu.
"Kamu duluan aja, deh," kata Ino mengalah sambil mengibaskan tangan. "Kan waktu itu aku duluan. Jadi gantian."
"Sasuke..," kataku setengah melamun. Aku mendongak, menatap Ino yang tengah menunggu kelanjutan ucapanku. "Dimana Sasuke? Kenapa kamu nggak bareng dia?"
Ino tertawa pelan. Aku tahu, tawanya palsu. Tawa paksa. Sungguh, aku tak suka Ino yang tertawa paksa seperti itu. Kemudian ia berkata dengan ringan, "dia udah pergi."
Apa? Sasuke pergi? Meninggalkan Ino sendirian? Kurang ajar!
Baru saja aku akan menggebrak meja dan mengomel-omel tentang Sasuke, Ino menyelaku duluan, "tenang, Sai. Dengerin dulu." Dia memegang pundakku dengan lembut. Amarahku jadi berkurang. Meski hanya sedikit.
Kupasang kedua telingaku baik-baik, bersiap menyimak penjelasan dari Ino. "Ceritakan."
"Tadi, sebelum kamu datang, aku dan Sasuke usah di sini. Kami makan, minum, mengobrol biasa aja. Terus Sasuke dapat WAH dari mamanya. Katanya disuruh pulang. Jadi dia pamit dan pulang," jelas Ino singkat. "Gitu... Setelah Sasuke pergi, kamu datang. Dari awal, aku familiar sama mukamu. Jadi aku samperin aja deh."
Aku ber'oh'ria. Jadi itu alasannya. Jika aku pernah berkata bahwa Sasuke kurang ajar, maka kutarik kata-kataku itu.
"Kamu tahu darimana kalau aku itu Sai?" tanyaku lagi.
Ino tampak berpikir. Ia mengetuk-ngetukkan dagunya dengan telunjuk. Tak lama kemudian, dia menjawab dengan cengiran khasnya, "karena kamu itu ya kamu. Sai itu ya Sai. Mau mukanya didandani kayak Mimi peri pun kamu tetap Sai yang kukenal."
Aku merona mendengar kata-kata yang diucapkannya tanpa dosa. Aku membuang muka. Dia sadar nggak sih, Kata-katanya bikin aku blushing?
"Sekarang kamu yang tanya," kataku, mempersilahkan. Lalu aku menyeruput es tehku. Sampai aku melepas bibirku dari sedotan, Ino tidak berkata apapun. Tentu saja hal itu membuatku heran. "Katanya mau tanya. Gimana, sih?"
Dia terkikik geli. "Takutnya kamu tersedak lagi."
"Oh ya, sebelum aku tanya, boleh nggak kamu lepas segala sesuatu di mukamu itu?" pintanya sambil menunjuk benda yang dimaksudnya satu per satu. Dahiku mengerut bingung. "Rasanya aku kayak bukan mengobrol bareng Sai," tambahnya.
Mungkin maksudnya dandanan mode penyamaranku. Tanpa diminta 2 kali, aku melepas kacamata, wig, dan kontak lensaku. Ah... Kalau begini lebih nyaman. Sai sudah kembali seperti biasanya.
"Nah, gitu kan lebih enak dilihat," kata Ino. "Ini baru Sai yang kukenal."
Lagi-lagi pipiku memanas saat mendengarnya. Buru-buru aku memalingkan muka dan mengganti topik. "Kamu mau tanya apa tadi?"
"Make-up mu itu bikin aku heran," ucap Ino sambil memiringkan kepala. "Kenapa kamu pakai make-up, wig, dan lain-lain? Sampai kayak berubah jadi bukan 'Sai' lagi? Serius, jadi beda jauh lho."
"Soalnya..." Aku menatap langit-langit. Entah apa yang kulihat. Pandanganku kosong. Pikiranku kemana-mana.
"Aku ingin memata-matai kalian," ucapku spontan dan jujur. Impulsif. Aku terdiam beberapa saat. Kulihat mulut Ino terbuka sedikit, seolah berkata 'Hah-?-Memata-matai-aku-dan-Sasuke-?-Maksudnya-?-Buat-apa-coba-?-Kurang-kerjaan-amat-sih'.
"Aku ini Mak comblang kalian." Aku menghela nafas, sebelum aku melanjutkan, "Aku cuma mau memastikan kencan kalian berjalan dengan baik. Dan jika itu tercapai..." Jeda sejenak. Ku tatap Ino lurus-lurus.
"Hatiku jadi lega," sambil menyentuh dada bagian kananku sendiri, aku tersenyum simpul. Bukan. Yang ini bukan senyuman palsu yang selalu kutebar. Yang kali ini tulus.
Ino membalas senyumku. Duh, senyumnya itu lho. Bikin diabetes.
"Terima kasih," kata Ino tiba-tiba.
Aku jadi salah tingkah karenanya. "Eh? Terima kasih buat apa coba?" Aku gelagapan.
"Semuanya," jawab Ino sambil menatapku dalam-dalam. "Kamu sudah banyak membantuku. Dan kamu..."
"Kamu itu sahabat baikku," tambahnya dengan senyum manis.
Memang, di hati rasanya agak perih. Tapi seulas senyuman bisa menyembunyikannya.
"Terima kasih kembali," balasku. Terima kasih sudah menemani diriku di hari-hariku yang cerah sejak ada kamu, lanjutku dalam hati. Lidahku terlalu kaku untuk mengungkapkannya. Aku ini memang pecundang.
Lagi pula, bagiku memandangnya dalam jarak bernama "teman" sudah cukup.
"Wah! Ternyata sudah jam segini ya," kata Ino saat melihat jam dinding. Dia buru-buru membereskan diri. Aku mengikuti arah pandangannya. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 2 siang lebih beberapa menit. Waktu berjalan cepat sekali.
"Ya udah, Sai, aku pulang duluan ya. Udah dicariin Mama, nih," ucapnya tergesa-gesa. "Nanti aku bisa dimainkan lagi."
"Dah ya. Sampai jumpa." Dia bangkit dari duduknya. Lalu dia berjalan cepat menuju pintu keluar Krusty Human. Tapi, tiba-tiba, langkahnya terhenti. Dia membalikkan badan ke arahku. Apa ada yang tertinggal?
"Ingat ya. Jangan lupa kedip," dia menasehati dengan jahil sambil nyengir lebar. Kemudian dia pergi. Benar-benar pergi dari pandanganku. Tapi tidak di hatiku.
Ya, Ino tetaplah Ino. Tidak akan berubah sampai kapanpun.
Aku sempat berpikir, cinta itu harus memberi dan menerima. Tapi sekarang aku tahu rasanya. Selalu berada di sisinya dan melihat mereka bahagia. Memandangnya dalam jarak bernama "teman". Bagiku, itu sudah cukup.
Itu yang dinamakan cinta sejati, bukan?
THE END
Psst, setiap ada prolog, pasti ada epilog kan ;>
![](https://img.wattpad.com/cover/144304970-288-k441205.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Kau, dan Kelas Puisi [SAIINO] ✓✓
Fanfic[COMPLETED✓] Di kelas puisi, kita bertemu. Di kelas puisi, kita berkarya. Tapi, Akankah kita jatuh cinta di kelas puisi? ### "Kau serius mau masuk kelas puisi itu, Pig?" tanya Haruno Sakura ragu pada sahabatnya. "Nggak apa-apa, dong. Aku ya aku. Jad...