Kue keberuntungan; kue yang suka menebak. Entah itu masa depanmu, masa laluku, atau apa yang sebaiknya kamu lakukan segera.
"Cemilan datang!"
Suara lembut itu sudah tidak asing lagi. Itu Bunda Nono, dari arah pintu belakang. Semua anak langsung menoleh. Senyum mereka mengembang sempurna saat melihat apa yang sang pemilik panti bawa.
Kue keberuntungan.
Siapa yang tidak suka kue keberuntungan? Yang pasti, bukan anak-anak panti asuhan Konoha. Mereka semua sangat menyukai kue keberuntungan, apalagi kalau itu adalah buatan bunda Nono sendiri.
"Siapa yang mau kue keberuntungan?" tawar bunda Nono--meski sudah tahu pasti semua ingin.
"Aku!"
"Aku mau!"
"Mau!"
Semua anak bersahutan, berebutan mengambil kue keberuntungan di nampan. Bahkan termasuk Sai dan Kabuto. Meskipun sudah besar, kue keberuntungan tetap menjadi makanan favorit di hati.
"Jangan rebutan. Antri. Satu-satu, ya," pinta bunda Nono. Wanita berkacamata itu kewalahan menghadapi serbuan.
Mereka semua patuh. Secara otomatis, mengantri satu per satu dengan rapi, seperti bebek yang digiring oleh sang anak gembala.
Satu orang mendapatkan 1 kue keberuntungan. Mereka tampak girang saat kue itu jatuh di tangan.
Ino tidak mengerti. Itu hanya kue. Tidak ada bedanya dengan kue-kue yang lain. Tapi kenapa raut wajah mereka seperti sedang mendapatkan album bertandatangan idola? Memangnya,
"Apa, sih, istimewanya kue itu?"
Baru kali ini Ino mendengar kue yang bernama "kue keberuntungan". Sebelumnya, sekalipun tidak pernah.
"Kue itu bisa meramal masa depanmu," jawab Sasori.
"Atau menebak masa lalumu," Udon menambahkan.
"Kata-kata mutiara juga," sahut Fuu.
"Hah?" Ino mengernyit bingung saat mendengar 3 jawaban dari ketiga anak kecil itu. "Meramal? Kok--"
"Lupakan, itu cuma kue biasa," potong Sai santai sambil mengibaskan tangan. Setelah itu, Sai menggigit sebagian kue keberuntungan di tangannya.
Ino menaikkan sebelah alis, antara ragu dan percaya pada apa yang diucapkan temannya. Ia semakin bingung. "Masa?"
"Coba aja makan satu. Nggak beracun, kok," tawar bunda Nono. Wanita itu menyodorkan nampan yang dibawanya. Di atas nampan itu terdapat 7 kue keberuntungan yang tersisa.
"Terima kasih," sambil berkata begitu, Ino mengambil salah satu dari 7 kue keberuntungan di nampan. Gadis itu menyipitkan mata, mengamati kue keberuntungan yang diapit telunjuk dan jempolnya. Tidak ada yang salah dengan kue itu--kecuali bentuknya yang terlipat. Untuk kedua kalinya dalam chapter ini, Ino tidak mengerti.
"Mana mungkin kue bisa meramal. Sampai-sampai dinamai 'kue keberuntungan' segala," komentar Ino, pedas. Sepedas sambalado--seperti dalam lagunya.
"Kamu nggak bisa menilai makanan sebelum mencoba, un," kata Deidara, seolah-olah dia yang paling bijak.
"Sama seperti teman," balas kabuto lirih.
Ino mengendikkan bahu malas. "Oke. Kamu benar, dan aku salah," ia mengakui. "Ya, nggak ada salahnya mencoba."
Setelah berkata begitu, Ino menggigit sebagian kue itu, berjaga-jaga jika rasa di mulut tidak sesuai ekspektasi.
Jika Ino pernah mengira bahwa kue keberuntungan adalah kue biasa, maka Ino akan menarik kembali ucapannya.
![](https://img.wattpad.com/cover/144304970-288-k441205.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Kau, dan Kelas Puisi [SAIINO] ✓✓
Fiksi Penggemar[COMPLETED✓] Di kelas puisi, kita bertemu. Di kelas puisi, kita berkarya. Tapi, Akankah kita jatuh cinta di kelas puisi? ### "Kau serius mau masuk kelas puisi itu, Pig?" tanya Haruno Sakura ragu pada sahabatnya. "Nggak apa-apa, dong. Aku ya aku. Jad...