PROLOG

7.3K 183 0
                                    

Sudah hampir dua jam hujan melanda kota Jakarta dan belum ada tanda-tanda untuk berhenti. Oleh karenanya, tidak sedikit orang yang berada di luar terpaksa memberhentikan aktivitasnya sejenak untuk berteduh atau sekedar memakai jas hujan.

Seorang gadis bertubuh mungil yang tengah berdiri di bawah halte pemberhentian bus nampak terlihat bosan menunggu hujan reda. Dirinya kini sedang bersandar pada tiang halte dengan tatapan lurus ke depan. Sesekali menghembuskan nafas lelah, menahan tangisnya yang sepertinya akan pecah sebentar lagi.

Kedua mata bulat itu sudah berair, tapi sekuat tenaga si cantik menahan air matanya tidak keluar.

Dua jam sudah waktu yang gadis itu habiskan di sini. Berdiri dengan kondisi baju setengah basah karena tadi sempat menerobos hujan untuk mencari tempat teduh.

Rambut panjangnya yang basah ia biarkan tergerai. Harap-harap bisa cepat kering supaya tidak terlihat kusut dan berantakan.

Gadis cantik itu nampaknya sudah sangat lelah. Lututnya terasa pegal karena terlalu lama berdiri.

Tak lama, suara petir terdengar menggelegar di sertai kilat yang menyambar begitu cepat. Gadis itu secara spontan menutup telinganya menggunakan kedua tangan—di susul dengan teriakan yang cukup kencang sehingga membuat beberapa orang di sini meliriknya dengan berbagai macam tatapan.

Belum ada satu satu menit, suara petir kembali terdengar. Lagi-lagi gadis itu terkejut. Dengan spontan mulutnya berteriak, menimbulkan suara yang tidak kalah kencang dari suara petir tadi—yang ternyata berhasil menimbulkan tatapan heran dari beberapa orang di sini.

Perlu kalian ketahui gadis itu sangat takut dengan petir. Jadi, jangan heran apabila dirinya heboh sendiri.

Belum sudah si cantik menutup telinganya dengan kedua tangan, tentu disertai dengan rasa shock dan takut yang tak kunjung sudah. Tiba-tiba saja terdengar sebuah suara dari seseorang di sampingnya.

"Hey, kamu nggak papa?"

"H—hah?" Dengan spontan gadis itu mendongkak kepalanya, menatap sumber suara. Raut wajahnya yang pucat membuat dirinya mendapat tatapan iba dari sosok yang baru saja berbicara dengannya.

Sosok itu berdiri disamping gadis mungil yang nampaknya masih ketakutan itu. Matanya kemudian beralih pada badge name yang terpasang di sebelah kiri seragam sekolahnya—yang bertuliskan Keyla Hahn.

Keyla sendiri merasa canggung sekaligus takut oleh kehadiran wanita tengah baya di sebelahnya ini. Dalam hati merasa was-was dengan keberadaan orang asing tersebut. Ditatapnya wanita itu lama tanpa berkedip. Sedikit memundurkan badannya, berjaga-jaga kalau dia menyentuh tubuhnya.

Keyla tahu maksud Ibu itu baik, tapi entah kenapa dia merasa takut. Rasa cemas tentu saja bisa dirasakan oleh siapapun, termasuk Keyla. Oleh karenanya, jangan anggap dia berlebihan. Tentu semua punya alasan sendiri.

"Kalau kamu takut, kamu bisa peluk saya,"

Sempat ada jeda selama beberapa saat sebelum Keyla menggelengkan kepalanya, di susul dengan memalingkan wajah. Menatap lurus ke depan.

Dipeluknya tubuhnya sendiri yang mulai terasa dingin, "kamu siapa?"

Wanita tengah baya itu memandang lurus ke depan, bersamaan dengan terpaan angin yang terasa di tubuhnya, "yang jelas saya bukan orang jahat,"

Keyla kemudian tidak menanggapinya. Tubuhnya mendadak merinding berdekatan dengan seseorang yang bahkan tidak ia tahu namanya.

Seketika gadis itu mengingat perkataan Papanya yang sering kali diucapkan di rumah.

"Kamu harus hati-hati sama orang yang enggak kamu kenal. Dia bisa saja berbuat jahat kapanpun dan dimanapun dia mau," 

"Kalau ada yang ngajak ngobrol, jangan diladeni. Langsung pergi saja dan kalau perlu telepon Papa,"

Keyla menelan ludahnya sendiri, mati-matian menunjukkan ekspresi biasa saja ketika wanita tengah baya itu tak kunjung melepas pandangan darinya. Membuat Keyla merasa risi oleh tatapan yang ditunjukkan. Detik setelahnya, ia langsung menunjukkan tatapan tidak suka. Bahkan keningnya berkerut.

"Bisa nggak, Ibu berhenti natap saya?"

Wanita itu menanggapinya dengan senyum, "kamu cantik,"

Keyla semakin ketakutan. Dirinya ingin menelepon Papanya tapi ia ingat bahwa ponselnya mati sejak tadi.

Hujan sudah mulai reda, dan satu persatu orang yang ada di sini mulai meninggalkan halte. Saat Keyla menengok ke belakang, tersisa dua orang asing yang tidak memiliki tanda-tanda untuk meninggalkan tempat ini. Gadis itu menghembuskan sedikit nafasnya, merasa lega begitu tahu bahwa  yang tersisa di halte tidak hanya dia dengan wanita itu.

Keyla berniat meninggalkan tempat ini, akan tetapi dirinya tidak mempunyai payung. Ia ingin menerobos gerimis dan menaiki salah satu angkutan umum untuk pulang. Namun sepertinya sangat mustahil dia melakukan hal itu mengingat Papanya selalu melarang Keyla untuk menaiki angkutan umum, atau bahkan berjalan sendirian dalam kondisi apapun.

Oleh karenanya, Keyla sekarang bingung harus melakukan apa. Sedangkan langit sudah mulai gelap, tanda malam akan tiba.

"Mau saya antar pulang?" Wanita itu kembali bersuara, memberikan penawaran yang sungguh tidak masuk akal. Menghadirkan ekspresi bingung dari Keyla sekaligus degupan jantung yang mendadak bekerja dua kali lebih cepat dari sebelumnya.

Belum sempat menjawab, terdengar deru suara mobil mendekat. Membuat pandangan Keyla dan wanita asing itu beralih pada kendaraan berwarna hitam tersebut. Perasaan lega Keyla rasakan begitu menyadari bahwa Papanya datang untuk menjemputnya. Entah bagaimana caranya Pria itu bisa tahu keberadaan anaknya di sini.

Wanita asing itu kembali menatap Keyla yang perlahan menunjukkan senyum ke arah Papanya.

Akan tetapi, saat kaca mobil terbuka dan menampilkan sosok Pria dengan jas formalnya, senyum itu langsung memudar begitu melihat raut wajah marah yang ditunjukkan oleh Pria berusia 50 tahunan itu.

"Keyla!"

Kedua mata itu menatap Keyla secara tajam. Tatapan itu spontan membuat nyalinya menciut.

Apa Papanya marah karena Keyla tidak memberinya kabar?

Detik setelahnya, salah satu Pria berbadan besar yang Keyla yakini adalah bodyguard Papanya, keluar dari mobil dan menghampiri Keyla. Tanpa aba-aba dia langsung menarik tangan gadis mungil itu dan membawanya masuk ke mobil.

Tidak memungkiri ringisan kecil yang hadir dari bibir tipis itu kala mendapat perlakuan kasar. Bahkan mengabaikan beberapa pasang mata yang kini tertuju padanya, menatapnya bingung sekaligus was-was.

Alih-alih marah, Keyla justru diam saja begitu mendapat paksaan dari sosok berbadan besar ini. Tidak melakukan perlawanan apapun, karena percuma saja ia tidak akan mampu mengalahkan bodyguard Papanya ini.

Kaca mobil tertutup begitu si cantik sudah berada di dalam mobil. Sedangkan wanita tengah baya yang sempat berbicara dengan Keyla tadi—sibuk mengamati pemandangan di depannya dengan senyuman kecil.

Kedua mata itu setia memandangi mobil yang dinaiki Keyla. Hingga saat mobil itu melaju dengan cepat dan menghilang dari pandangannya, barulah ia memalingkan wajahnya.

Kini, kedua mata itu memandang lurus ke depan. Ke sebuah tempat di mana sesosok lelaki tengah berdiri sembari menyandarkan tubuhnya ke tembok.

Keduanya tersenyum begitu pandangan mereka bertemu.

ANGKASA BAGASKARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang