Brother

249 25 10
                                    

Dapat Tsunayoshi rasakan sesuatu bak emanasi tak menyenangkan; mengalir deras dari sosok pemuda yang sedang dibuntutinya. Seperti kepulan asap hitam yang menyelimuti bara api. Jika dilihat baik-baik tak hanya Tsunayoshi yang terpaksa menghirup asap hitam kelam senada dendam itu, setiap orang yang tak sengaja berpapasan dengan duo Sawada itu akan segera menyingkir beberapa meter untuk menjaga jarak. Seperti petaka di siang bolong, seorang Sawada Kyoya dengan mood swing-nya yang melegenda menampakkan diri di jalanan pusat perbelanjaan Namimori.

Jalan setapak khusus untuk preman sekolah yang tengah melejit karirnya itu tercipta dengan sendirinya, membuat keramaian terbelah menjadi dua barisan. Sejatinya Kyoya enggan membaur, biasanya ia menyuruh bawahannya untuk berpatroli di tempat penuh herbivore semacam ini. Dan kali ini adalah karena sukarela yang dipaksakan.

"Ka-Kaa-san ingin ki-kita membeli apa?"

Terungkaplah alasan Kyoya berada di tengah Shoutengai itu.

Tsunayoshi dengan berani mencoba mencairkan suasana. Sejak diajak, atau kalau boleh jujur -dipaksa- mengikuti kakaknya dengan sepenggal titah dari sang ibu untuk mereka, Kyoya tak kunjung berucap. Terlebih lagi ia tidak tahan dengan tatapan intimidasi orang-orang di sekitar mereka yang seolah berharap padanya untuk melakukan sesuatu terhadap 'tonfa berjalan' itu. Meski status mereka sebagai saudara tak berpengaruh pada Tsunayoshi.

Tak segera membalas, Kyoya menghentikan langkahnya. Tsunayoshi nyaris menabrak punggung kakaknya jika saja gerakan refleknya terlambat barang satu detik saja, ia bersyukur untuk itu.

"Sebelum pulang bisa tidak tolong belikan Kaa-san beberapa bahan makanan? Soalnya di kulkas sudah habis"

Kalimat itu menggantung di pikirannya untuk beberapa saat. Ada suatu kejanggalan melingkupi batinnya. Bukan karena kecerobohan Nana yang lupa tak memperhitungkan total belanja yang mungkin melebihi (sisa) uang saku mereka. Bukan pula karena pemikiran kolot seperti tidak mau berbelanja sayur lantaran dirinya anak laki-laki. Soal membahagiakan Nana apapun ia bersedia lakukan, kecuali satu hal; Kyoya tak menampik tentang satu hal itu.

Wortel, lobak, brokoli bahkan kentang sayuran semacam itu kerap ditemui di penjual sayur pinggir jalan. Sayangnya, apa yang dimaksud oleh ibunya jauh berbeda dengan sayuran yang biasa dijual di pasaran.

Alis Kyoya berjengit. Astaga, masakan apa yang hendak disajikan oleh Kaa-san-nya tercinta.

Melipat kertas yang ada ditangannya itu dengan rapi, tanpa menatap balik sang adik ia menyerahkan kertas itu pada Tsunayoshi.

"Eh? A-apa ini?", dengan penuh kehati-hatian yang berlebih jemari itu meraih kertas dari Kyoya.

"Oregano, Turmeric, Basil, bubuk Lal Mirch..," Tsunayoshi membacanya pelan.

Ternyata hanya selembar kertas berisi daftar belanjaan, ia kira surat c- tantangan, gencatan senjata, atau semacamnya. Tsunayoshi memiringkan kepalanya; menyadari ada benang merah diantara bahan makanan bernama aneh itu.

Masakan Italia?

Tsunayoshi mendadak merasa pintar. Tidak sia-sia ia mendengar ceramah ibunya saat dipaksa membantu di dapur.

Kenapa Kaa-san memasak masakan Italia?

Tidak ada dari mereka yang menggemari masakan Italia. Apalagi hidangan khas dari negara lain bukan sesuatu yang setiap hari disajikan. Seolah efek dari ceramah Nana belum menghilang, Tsunayoshi lantas menduga bahwa ibunya hendak merayakan sesuatu. Tapi, apa?

Ingin bertanya pada Kyoya, si pemuda itu justru sudah pergi meninggalkannya duluan.

"Ky-Kyoya-nii?"

Her SonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang