Don't Call Me Juudaime

178 14 10
                                    

Part 8: Jangan Panggil Aku Juudaime

For all the things that I have done.
Can I be forgiven?
Asking for forgiveness, even when I am drowning in the sea of madness.
... into the sea of sinful love...

°°°

Pukul 07:30 di kediaman Sawada.

"Ohayou, Kaa-san.", sapa Tsunayoshi ketika memasuki ruang makan rangkap dengan dapur itu.

Nana tersenyum, "Ohayou, Tsu-kun. Tidak biasanya jam segini sudah bangun."

Tsunayoshi hanya mengangguk sebagai balasan, dia memang bukan tipikal orang yang suka bangun pagi; wajar saja jika kesadarannya masih terganggu saat ini.

"Nah, sarapan sudah siap."

Tsunayoshi memakan sarapan dalam diam, tak menyadari keberadaan orang lain yang dengan tenang duduk di bangkunya sambil menyantap sarapan.

"Kyo-kun juga tumben sarapan di sini"

Mendengar nama kakaknya disebut, pemuda yang masih mengantuk itu mengangkat wajahnya dan berhenti menyendok sepiring omelet yang kini terbengkalai. Dilihatnya sang kakak tengah sibuk memakan jatah sarapannya.

Jantungnya berdebar lebih cepat.

Saluran pernafasannya tiba-tiba tersumbat.

Pundaknya terasa berat.

Dan keringat,

Astaga, menetes tak singkat hingga ia yakin akan menimbulkan aroma yang menyengat.

Bodoh amat. Tsunayoshi tak peduli dengan suasana ruangan yang biasanya bebas dari Kyoya ini; yang menjadi no. 1 di kepalanya sekarang adalah bagaimana caranya agar ia terlepas dari rasa ketidaknyamanan yang tengah ia alami sekarang.

Gugup, gelisah, resah, risau, canggung, kikuk, takut, bingung, kesal, dan segala perasaan negatif yang menyertai bak berpesta-pora dalam hatinya. Tsunayoshi tak mampu mencegahnya, mereka muncul tanpa diduga, datang tak diundang dan enggan berpulang.

Entah berapa hari telah berlalu sejak percakapan terakhir mereka, Tsunayoshi memutuskan untuk mulai mengurangi durasi eksistensinya di kehidupan Kyoya. Akan tetapi, ia sadar tak ada perubahan yang berarti sebab sejak awal kehadirannya memang tak berarti.

"Fon-san tadi menelepon, ia menanyakan kabarmu, Tsu-kun", ibunya mulai bercerita tentang kejadian tadi pagi. Agak heran juga, pagi-pagi ibunya sudah bertegur sapa via telepon rumah dengan laki-laki lain. Apakah Fon diam-diam berstatus sebagai pelakor? Ah- lupakan. Suami saja menghilang entah kemana bak ditelan lubang hitam. Tsunayoshi bersyukur jika ibu tercintanya menemukan tambatan hati baru, hanya saja ia belum siap punya ayah baru. Lah?

"Dia bilang, jika sudah selesai dengan urusannya, ia ingin melihat hasil tesmu, Tsu-kun.", tampak sang ibu rumah tangga tersenyum ceria. Yakin dengan bimbingan Fon, putra bungsunya itu setidaknya akan mendapat nilai dengan coretan tinta hitam.

Tak begitu tertarik dengan topik pembicaraan yang diangkat Nana, disantapnya kembali omelet buatan sang ibu tercinta sembari mengangguk sebagai respon ala kadarnya, sedikit berterima kasih karena telah menurunkan ketegangannya. Tsunayoshi mengangguk lagi- dan...

"Ingin melihat hasil tesmu, Tsu-kun"

Ucapan Nana barusan beresonansi di dalam kepalanya, diiringi nada bahagia yang tercermin di setiap katanya. Senang rasanya jika sang anak yang gemar bermain game dan jarang belajar ini akhirnya mau memperbaiki nilai.

Her SonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang