Perempatan Jalan Terakhir (Part 1)

50 7 5
                                    

Oleh: Adri Aghniansyah

Aku tidak bisa berhenti menatap dirimu saat ini. Benar-benar tidak bisa. Lihat saja aku. Bola mataku tidak pernah beranjak dari bola matamu.

Dari semua gerak gerikmu. Perubahan garis wajahmu yang menyiratkan kebahagiaan. Lalu berpindah pada rona malunya.

Aku sedikit lupa. Rambutmu yang tergerai, terkepang, terikat kebelakang. Mengelusnya bisa jadi pilihan pertama yang berani aku lakukan.

Kemudian gerak-gerik mulutmu yang penuh energi. Bercerita segala hal tentang kamu. Tentang aku. Lalu kembali lagi seperti semula. Aku hampir ingat setiap intonasi ucapannya.

Ini gila. Tapi sungguh menyenangkan.

Selalu ingin rasanya terus seperti ini.

"Ngeselin gak sih?" tanyanya padaku, yang sedari tadi setengah tidak sadarkan diri.

"Eh, iya ya." Aku sedikit terkaget. Terkesiap mendengar pertanyaannya itu, menjawab seadanya. Setelah sadar, beberapa detik setelahnya, lalu siap memberi komentar.

"Tapi itu bagus, bukan? Kamu juga jadi lebih siap menghadapi kejadian itu."

***

Ini hari kamis malam. Jalanan lenggang, tidak begitu padat. Pun dengan orang-orangnya. Tidak begitu banyak keramaian yang biasa terjadi. Dan kami syahdu di waktu ini.

Aku masih melihat keluar. Hanya ada beberapa kendaraan berlalu lalang. Selang beberapa detik, arah jam pukul sebelas. Ya, dia masih ada disini.

Aroma robusta dalam secangkir vietnam drip menyuguhkan momen terbaiknya. Menunggu aku untuk menyesapnya. Untuk kembali larut dalam pembicaraan.

Ini masih pukul delapan malam. Sebuah coffeeshop di tengah pusat kota. Aku sedikit tidak menyangka bisa bersamanya disini. Bukan sebuah kebetulan karena ini permintaanya.

Dering telepon cukup mengagetkanku yang baru saja merebahkan diri di kasur. Baru saja kalah oleh serbuan makanan. Dan tidak dinyana, dia mengajakku menemaninya malam ini.

Jadi, tidak mungkin bukan rasanya aku bisa menolaknya?

Aku memberanikan diri menyeimbangkan posisi.

***

"Menurutku, perasaan ini tidak pernah salah. Dan aku tidak pernah sekalipun menyesalinya. Apalagi, aku beruntung bertemu denganmu.

Karena kamu, aku merasa lahir kembali. Menyadari bahwa perasaan tidak semudah itu untuk diterka.

Mengerti bahwa kelemahan terbesar kita adalah diri kita sendiri. Lalu memahami bahwa pun aku tidak bisa menang di setiap saat aku menginginkannya.

Jatuh cinta padamu tidak pernah salah buatku. Yang salah itu selalu aku.

Yang terlambat menyadari bahwa perasaan bukan barang akal. Mengerti bahwa kelemahan bukan tolak ukur. Hingga memahami rasa bukanlah kompetisi.

Jadi, silahkan pergi.

Kalau kau memilih untuk pergi. Aku tidak akan menahanmu lagi. Aku tidak juga akan mengejarmu.

Tapi, maaf. Sulit bagiku untuk sekedar beranjak dari sini. Apalagi berbalik arah melawan angin.

Dan sekiranya pergi membuatmu meragu. Tolong kembali saja.

Karena aku pasti ada dibelakangmu.

Menjadi lelaki yang paling berharap,

Menyentuh,

Menyelipkan jemariku,

Diantara rongga jemarimu lagi."

***

Menuju KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang