"Jangan lupa bawa jas hujanmu ya."
Itulah salah satu diantara banyak kepedulianku padamu. Hanya lewat kalimat sederhana, tetapi semudah itu juga kau tidak pernah menggubrisnya.
***
Sore ini langit sedang tidak ingin tersenyum. Ia menggerutu, berdeham berkali-kali entah kepada siapa. Gelisah, seperti baru saja terbangun dari mimpi buruk tidur siang bolongnya.
Aku menatap Elle baruku. Berulang kali menatap lamat-lamat setiap bagiannya. Strap berwarna putih dengan bentang garis berwarna emas di sisi-sisinya. Angka-angka romawi yang juga berwarna keemasan disertai ukiran kecil bangunan megah paling terkenal seantero eropa, menara Eiffel. Sungguh elegan. Jam tangan pemberian ayahku yang baru saja pulang dari Perancis. Saat ini, jarum pendek dan jarum panjangnya membentang vertikal 180 derajat.
Seperti biasa, sore ini aku menunggumu di halte stasiun kota. Menunggumu menjemputku kadang bisa jadi hal yang menyenangkan, namun bisa juga jadi menyebalkan di waktu yang sama.
Aku senang menikmati sendunya sore hari. Saat-saat semilir angin menyentuh membangunkan rambut-rambut tipis lengan dari kekakuan. Seolah-olah dipaksa untuk ikut menari mengikuti arah hembusannya. Saat-saat ramainya jalanan yang seringkali membuatku tergoda untuk diam berdiri diantara lapisan aspal, lalu berjalan santai diantara mereka. Mengumpat pada orang-orang di jalanan karena mereka yang tidak bisa bergerak. Menikmati titik perspektifnya yang begitu menawan.
Namun, menyebalkan ketika harus mengingat hal kecil yang tidak pernah kau perhatikan. Aku masih bisa mentolerir keterlambatanmu, tetapi tidak pada sikap kurang pedulimu padaku. Seperti pada musim hujan kali ini, kau selalu saja lupa membawa jas hujan.
Terhitung telah sebulan lebih musim hujan sudah bergulir, tiap hari kuingatkan kau untuk membawa jas hujan. Tetapi, tidak pernah satu hari pun kau bawa. Padahal aku juga sudah berkali-kali mengingatkanmu kalau beberapa waktu ini aku sedang sibuk.
Setelah mengambil kuliah terakhir jam lima sore, aku harus bergegas menuju suatu kafe di pusat kota. Bertemu rekan bisnis untuk menyelesaikan proyek usaha baruku. Jika ditengah jalan berkali-kali aku harus terjebak hujan lagi denganmu, aku akan terlambat. Itu juga akan mengundur waktu pertemuan. Calon investor usahaku kesal. Skenario terburuknya, aku bisa kehilangan prospek usahaku.
Atau ketika aku punya kepentingan acara organisasi kemahasiswaan yang juga seringkali mengambil tempat di luar kampus. Dengungan adagium bahwa ketua tidak boleh telat dan harus menjadi contoh bagi para anggotanya sangat kental ada pada lingkunganku. Telat sedikit, aku kena hukum. Jika kau tidak membawa jas hujan lagi, aku harus menunggu hujan reda di pinggir jalan. Gara-gara kamu, aku bisa dinilai buruk oleh orang lain. Lagipula, sudah sejelas itu juga pepatah terkenal bilang, "Sedia Payung Sebelum Hujan". Atau maksudku, apa sulitnya membawa jas hujan? Jadi, ketika aku punya keperluan mendadak dan terburu-buru, tidak ada diantara kita yang sama-sama dirugikan. Bukan begitu?
Kamu tidak pernah mengerti.
"Selamat sore tuan putri. Sudah lamakah menunggu?"
Aku terbuyarkan dari lamunanku. Menemukan lelaki yang sedari tadi kutunggu memberikan helmnya padaku. "Lama!" ujarku sedikit kesal. Padahal, kau paling tahu aku tidak pernah bisa sekesal itu padamu.
Aku menaiki motor bebek kesayanganmu. Permukaan joknya keras. Kalau sedang kesal, aku bisa sampai mengutuk-ngutuk motor kesayanganmu ini. Sayangnya, aku juga terlalu menyukaimu. Gerutuku tidak pernah sampai di permukaan.
Tanpa memedulikan ungkapan kekesalanku, kau tarik pedal gas sepeda motormu untuk melaju.
Langit semakin gelap. Keramaian jalanan tiba-tiba berubah menjadi kepanikan. Beberapa diantara pengemudi menambah kecepatan kendaraannya. Kilatan cahaya petir diiringi suara gemuruh menandakan turunnya hujan. Bukan gerimis, ini hujan deras. Siapapun akan lebih memilih untuk berhenti daripada lanjut menerobos.
![](https://img.wattpad.com/cover/149781282-288-k504074.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Menuju Kamu
Poetry... Lalu tunggu sampai aku datang Menepuk bahu kananmu Membiarkan mata itu bertemu mataku Sampai garis mata kita dalam ekuatornya Sejajar dalam tatap Dan aku melihatmu Seperti yang pernah aku lakukan dulu Dan dalam satu tarikan nafas saja Aku tidak...