Pangeran Kenaifan yang Benci Sore Hari

48 6 3
                                    

Oleh: Adri Aghniansyah


Dari sekian banyak dongeng kuno,

Juga cerita tua yang mengikutinya,

Aku bisa bangga,

Mendaki gunung tertinggi,

Menyusuri padang pasir tanpa ujung,

Melewati terpaan badai,

Aku selalu bisa,

Tapi sungguh malang,

Hanya pada yang satu ini,

Aku bisa mereguk banyak gagal,

Berjejak diantara perasaan,

Berpangku pada sabarnya hati,

Merelakan ego untuk pergi sejauh mungkin,

Aku bisa merasa banyak gagal,

Karena tak pernah bisa menangkan kamu,

Bahkan bukan hanya kamu,

Untuk setiap wanita yang pernah kudatangi,

Yang setiap pagi kuketuk pintu hatinya,

Bercanda lepas berharap dipersilahkan masuk,

Lalu duduk di ruang tamu,

Bercengkrama tak mengenal waktu,

Dimensi tak utuh,

Bak ada di galaksi lain,

Membicarakan bumi dan segala isinya,

Tidak pernah sekali habis,

Tidak juga seperti teh ini,

Yang dua tiga gelas kita habiskan seharian,

Hingga saat sore tiba,

Aku harus pulang kembali,

Bukan menetap padamu,

Pamit tak berujung angan,

Pulang juga enggan,

Tapi kamu tak pernah menahan,

Aku pun berlalu pelan,

Seraya berbalik badan,

Memanggil kamu lagi,

Menandaskan aku ingat wajahmu,

"Sudah saatnya pulang." ,katamu.

Tapi tidak pernah jadi kataku.

"Iya, aku pulang."

Ya, aku selalu pulang,

Kosong, hampa, tanpa rasa,

Memanggil kamu dari luar pagar,

Setelah itu, berjalan lagi,

Mencari peraduan baru,

Meminta seonggok rasa,

Pada setiap pintu yang kuketuk,

Bercanda lepas berharap dipersilahkan masuk,

Lalu duduk di ruang tamu,

Bercengkrama tak mengenal waktu,

Terus begitu hingga aku berhenti lagi,

Berdiri diantara perasaan,

Berpangku pada sabarnya hati,

Merelakan ego untuk pergi sejauh mungkin,

Ah sudahlah,

Kamu saja yang sudahi puisi ini,

Kata-katanya sudah usang,

Kamu bisa sadar,

Aku mengulanginya terus,

Bukan aku pesimistis, manis.

Karena aku sudah tahu pasti akhirnya,

Akan jadi seperti apa.

Tapi yang pasti cuma ini,

Aku bisa mereguk banyak gagal,

Karena tak pernah bisa menangkan kamu,

Ah sudahlah,

Aku ini fakir rasa,

Berharap disuapi sayang,

Tanpa siap mengenang,

Pangeran kenaifan,

Memandangi mahkotanya,

Terbelah jatuh ke tanah,

Selamat malam, kebencian.

Aku tidak pernah bisa lebih membenci diriku sendiri daripada ini.

***

Wanita itu menyingkap gorden jendela,

Menatap punggung lelaki itu,

Yang masih berdiri di mulut pagar,

Dalam diam ia meracap,

Entah berdoa atau komat-kamit,

Hingga sesaat sebelum lelaki itu berbalik badan,

Aku bisa mendengarnya sedikit bertutur,

"Jangan cari tempat pulang lagi,

Datang saja, aku takkan sungkan."

Hingga fajar karam di ufuk barat, dia tak pernah singgah lagi.    

Menuju KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang