Imaji yang Realistis (Part 2)

30 3 0
                                    

Oleh: Adri Aghniansyah

"Hai, selamat malam."

Aku sudah pada posisi berdiri, setengah mematung. Tentu karena kegugupanku sendiri. Tapi, senang bisa mengetahui kata-kata sapaan pada malam ini, yang sudah direncanakan sedari pagi tadi, akhirnya terucap juga.

Tanganku membuka jabatan tangan. Melihat parasnya yang tertutup kain hijab berwarna putih. Seputih aku yang juga tidak bisa membayangkan kesuciannya. 

Seperti biasa, seperti tahun-tahun yang lalu, kau masih juga memakai kacamata hitammu itu. Yang katamu, tidak nyaman di batang hidung. Entah karena hidungmu yang tak terlampau panjang dan meruncing, aku selalu tertawa kecil ketika kamu mengeluh karenanya.

Rona merah wajahmu juga masih seperti dulu. Merah muda, menyiratkan rasa malu yang tak pernah usai. Yang ketika kucoba untuk menyentuhnya, malah mengatup tertutup. Seakan tak ingin ada yang mengenalnya lebih jauh. Sementara aku disini, sudah cukup lama untuk membuatmu terbuka.

Dari rona merah wajahmu itu, bisa kulihat juga lengkungan pipi. Melengkung membentuk garis wajah yang mudah sekali diingat. Turun kebawah, aku bisa melihat pertemuan antar garisnya, tertuju pada dagumu yang tidak lentik, namun tidak juga meruncing tajam. Satu dari sekian banyaknya kesempurnaan, salah satunya ada pada dagumu.

Lalu sampailah pada bibirmu itu. Ah, aku sudah tidak kuasa membayangkannya.

"Hai, sudah lama ya tidak jumpa." 

Sesederhana itu balasanmu, dan aku pasti tahu. Itu bukan jawaban yang disempalkan mulutmu seadanya.

***

Ya, sudah lima tahun lamanya kita tidak berjumpa. Bukan waktu yang lama bagi pengelana, penggemar perjalanan, yang ingin menjelajahi dunia tempat dimana ia berpijak. Tapi, justru adalah waktu yang cukup lama bagi pengelana rasa, penggemar bunyi dawai asmara, yang ingin mencari kalbu tempat dimana ia menetap.

Maksudku, aku yang sendiri begini sejak lima tahun lalu, pasti merindu kamu. Kita sama-sama tahu, kita pernah saling mengobati. Kau dengan sendumu yang dulu, aku dengan senduku tentangmu. Begitu menggelikan.

Sampai saat terakhir kita bertemu, aku belum juga semampu itu untuk sekedar bicara.

"Kalaupun begitu, harusnya kamu udah siapin semuanya. Mulai dari perencanaannya, kayak organizer, dekorasi, konsep, konsumsi, semuanya harus udah kita siapin. Jadi, keinginan kamu bukan hanya sekedar niat, tapi memang benar-benar jadi bagian dari rencana yang terealisasikan. Bener kan?" diakhir pertanyaan itu, kamu sedikit tertawa.

Kamu juga menutupnya dengan menyesap frappuccino hangat di hadapanmu. Seolah-olah sengaja dipertontokan padaku.

"Ya, bisa aja sih."

Kali ini aku sengaja berhenti. Lalu, melanjutkan.

"Kalau calonnya juga ada!"

Kita tertawa bercanda. Tidak terlalu lucu buatku, namun selalu senang melihatmu tertawa. Apalagi, untuk kita yang sama-sama sedang tertawa. Disinilah aku, melihatmu tertawa saja sudah jadi makanan yang mengenyangkan buatku.

Setelah candaan itu terasa tidak lucu lagi, kamu mengulang keseriusanmu. Mencari posisi duduk yang nyaman, sembari tertuju padaku.

"Tapi, kamu inget gak sih? Dulu terakhir kali kita ketemu, ada pertanyaan dari aku yang belum kamu jawab."

Aku tercekat. Bagaimana aku bisa lupa tentang yang satu ini. Atau mungkin, ini semua gara-gara ulahmu yang sengaja menipuku agar aku terlihat sedikit bodoh saat ini?

Satu, dua, tiga hal tentangmu, mungkin hanya satu pertanyaan ini yang tidak kuingat. 

Setelah dalam beberapa detik aku mengernyitkan alis, kau menangkap kebingunganku. Dengan pasti, kamu melanjutkan lagi. "Aku pernah tanya kamu."

"Menurutmu, jatuh cinta itu apa?"

***

Menuju KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang