Pertemuan (2)

68 8 1
                                    

——
Aku takut menerima kenyataan pahit darimu, aku berharap semua baik-baik saja dan ini hanya perasaan buruk yang hinggap dihatiku yang kalut.
——

Hari itu, Kinda hanya diam melihatku yang sibuk sendiri dengan ponselku. Sambil cengengesan aku membalas pesan demi pesan dari Glenn. Aku lupa bahwa sekarang Kinda yang lama tidak berjumpa denganku sedang menatapku.

"Lan."

Aku diam.

Panggilan kedua aku masih diam, hingga akhirnya panggilan ketiga Kinda meniup wajahku kasar.

"Apa Kinda?"

"Sejauh itu dia ngerubuhin benteng pertahanan kamu?"

Aku tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Kinda. Aku hanya menatapnya dengan penuh harap, menunggu lanjutan dari bibirnya. Gadis di depanku hanya membenahi letak kacamatanya dan mulai berbaring di ranjangku.

"Lanjutkan." ungkapnya sambil mengeluarkan ponselnya.

"Maaf Kin, aku nggak sengaja cuma mau balas pesan dari Glenn. Lagian dia juga udah sibuk lagi, pesanku belum di balas." rengekku sambil menyeret lengannya.

"Iya-iya aku ngerti kok." Kinda tertawa.

"Udah lama ya nggak keluar bareng, makan siang yuk?"

Aku menoleh dan menatap Kinda penuh harap. "Ayo!"

Aku langsung bergegas menuju lemari dan berganti pakaian, tidak perduli sedang ada Kinda di sana yang menatapku keheranan. Tapi dia hanya diam. Ya, begitulah Kinda orangnya seperti desiran angin, sangat tenang.

Aku bertanya kepadanya, kita akan makan dimana. Kata Kinda dia akan mengajakku untuk makan di kedai Koh Ahong, itu adalah langganan kami makan Chinesse food semasa SMA. Aku mengiyakan, sudah lama aku tidak pergi ke tempat Koh Ahong.

Setelah aku siap, kami langsung berangkat menggunakan sepeda motor milik Kinda. Ah, rasanya sudah lama sekali tidak menaiki motor yang dulu juga selalu menemaniku. "Kinda, aku kangen motormu." ucapku.

Dia yang sedang memasang helm nya menoleh ke belakang, "Sama aku nggak?"

"Ya kamu juga lah." aku tertawa.

Kinda langsung melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Katanya, dia ingin menikmati perjalanan. Sudah lama ia tidak mondar-mandi di sekitar kompleks perumahanku ini. Biasanya gadis ini selalu memacu motornya dengan kecepatan yang cukup tinggi hingga tinggi, yang terkadang bisa membuat aku naik darah dan terguncang-guncang angin.

Di perjalanan, tepatnya saat baru keluar dari kompleks perumahanku tidak sengaja aku menangkap sosok laki-laki yang perawakannya agak mirip dengan Glenn, ia sedang bersama seorang wanita. Keduanya membelakangi kaca kafe itu sehingga aku tidak dapat melihat wajahnya. Selagi motor Kinda melaju, kepalaku berputar ke belakang seperti burung hantu.

"Heh, ngapain?" Kinda mengarahkan spion motornya untuk melihatku sekilas. Aku hanya menggelengkan kepalaku saja. Ku lihat senyum Kinda yang berusaha mencari tahu tapi aku terus menggeleng. Akhirnya Kinda menyerah untuk mencari tahu dan memilih mengendarai sepeda motornya dengan fokus.

Entah kenapa perasaanku seperti terombang-ambing, aku tercekat. Aku menggelengkan kepalaku, meyakinkan hatiku bahwa itu bukan Glenn. Aku bahkan tidak melihat wajahnya secara langsung kan? Itupun aku hanya melihatnya sepintas. Lalu apa yang menjadikan alasan aku begini?

Tidak-tidak itu bukan Glenn. Laki-laki itu pasti sedang sibuk dengan urusan rumahnya atau urusan kuliahnya. Aku meyakinkan diriku lagi bahwa itu bukanlah Glenn, itu hanya pikiranku saja. Pikiran kalut yang berusaha mencekik diriku. Iya kan?

Akhirnya setelah kurang lebih 15 menit perjalanan kami sampai di kedai Koh Ahong. Hm, wangi masakannya sudah memanggil perutku untuk mencicipinya lagi. Akhirnya kami memesan menu yang kami sukai masing-masing. Seperti biasa, Kinda memesan ayam kecap dan aku memesan nasi goreng, menu sejuta umat Indonesia.

"Tadi kamu di motor kenapa? Kalo bisa puter 360° berputar kaya burung hantu kali kepala Ilana." celetuk Kinda.

Ah, lagi-lagi aku sudah berusaha melupakannya dengan mencium wangi masakan Koh Ahong, si Kinda malah mengingatkan lagi.

Sepertinya Kinda tahu bahwa aku sedikit gelisah.

"Kenapa?" tanya nya lagi.

Kali ini aku yang menyerah untuk menahan diri. Aku ceritakanlah kegelisahan yang sedari tadi aku pendam. Sudah ku katakan bukan, bahwa pada Kinda aku akan mengatakan secara gamblang. Aku tidak bisa berbohong pada mahkluk di depanku ini. Entah kenapa. Aneh.

"Perasaanmu aja." ungkapnya santai.

"Kamu nggak pernah berubah, suka nyangka ini itu yang bukan-bukan." gadis itu menyeruput es teh yang baru saja datang.

"Udahdeh makan dulu aja jangan mikirin yang aneh-aneh lagi."

Aku mulai merasa sedikit tenang. Iya mungkin ini hanya perasaan saja. Kata-kata Daniel dan Kinda yang membuat aku jadi berpikir yang bukan-bukan. Bodoh sekali, kenapa aku bisa sampai segininya pada orang yang baru ku kenal? Sampai-sampai aku jadi kalut tak karuan seperti orang gila.

"Ayo makan." Kinda mengagetkanku dan aku dengan cepat langsung memakan si makanan sejuta umat di depanku.

Setelah selesai makan kami bergegas untuk kembali ke rumah. Tapi aku baru ingat bahwa persediaan coklat di rumahku sudah habis, aku minta tolong pada Kinda untuk mengantarku ke supermarket dekat rumahku.

Akhirnya kami sampai di sana, Kinda meminta untuk menunggu di motor saja. Aku hanya mengangguk dan langsung masuk ke supermarket. Dengan cekatan tanganku mengambil coklat-coklat itu. Saat hendak menuju kasir, mataku menangkap dua sosok itu lagi.

Kakiku bergetar, nafasku tercekat rasanya aku tidak sanggup membawa coklat yang tidak banyak itu ditanganku.

Saat itu di tempat ini pertemuanku sangat apik, tapi kenapa hari ini membuat aku tidak bisa berkata-kata. Takut sekali. Aku menggelengkan kepalaku dengan cepat.

Tidak salah lagi itu adalah Glenn dan Susan.

Tidak tidak, semoga dugaanku salah. Salah besar.

HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang