Melarikan Diri (2)

64 5 4
                                    

——
Aku masih tergugu dalam sendu. Diam! Dan jangan katakan apapun.
——

Matahari menyinari mataku yang terpenjam. Aku mulai mengernyitkan mataku, menyadari bahwa ada secercah cahaya yang mengusik ketenangan mataku. Aku lalu membuka mataku perlahan, ku lihat Kinda ada di sana, membuka tirai perlahan.

"Bangun non!" ia berteriak.

Aku lalu menyadari, sejak kapan bajuku berubah jadi piyama? Bukankah kemarin aku tidak ganti baju? Bahkan tidak menghapus riasan di wajahku.

Seketika aku berdiri dan menuju cermin. Di sana ku lihat mataku yang sembab sudah bersih. Wajahku tanpa riasan. Aku bingung, siapa yang mengahapus riasanku dan mengganti bajuku?

"Aku." Kinda tiba-tiba berdiri di belakangku.

Aku menoleh ke arahnya dengan tatapan bingung.

"Iya aku yang ganti baju kamu sama hapus riasan kamu itu. Penyusah." ucapnya mendengus.

Aku hanya diam, tidak menyahut. Aku hanya menjalankan kakiku menuju tempat tidur lalu mengambil selimutku dan kembali menenggelamkan diriku dalam lelap.

"Eh ngapain!" gadis itu menarik selimutku.

Aku lalu menariknya lagi secara kasar. Memposisikan selimut itu agar menutup seluruh badanku. Tetapi Kinda menariknya lagi, aku juga menariknya paksa. Lalu terjadilah tarik-menarik yang membuat Kinda mengalah.

"Kamu kenapa sih?"

Aku tidak mempedulikannya. Aku hanya diam. Aku malas bicara, rasanya berat untuk membuka mulut. Enggan bercerita, enggan peduli pada orang lain.

"Kemarin kakak kamu telepon aku malam-malam. Minta tolong aku gantiin baju kamu, dia sampai jemput lo!"

Aku masih tidak peduli walaupun dalam hatiku juga ada rasa bingung. Apa-apaan si Daniel jelek itu?

"Ada masalah?" Kinda menyentuhku.

Aku masih tidak bergerak sama sekali. Aku memejamkan mataku. Seolah melarikan diri dari dunia, melarikan diri dari kenyataan. Rasanya hanya dengan terlelap aku bisa lupa dengan semuanya. Aku enggan berbicara karena pasti dia ingin aku bercerita.

"Aku mau sendiri Kinda."

Gadis itu terdiam, aku tidak tahu apa ekspresinya.

Selama beberapa detik dia tidak berbicara apapun, aku juga tidak. Atmosfer kami saat ini sangat dingin. Iya aku tahu bahwa ini semua aku penyebabnya.

"Oke, aku pulang dulu ya Ilana." dia berpamitan, tapi belum beranjak dari tempat tidurku. Hingga akhirnya aku rasakan dia sudah bangun dan keluar dari kamarku.

Setelah ku pastikan dia keluar selama beberapa detik, aku menyembulkan kepalaku dari balik selimut. Aku tertegun, dan menangis. Aku belum mau bertemu dan berbicara dengan siapapun. Berat. Berat sekali. Aku belum siap.

Aku menghela nafasku berat.

Apa aku membuat Kinda kecewa?

Ku pejamkan mataku perlahan, rasa perih itu masih ada di sana. Memori hari kemarin masih teringat jelas. Kata-kata Susan pun masih terekam dan berulang-ulang dalam kepalaku.

"Kenalin, Glenn Adirama, pacarku."

Nyut.

Sakit sekali rasanya. Bagaimana bisa orang yang kau sukai, kau kagumi, yang bahkan kau percayai bahwa ia adalah takdirmu, tapi dia kekasih dari sahabatmu sendiri?

Aku menjulurkan tanganku untuk mengambil ponselku di meja. Mataku terbelalak ada banyak sekali pesan masuk dan panggilan tidak terjawab di sana.

You have 301 messages.

Aku bukan notifikasi itu dan aku semakin terkejut.

Glenn?

Ada 259 pesan masuk dari Glenn dan 42 pesan dari Kinda. Aku membuka pesan kinda terlebih dahulu. Isi pesannya hanya spam dan sisanya menanyakan kondisiku, itu adalah pesan kemarin malam. Aku kembali merasakan penyesalanku pada Kinda, untuk pertama kalinya aku mengacuhkan dia, padahal dia sudah sangat peduli kepadaku.

Akhirnya aku buka pesan dari Glenn.

Glenn : Lan, aku minta maaf. Aku ngga bermaksud untuk itu.

Glenn : Bisa kita ketemu? Aku ngga bisa ngobrol lewat pesan. Teleponku pun ngga kamu angkat.

Glenn : Lan kamu udah di rumah?

Glenn : Ilana, kita harus bicara. Kamu nggak bisa lari gitu aja.

Glenn : Besok, jam 2 sore. Aku tunggu kamu di supermarket biasa.

Itulah inti pesan yang ku tangkap, karena sisanya adalah spam dan ada yang malas ku baca karena mataku sudah mulai perih.

Aku memutuskan untuk tidak menemuinya. Apa aku lari? Ya aku sedang melarikan diri dari semua orang. Aku tidak mau menampakkan wajah sembabku ini, aku tidak mau terlihat lemah. Persetan.

Aku kembali mengingat apa yang diucapkan Kinda.

Ya, aku terlalu cepat memutuskan untuk menjatuhkan hatiku pada laki-laki. Aku bahkan melepaskan janjiku sejak SMA bahwa aku tidak mau dan tidak akan terjerat buaian laki-laki manapun. Pertahanan yang aku buat selama ini runtuh hanya karena Glenn, laki-laki sederhana itu.

Aku kembali menitikkan air mataku.

Bertemu katanya? Huh, bahkan untuk melihat wajahnya saja aku tidak mampu menahan air mataku dan menerima kenyataan bahwa dia bukan laki-laki yang pantas untuk aku cintai. Dia sudah memiliki kekasih, dan itu adalah sahabatku sendiri. Aku tidak bisa membayangkannya. Sungguh itu jauh di luar isi kepalaku.

Aku kembali menenggelamkan diriku dalam lelap. Iya, aku sedang melarikan diri. Karena hanya dengan cara ini aku bisa merasa lebih tenang.

*****

Perutku terasa bergetar. Perutku memaksaku untuk bangun dari lelapku. Aku mendengus, aku lupa bahwa aku belum makan dari pagi tadi.

Aku lihat jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Aku kembali teringat dengan Glenn yang mengatakan ingin bertemu denganku. Ini sudah lewat tiga jam, dan dia pasti sudah menyerah kan?

Akhirnya aku turun dari kamar tidurku dan pergi ke dapur. Rumahku sedang sepi, sepertinya belum ada yang pulang kerja. Di luar sedang hujam deras sekali. Aku tidak melihat makanan di dapur, bahkan mie instan pun tidak ada.

Aku kesal sekali, haruskah aku pergi ke supermarket di saat hujan angin begini?

Dengan piyamaku, aku bergegas mengambil payung dan pergi ke supermarket. Sesampainya di depan supermarket, aku benar-benar tidak bisa menggerakkan kakiku, aku tercekat.

Laki-laki itu tidak menyerah?

Laki-laki yang sudah memiliki kekasih itu, duduk dengan hoodie berwarna coklatnya dan memandang senang ke arahku. Dia lalu berlari ke arahku tanpa menggunakan payung. Bodoh sekali.

Kenapa dia harus seperti ini?

"Aku kira kamu tidak datang Ilana."

Aku hanya diam, ku lihat dia basah terkena hujan, aku masih diam. Aku tidak mengerti, apa ini kebetulan atau dia masih berjuang.

Aku tatap dalam matanya, mata yang di aliri air hujan itu tidak berhenti menatap mataku dengan penuh harap. Seperti biasa sangat teduh.

Dia tersenyum.

"Percayalah Ilana, semua akan baik-baik saja."

Haruskah aku percaya itu, Glenn?

HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang