Perubahan

31 3 1
                                    

  Aku bagai kapal tanpa arah, mengapung sendiri di atas samudra, terombang-ambing tanpa tujuan. —

Dadaku terasa sesak. Apa-apaan ini? Kenapa aku bisa mengungkapkan secara gamblang di depan mata Susan? Bagaimana perasaan Susan? Pasti dia sangat rapuh.

Persahabatanku hancur.

Hanya karena seorang laki-laki.

Tapi begitulah cinta bukan? Aku tidak bisa membohongi perasaanku bahwa Glenn adalah duniaku. Bahwa aku tidak bisa begitu saja melupakannya. Aku sudah terlanjur menyukainya, menyukai cara sederhananya saat bersamaku. Air mataku terus jatuh, kaki ku melangkah menjauh sejauh yang aku bisa. Aku malu, tapi entah kenapa hatiku meminta untuk mempertahankan apa yang harus dipertahankan.

Aku menepi di sudut koridor kampus, bersembunyi. Aku terduduk, memeluk kedua lututku. Air mataku masih belum bisa berhenti. Wajah Susan yang terkejut masih terbayang jelas di balik mataku. 

Glenn.

********************************************************

Sejak saat itu, dua bulan sudah berlalu. Aku masih berhubungan baik dengan Glenn. Hari-hariku masih manis, tidak ada kendala dan masalah. Perlahan, persahabatanku dengan Susan memudar. Sudah tidak ada komunikasi antara kami berdua, begitu juga dengan Ochi dan Nanda. Ya, aku mengerti mereka kecewa padaku.

Aku, Ilana, masih fokus pada satu kebahagiaan yaitu Glenn. Aku tidak peduli dengan apapun, yang terpenting adalah aku masih bisa tertawa hangat dengan Glenn dan merasakan kehangatannya.

Aku menyadari aku egois, aku selalu menanyakan perihal siapa aku dimatanya. Tapi apakah aku salah? Aku hanya ingin kejelasan. Aku sudah mengorbankan perasaanku untuk hal yang menurutku lebih membahagiakanku. Aku salah?

Semenjak itu, Glenn mulai menghilang.

Susah dihubungi,

dan membuatku hampir gila.

Seperti saat ini, Glenn sudah dua hari berturut-turut menghilang. Aku sudah menghubunginya berkali-kali tapi sama sekali tidak ada jawaban.

Sampai sekarang pun aku masih berusaha menelfonnya.

"Glenn kamu dimana?"


Suaraku terdengar meninggi saat Glenn baru saja mengangkat telfon dariku. Sudah berulang kali aku menelfonnya sejak siang tadi tetapi tidak ada respon darinya.

"Hai Lan."

Hanya itu saja respon darinya.

"Glenn, aku mau ketemu."

"Maaf Lan, aku nggak bisa."

Aku mengernyit, "Loh kenapa?" tanyaku.

"Aku sibuk."

"Glenn, udah dua minggu kita nggak ketemu. Kenapa sih?"

"Aku udah bilang aku sibuk kan Lan?!"

Glenn terdengar menggertak. Aku hanya diam, hatiku tertegun. Glenn, seorang laki-laki yang selama ini aku kagumi, yang selalu bersikap lembut, tiba-tiba menggertakku?

Apa-apaan ini?

"Glenn—"

"Udah ya Lan, aku nggak bisa telfonan lama-lama."

Dan telfon pun terputus.

Kalian tahu perasaanku saat ini?

Wah jangan ditanya, ambruk. Aku langsung terduduk, kakiku melemas, aku takut.

Aku takut dia bersama Susan, aku takut dia bersama yang lain, aku takut aku bukan satu-satunya.

Aku mulai merasakan perubahan dari Glenn, perubahan yang sangat tanpa aba-aba. Perubahan yang membuatku semakin bertanya-tanya,

sebenarnya ini apa?

Aku kembali teringat, saat-saat pertama bertemu, saat ia meminta maaf padaku, meminta kesempatan padaku,

lalu semua itu apa?

Air mataku menetes pelan. Mulai menyadari bahwa semuanya tidak lagi sama. Permen karet yang manis sudah mulai hambar, tanpa rasa.

Apa hanya aku yang menganggapnya luar biasa?

Apa hanya aku?

Tiba-tiba pintu kamarku terbuka pelan, ku lihat sosok gadis berkacamata yang menengok dari sana.

"Ilana?"

Aku menatapnya dengan air mata yang sudah jatuh di pipi dan dengan lirih aku memanggil namanya,

"Kinda,"

Seolah mengerti sirat mataku, dia memelukku erat.

Aku tumpahkan segala kegelisahanku,

hari itu juga, aku mengadu semua padanya,

tanpa jeda.

HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang