Selepas dari pos 3 adalah trek pendakian yang paling berat. Jalannya terus menanjak dan cukup curam.
Edo terlihat sudah mulai berkurang semangatnya. Sedangkan Deo yang sedari tadi kurang bersemangat semakin tampak tidak berdaya. Entah apakah ada pengaruhnya dari kata-katanya di pos 3 tadi, tapi kakinya seolah-olah sangat berat melangkah. Terseret-seret lemah. Agas yang melihatnya tidak tega dan memutuskan untuk mengambil alih tas punggung yang dibawa Deo. Untung bukan carier yang dibawanya. Hanya tas ransel punggung biasa yang berisi entahlah apa mungkin hasil dari googling cek list barang pendakian. Yang jelas sudah sedikit berkurang ketika di basecamp tadi, mereka memakan jajanan dan keripik kriuk bekalnya. Hmm"Gas, sumpah kaki ku rasane. Nggak kuat aku Gas"
Keluh Deo kepada Agas disela nafasnya yang tersengal-sengal.
"Sebentar Yo sabar."
Jawab Agas menenangkan sambil terus menopang lengan sahabatnya itu.
"Jangan ngomong capek, berat, nggak kuat, berkali-kali cuk. Disini yang diomongin bisa kejadian beneran"
Lagi-lagi Bima yang mendengar keluhan Deo menjawab dengan kesal.
Kira-kira setengah jam kemudian, Deo tampak sudah tidak kuat lagi. Dia meminta untuk berhenti sejenak karena kakinya dirasa sudah sangat berat dan kaku. Mungkin juga kram.
Lalu mereka memutuskan untuk menghentikan perjalanan. Dan ternyata mereka berhenti di dekat sumber air mirip sumur. Agas teringat pada artikel yang sempat dibacanya. Mungkin ini sendang panguripan, pikir Agas. Sumber air yang konon dikeramatkan warga sekitar. Dan artikel mengingatkan agar berhati-hati dan tidak menginjak sesajen yang berada disekitar sendang. Baru saja Agas celingukan mencari dimana saja letak sesajen agar tidak ter-injak, tiba-tiba...."Ehh... awas..." Teriak fatim sambil menunjuk ke arah Deo yang sudah sempoyongan dan sedang mencari tempat untuk duduk yang nyaman. Ternyata hampir saja Deo menduduki sesajen yang terletak tidak jauh dari sendang itu.
Mungkin sedikit telat karena tampaknya sesajen itu sempat tersenggol tangan Deo. Sedikit berantakan."Wahh bahayaa kita cuk, ati-ati dong! Kalau duduk liat-liat. Lagian dari tadi ni anak bikin ribet banget sih"
Tampaknya Bima sudah benar-benar kesal pada Deo
"Udah... udah... ngga usah jadi ribut. Ayo dirapihkan lagi aja. Trus kamu baca doa yaa..."
Kata Andika menengahi sambil membantu merapihkan sesajen yang sedikit berantakan tersenggol tangan Deo.
"Lain kali ati-ati cuk. Kalau di gunung memang gitu. Semua harus dijaga dan selalu waspada."
Setelah selesai membantu merapihkan Andika menepuk bahu Deo sambil berlalu menjauh menghampiri Bima yang duduk terdiam.
Tidak jauh dari Bima dan Andika duduk, Edo mendengar percakapan mereka
"Sabar Bim. Jangan terpancing emosi"
Kata Andika sambil merogoh tasnya mengambil botol minumnya yang tinggal separo.
"Manja banget anaknya, kesel liatnya. Aku sebenernya dari awal nggak setuju mereka gabung rombongan kita. Dari awal kita udah sepakat ber enam. Mereka gabung jadinya ber sembilan. Ganjil"
Kata Bima sambil melempar-lempar kerikil kecil yang dimainkannya. Tampaknya dia yang paling percaya mitos yang beredar di masyarakat.
"Udahlah Bim, jangan terlalu percaya hal-hal yang begitu. Kita kan niatnya ngebantu mereka. Kasian masih pada baru belajar ndaki. Percaya aja kalau niat kita baik, Tuhan juga pasti ngelindungin kok."
Andika menepuk bahu Bima menenangkannya.
Srreettt bruuukkk....
Tidak jauh dari mereka duduk, Deo terlihat terjungkal dari tempat duduknya di batuan disekitar sendang.
Doni yang tidak jauh dari situ reflek menarik tangan Deo. Tapi sepertinya terlambat. Deo sudah terjungkal ke tanah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Setapak Kisah Rindu
HorrorMencoba menceritakan kembali pengalaman pertama para pecandu ketinggian. Sebagai luapan rindu pada dinginnya ketinggian Note = gambar diambil dari berbagai sumber