Setelah melewati perjalanan yang lumayan mencekam, bagaimana tidak, mereka berjalan dalam diam. Hanya terdengar suara alas sepatu yang bergesekan dengan tanah dan bebatuan di jalan setapak yang mereka lalui atau sesekali hembusan nafas berat dari mereka yang mungkin sudah kelelahan. Sampailah mereka di Hargo dalem. Disana terdapat warung legendaris. Warung mbok yem namanya.
Hanya warung yang menjual nasi pecel dengan telur mata sapi dan minuman hangat seperti pada umumnya. Bangunannya pun tidak berbeda dengan warung kecil yang biasa dijumpai. Yang membuat istimewa adalah lokasinya. Diketinggian sekitar 3200an mdpl.
Bagi para pendaki Lawu, warung mbok Yem ini seperti surga. Kenikmatan nasi pecelnya mengalahkan restoran mewah sekalipun. Membangun tenda di area warung mbok Yem rasa nyamannya mengalahkan hotel bintang lima.
Entah bagaimana sistem distribusinya, siapa pemasok bahan baku yang dijual disana, yang jelas dia adalah manusia-manusia tangguh haha...
Setibanya di Hargo dalem Agas dan kawan-kawannya mendirikan tenda di sisi kosong permukaan datar di sekitar tenda-tenda lain yang sudah berdiri.
Dan setelah terlibat beberapa percakapan dengan pendaki-pendaki lain, ternyata kejadian-kejadian yang Agas dan teman-temannya alami adalah bukanlah yang pertama dialami pendaki. Bahkan ketika masuk kawasan yang biasa disebut pasar setan, beberapa ada yang mendengar
"Tumbas nopo mas/mbak?"
Atau dalam bahasa Indonesia
"Hendak membeli apa mas/mbak?"
Dan jika pendaki mendengarnya sebaiknya pendaki segera memetik daun dan meletakkannya di satu tempat seolah-olah sedang membeli sesuatu.
Tentang pendaki berjaket merah? Tidak banyak yang tahu tentang itu. Tetapi beberapa selentingan yang Agas dengar kabarnya memang pernah ada pendaki yang hilang bertahun-tahun yang lalu dan kabarnya pendaki itu mengenakan jaket gunung warna merah. Entah bagaimana nasib pendaki tersebut, tidak ada cerita yang jelas tentangnya.
Satu hal yang jelas bagi Agas, Edo, dan Deo adalah pelajaran yang mereka dapatkan dari pendakian pertama mereka. Bahwa pendakian gunung bukanlah hanya egoisme semata. Ambisi menaklukkan ketinggian, tanpa pengalaman, perhitungan yang jelas, persiapan yang matang, dan tentu saja tim yang solid akan sangat berbahaya. Karena nyawalah yang menjadi taruhannya.
Pencapaian puncak juga bukanlah tujuan akhirnya. Justru tujuan akhir seorang pendaki adalah rumah. Iya rumah. Tantangan bagi pendaki adalah, bagaimana mereka bisa melalui sebuah perjalanan panjang dengan segala tantangan dan rintangan lalu bisa kembali sampai dirumah dengan selamat. Berkumpul kembali dengan keluarga dengan selamat. Itulah tujuan pendaki yang sebenarnya.
Belajar bahwa sebagai manusia dengan segala kesombongannya adalah bukan apa-apa. Ketika dalam perjalanan, di hutan yang sepi, pada dingin yang menusuk tulang, yang menyebabkan hipotermia yang luar biasa sampai ada beberapa yang akhirnya harus pergi menghadap Illahi, bahkan harta kita pun tidak bisa menyelamatkannya. Pelukan kasih, dekapan hangat, bahkan kerelaan dari teman pendakian lain untuk membuka bajunya, memeluk erat menempelkan badannya untuk mentransfer panas tubuhnya, justru itulah yang dapat menyelamatkannya.
Belajar bahwa ada kuasa dalam setiap perkataan. Berhati-hati dalam berucap berpikir sebelum berpendapat atau mengambil sebuah keputusan, diatas sana kita bisa mendapatkan pelajarannya juga.
Bahwa Kuasa Tuhanlah diatas segalanya, bahwa begitu berharganya alam yang Tuhan anugerahkan kepada kita. Yaa... disana. Pada perjalanan pendakian semua bisa didapatkan.
Ketika makna dari sebuah pendakian itu benar-benar didapatkan, maka seorang pendaki tidak akan tega meninggalkan sampahnya di atas sana. Tidak akan rela memetik bunga edelweis untuk kekasihnya. Tidak akan angkuh pada ambisi pencapaian puncaknya tetapi menikmati setiap prosesnya. Begitulah seharusnya."Gituu..."
Tutup Agas meng-akhiri ceritanya padaku. Aku masih terdiam dan mungkin rasanya mulutku sedikit menganga waktu itu. Hihihi
Takjub.
"Trus gimana? Jadi berani naik ke Lawu di pendakian berikutnya?"Tanya Agas sedikit menantang
"Branii laaah... siapa takuut.."
Jawabku sambil menyibak rambut,
"Tapi anu... jalan siang aja yaa."Serem juga kebayang jurang yang nyaris nggak terlihat mata atau tiba-tiba ditawarin selfi sama pendaki berjaket merah. Bukan apa-apa, kalo malem kan takutnya engga keliatan. Ehehe
Agas tertawa sambil mengacak-ngacak poniku dan kemudian menyeruput es sirop di gelas yang mulai basah oleh embun menempel di gelas kaca.
Sore itu, baru ku tahu. Agas yang pada waktu pendakian merbabu terlihat begitu berani, cekatan, dan sangat ahli di mataku, ternyata pernah menjadi 'pendaki alay' juga hihihi.
Balik lagi. Proses.
Dan aku bersyukur bisa belajar darinya.
Wah packing ah. Next trip...
Dinginnya Lawu~________________

KAMU SEDANG MEMBACA
Setapak Kisah Rindu
HorrorMencoba menceritakan kembali pengalaman pertama para pecandu ketinggian. Sebagai luapan rindu pada dinginnya ketinggian Note = gambar diambil dari berbagai sumber