Pos 3 dan pendaki berjaket merah

73 8 0
                                    

Dari Pos 1 (basecamp) menuju Pos 2, jalanan masih aman. Dapat dilihat perkebunan warga. Jalannya juga belum terlalu menanjak. Edo tampak paling semangat diantara mereka bertiga. Sempat mereka berpapasan dengan beberapa warga sekitar. Mungkin salah satu dari pemilik perkebunan yang berada di kanan kiri jalan antara pos 1 ke pos 2

Selepas dari pos 2 suasana mulai berubah karena memang mulai masuk hutan dan tidak ada lagi perkebunan warga. Tanahnya juga sudah terasa menanjak semakin terjal.

"Gas, istirahat dulu ya. Capek."

Tiba-tiba Deo yang sedari tadi terlihat paling kurang yakin dan kurang bersemangat menepuk setengah menarik pundak Agas meminta untuk berhenti.

"Aduh gimana dong yo, kita kan bareng-bareng tim. Masak kita berhenti sendiri"

"Bilang aja, minta berhenti sebentar. 5 menitlah, cukup untuk aku ngumpulin nafas lagi"

Segera setelah Agas meng informasikan pada salah satu anggota tim, mereka memutuskan berhenti sebentar. Tapi tidak terlalu lama, mereka segera beranjak lagi.
Sebelumnya...

"Habis ini ati-ati cuk, didepan ada jalan sempit yang kalau siang pemandangannya bagus banget. Tapi kalau malam ya gelap, dan hanya jurang. jurang yang cukup dalam."

Salah satu dari tim yang terlihat sepertinya pemimpin dari 5 pendaki yang lain mencoba memberi peringatan kepada Agas, Edo, dan Deo. Karena kelihatannya hanya mereka yang sama sekali belum mengenal medan penanjakan.
Dan benar saja. Tidak lama setelah mereka mulai jalan lagi, sampailah pada jalanan yang luasnya kira-kira hanya setengah meter, dengan tanah licin sehabis hujan dengan pemandangan kanan kirinya gelap. Entahlah seberapa dalam jurang nya dan seberapa tinggi tebing di sisi sebelahnya, hanya saja sekilas ketika lampu senter kepala menyorot ke arah jurang itu Agas sempat berpikir menyesal memulai perjalanan ini. Dia berpikir belum siap mati. Haha
Setelah melalui beberapa waktu perjalanan yang cukup menegangkan sampailah mereka di sebuah bangunan kecil yang sudah terlihat usang dan tidak terawat. Itulah pos 3. Rombongan tim Agas dan teman barunya memilih untuk beristirahat sejenak disitu.
Beberapa dari mereka memilih berselonjor saja di pinggiran jalan setapak. Ada juga yang memilih bersandar di tiang-tiang bangunan tua itu.

"Gas, camp disini aja gimana?"

Kata Deo setelah menenggak air putih dari botol yg dipegangnya.

"Walah, kalau disini sih kita belum dapet apa-apa yo. Viewnya juga belum kelihatan"

Jawab Agas mencoba meyakinkan

"Tapi aku capek banget Gas. Kondisiku sepertinya kurang fit. Kaki rasanya beraat. Dan kayanya perjalanan masih panjaang banget"

Deo tertunduk lesu

"Waduh bro, kalau sudah niat mendaki jangan ngeluh. Nggak usah dirasain nggak enaknya. Justru disitu tantangannya. Tapi nanti terbayar hasilnya pas kamu sampai puncak"

Bima, salah satu dari enam pendaki yang menjadi teman nanjak Agas dan kawan kawan seketika saja menjawab dengan nada agak tinggi.
Terang saja Bima merespon begitu karena dalam sebuah pendakian terutama di gunung lawu yang memang terkenal masih kental aroma mistisnya, selain menjaga kebersihan, sikap dan perilaku, sebaiknya para pendaki menjaga setiap perkataannya. Konon katanya, ketika kita mengucapkan "aku capek", maka perjalanannya terasa sangat melelahkan dan berat sekali di kaki untuk melangkah.
Entahlah hanya mitos yang dipengaruhi mistis atau memang kekuatan sugesti pikiran kita sendiri yang berperan.
Deo pun hanya terdiam setelah mendapat jawaban dari Bima dan hanya pasrah untuk memilih melanjutkan perjalanan. Karena berkemah disitu sendirian juga tidak mungkin dia lakukan.

"Ayo gas lagi yook..."

Teriak Doni dari rerimbunan semak, setelah selesai buang air kecil.
Dan ketika akan berjalan menuju bangunan tua di pos 3, tiba-tiba dari belakang Doni muncul serombongan pendaki lain. Yang paling depan berjaket merah. Oh tunggu, ternyata tidak. Setelah pendaki berjaket merah, dibelakangnya tidak nampak pendaki lain. Dia sendiri.

"Mari mas..."

Sapa pendaki berjaket merah kepada Doni yang pada saat itu memang berada paling dekat dengan jalan setapak.
Memang sudah menjadi kebiasaan bagi para pendaki untuk sekedar saling menyapa jika berpapasan atau menawarkan beberapa bantuan ketika terlihat ada yang membutuhkan.
Alam memang mengajarkannya, bagaimana hidup saling menolong dan membutuhkan.

"Oh yaa mari maas... gabung kita mas? Kita juga udah mau gas lagi kok"

Sapa Doni menawarkan untuk bergabung bersama.

"Oh nggak mas. Makasih. Saya duluan"

Kata pendaki berjaket merah tanpa membuka kerudung jaketnya dan syal yang membalut di bagian leher sampai hidung dan mulutnya, sehingga wajahnya tidak terlihat jelas oleh Doni. Apalagi penerangan hanya berasal cahaya bulan yang masih sedikit tertutup awan selepas hujan tadi sore dan dari lampu tenda kecil milik salah satu dari rombongan yg di letakkan di batu dekat bangunan tua pos 3.

"Aku kok merinding ya cuk..."

Kata Doni kepada teman-temannya setelah beberapa saat pendaki berjaket merah berlalu dari mereka.

"Halaah... mulaaii... udah udah, ayo siap-siap. Kita gas lagi."

Sergah gadis berambut pendek yang tadi menawarkan pada Agas dan teman-temannya untuk nanjak bareng. Ternyata namanya Nerry. Dia seorang mahasiswi tekhnik industri. Salah satu dari dua pendaki wanita di rombongan ini.
Yang satu lagi namanya Fatim. Sebenarnya Fatim bukan berasal dari fakultas yang sama dengan lima teman pendaki yang lain. Fatim adalah mahasiswi tingkat dua dari fakultas kedokteran. Fatim adalah kekasih Andika yang sepertinya leader dari rombongan pendakian mereka kali ini.

Setapak Kisah Rindu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang