❄'Chapter Two

3 1 0
                                    

❄❄❄

Siapa pun pasti menginginkan hidup tenang, tentram. Itu pasti, termasuk Auri. Ia hanya ingin membuka lembar baru kehidupannya, setelah sekian lama ia merasakan bahwa hidupnya sudah tidak berarti. Untuk apa hidup ini, apakah hanya untuk membalas dendam? Dendam yang terukir dalam hati, dendam yang selama ini masih terkunci. Dendam kepada semua orang yang bisanya hanya bicara tanpa tau faktanya. Di usianya yang masih 5 tahun dimana ia yang  baru mengenal lingkungannya, ia harus merasakan pahitnya kehidupan. Auri kecil bisa merasakan sakit itu.

Auri, gadis kecil berusia 5 tahun itu menutup dirinya rapat-rapat. Menolak untuk berinteraksi dengan teman sebayanya. Ia trauma, trauma dengan lingkungannya sendiri dimana ia dilahirkan.

Di sekian tahun yang ia lewati dan memendam masalahnya sendiri, takdir berkata lain. Takdir membawa penghibur hatinya yang terlalu lama kesepian. Takdir membawa mentari yang selama ini terkurung dalam mendung. Takdir membawa Auri untuk bangkit dari sunyi. Takdir membawa teman untuk Auri.

***

"Vin, lo abis diajar Auri lagi ya?" Tanya Leon yang menyesap rokoknya dalam-dalam. Mereka bertiga tengah bolos pelajaran sosiologi. Mereka memilih rooftop untuk markas pembolosan. Rooftop adalah tempat yang pas untuk bolos berjamaah walau disana terdapat dua cctv namun dengan keahlian ngawur, Leon berhasil mengutak-atik meski masih ada keraguan, apakah berhasil atau tidak.

"Lo tuh ya, udah tau es loli nolak!! Tetep aja ngebet." Tambah Ayes. "Lo pinter tapi goblok!!!" Pintanya lagi sembari menginjak putung rokok yang masih setengah.

Hari ini mood Zavin benar-benar buruk. Ditambah lagi penuturan dari kedua temannya, membuatnya benar-benar muak.


Zavin diam, ia tengah bergelut dengan perasaan dan pikirannya. Cowok itu mengacak rambutnya, geram. Geram dengannya sendiri. Padahal misinya hanya untuk mencairkan si es loli, menaklukannya. Namun es loli terlalu kuat, tertahan diantara negatif derajat suhu di Antartika.

"Mau?" Tawari Leon, ia menawarkan satu putung rokok yang masih utuh kepada Zavin. Zavin menolak, "gak mood." Balasnya dingin. Lalu Zavin beranjak pergi meninggalkan kedua temannya. Leon dan Ayes menatap punggung Zavin yang kemudian lenyap.

Zavin menyusuri lorong kelas 10. Suasana masih sepi karena bel istirahat belum berbunyi. Kakinya terus melangkah tak menentu arah. Yang ia inginkan sekarang adalah sendiri!

"Panggilan!!! Untuk siswa kelas XI IPS 2 yang saya panggil namanya, segera ke ruang BK!!"

Zavin berhenti, diam sesaat. Suara cempreng itu membangunkan lamunannya. Itukan kelasnya!!

"Zavin Arkana, Leon Xabiru, dan Ayes Altar. Segera ke ruang BK!!!"

"Ah bodo!! Nambahin masalah aja." Zavin tetap berjalan lurus memilih untuk tuli sesaat. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Menarik nafas, mencoba rileks.

Mata Zavin melihat Auri tengah berjalan ke arahnya, membawa tumpukan buku yang banyak. Sebenarnya ia harus tetap melanjutkan misinya, namun mood nya hari ini hancur membuatnya malas untuk sekedar mengganggu Auri.

Saat berpapasan, mereka tidak saling memandang. Bahkan Zavin menatap ke depan, melirik pun tidak ia lakukan.
Namun berbeda yang dilakukan Auri saat melewati Zavin. Auri berbalik dan menghampiri Zavin.

"Bukannya lo dipanggil ke BK, ya?!! Tanyanya yang masih membawa tumpukan buku.

"Kenapa lo peduli?" Ketus Zavin. Sebenarnya ia agak heran pada Auri, tidak biasa Auri mau bicara dengannya. Atau jangan-jangan Auri si es loli udah cair?

IotaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang