❄❄❄
Zavin merebahkan tubuhnya, membiarkan kasur empuk itu menyambutnya. Matanya terpejam rapat-rapat, memberikan kegelapan.Tok... tok...
Tak sampai menjemput mimpi, ketukan pintu itu berhasil membangunkan Zavin. "Masuk aja." Zavin kira itu pembantunya namun bayangan dengan postur tegap itu jelas bukan seperti pembantunya.
Lelaki dengan rambut setengah beruban itu sedang menatap Zavin. Tatapannya sulit diartikan. "Udah makan?"
Kesambet apa?
"Ah, udah kok tadi." Zavin kikuk, dirinya masih tidak percaya lelaki tua ini ayahnya. "Sejak kapan?"
Lelaki tua itu menaikkan alisnya. "Sejak kapan, apanya?"
Zavin menghela nafas pelan, memberanikan matanya agar tak lengah menatap manik coklat milik ayahnya. "Sejak kapan Ayah peduli sama aku? Bukannya hal yang paling Ayah pedulikan hanya pekerjaan?"
Lelaki itu menggertakkan giginya. Selama ini yang ia inginkan hanya bicara dengan anak semata wayangnya ini. Namun semua itu terasa mustahil saat tau hal ini akan terjadi, saat dimana Zavin tidak akan menerimanya.
"Sejak kapan Ayah peduli?" Lelaki itu mengulang pertanyaan Zavin. "Sejak Ayah berusaha memperjuangkan hal yang patut Ayah perjuangkan dan hal itu kamu."
Zavin tertawa hambar. "Kalau Ayah lagi bercanda, candaan Ayah garing. Sejak kapan Ayah punya hal untuk diperjuangkan?!"
"Zavin."
"Sejak kapan Ayah sadar, kalau hal itu adalah aku?"
"ZAVIN!" Nada membentak pun muncul, padahal ia sudah berusaha untuk tidak terpancing emosi namun usahanya gagal.
"Yah! aku gak butuh uang Ayah. Aku hanya butuh sedetik saja berbincang sama Ayah. Main catur sama Ayah, curhat sama Ayah. Cuma itu Yah, bahkan aku rela jatuh miskin jika itu membuat Ayah bisa meluangkan waktu sama aku."
Brakk!
Pintu kamar Zavin tertutup rapat. Meninggalkan Zavin yang tengah meremas rambutnya. Bayangan sesosok lelaki sedikit beruban itu masih disana, namun hanya bayangan.
"Ayah juga menginginkan hal itu." Sesekali ia menyeka sudut matanya. Tubuh ini sudah tidak bisa menyangga rasa sedihnya.
Zavin berdiri, kakinya melangkah menuju balkon. Kedua mata Zavin melihat langit malam yang begitu hampa. Semilir angin malam yang menerpa pun terasa kosong.
Dan disinilah Zavin berdiri. Di antara semua rasa yang berkecamuk, beradu menjadi satu. Di antara jutaan pilu yang selama ini terpendam, dan enggan untuk hilang. Disinilah ia sekarang, berdiri dalam permainan takdir.
"Bun, Zavin kangen. Zavin pengen peluk Bunda. Banyak hal yang ingin Zavin ceritain, banyak banget. Saking banyaknya Zavin sampai lupa kalau Zavin masih punya Ayah.
Zavin tersenyum, sebuah senyuman pahit jika bisa dirasa oleh lidah.
"Zavin yakin Bunda udah liat semuanya dari sana. Entahlah Bun, apa yang Zavin lakukan ini bener atau salah. Yang pasti Zavin pengen melindungi temen Zavin. Bunda kenal kok, dia sahabat Zavin sewaktu SMP.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iota
Ficção Adolescente"Cuma orang bego yang nganggep dirinya bego! Dan itu lo!" Auri tidak habis pikir jika dirinya akan terjebak dalam sandiwara murahan ini. Terjebak antara penasaran dan rasa takut.