❄❄❄
Langkah Auri gontai, perkataan Zavin terus berdengung—bersemedi dalam otaknya, membuatnya semakin membenci Zavin. Tau apa Zavin tetang hidup Auri?
Ia menghela nafas, tidak ada gunanya jika ia terus terpuruk walau hatinya menolak untuk tidak mengungkit hal itu. Tapi ini bukan masa lalu melainkan masa depan dimana semua hal tentang adanya ketidakpastian dan salah satunya adalah keberadaan Zavin. Bukannya ia mau menyerah melainkan ia hanya pasrah.
Zavin memang tidak bisa merubah dirinya, bahkan Zavin semakin memperburuk keadaannya. Tapi Auri yakin bahwa Tuhan tidak pernah salah memberi jalan untuknya. Dan Zavin adalah jalannya, entah menuju yang lebih baik atau sebaliknya.
Auri melangkahkan kakinya masuk ke dalam kelas. Ia beruntung tidak ada guru yang mengajar. Auri pun masuk lebih dalam menuju ke bangkunya. Entah perasaannya atau memang kenyataannya, seakan semua gerak-gerik teman sekelasnya terhenti saat Auri datang. Semua kebisingan pun menjadi sunyi, tak kalah semua mata menatap padanya.
Bangkunya berada paling depan tepat di depan meja guru. Ia mencoba tidak peduli dengan semua sorot mata tajam yang menatap ke arahnya, Auri benar-benar tidak peduli karena dalam hidupnya ia sudah menghapus rasa itu. Rasa yang membuatnya muak.
Auri merogoh tas bagian depan, jemarinya mencari earphone. Setelah ia menemukan earphone yang setia tertancap pada Mp3 kecilnya, ia segera memasangkan pada kedua telinganya kemudian melipat kedua tangannya di atas meja. Menidurkan kepalanya yang berat. Lantunan musik kesukaannya itu membuat hatinya damai. Ia sudah terjebak ke dalam iramanya, membuatnya tenang.
Brak...brak...
"Woi ada pengumuman!" Seru Tifani sang ketua kelas.
Auri masih dalam posisinya enggan membangunkan badannya yang penting ia masih bisa mendengar pengumuman itu.
"Karena tiga hari lagi ulangan akhir semester dua alias ulangan kenaikan kelas, bagi yang punya tunggakan harus segera dilunasi!"
Tifani menjeda pengumuman itu, melihat seisi kelas yang mengabaikannya. Mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing membuat Tifani geram.
"Woi! Kalian dengerin gue gak sih?!" Tanyanya dengan wajahnya yang mulai merah karena marah.
Mereka yang sadar akan membangunkan singa tidur merasa bersalah. Sesegera mungkin menghentikan aktivitasnya.
Tifani melihat itu dengan amarah yang masih mengebu. Ia memejamkan mata, mengatur nafasnya. "Tenang Fan, masa jabatan lo tinggal beberapa hari lagi." Tifani menguatkan dirinya dalam batin yang terus bergeming dan nanti jika sudah kelas 12 ia tidak mau lagi untuk mencalonkan diri jadi ketua kelas.
Ia melihat sekitar lagi dan kali ini semua mata memperhatikannya kecuali sepasang mata Auri. Tifani pun tidak peduli.
"Oke selain pengumuman tadi ada juga buat class meeting. Class meeting kali ini diadakan di lapangan futsal dan cowok doang yang bertanding bagi yang cewek jadi supporter!"
"Dan... yang bolos tanpa ijin selama class meeting bakal remed satu tahun!"
"Ya elah, ikutan class meeting aja daripada ujian!" Teriak Daus yang disusul tawa secara bersamaan.
Auri tersenyum sinis mendengar semua penuturan itu. Peraturan seakan mempermainkan mereka dengan sanksi yang tidak jelas.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Iota
Novela Juvenil"Cuma orang bego yang nganggep dirinya bego! Dan itu lo!" Auri tidak habis pikir jika dirinya akan terjebak dalam sandiwara murahan ini. Terjebak antara penasaran dan rasa takut.