❄'Chapter Four

6 0 0
                                    

❄❄❄

Auri mengetuk pintu berulang kali, berharap ada seorang yang membukakan pintu untuknya. Namun sayang apa yang diharapkan tidak terwujud.

Akhirnya ia membuka kenop pintu untuk dirinya sendiri. Lelah, ia merasa lelah. Menunggu bukan hal menyenangkan.

Kedua matanya membulat sempurna. Seorang yang ia tunggu, sekarang sedang duduk berdua dengan seorang lelaki dengan jarak yang cukup dekat.

Auri menutup pintu dengan sedikit dorongan. Membuat dua orang yang tengah berbincang itu menatap ke arahnya.

Auri berjalan dengan keangkuhan. Melipat kedua tangannya di depan dada, mengabaikan dua pasang mata yang tengah menatapnya.

"Auri maafkan Ma—" Auri mengangkat sebelah tangannya, meminta Anita untuk diam. "Udah terlambat."

Auri berjalan menaiki tangga, menuju ke kamarnya. Tiap langkah satu tangga ke tangga yang lain, menyisakan sebuah rasa. Rasa sesak, kecewa, marah, lelah, semuanya tertaut menjadi satu.

Auri merebahkan badannya. Serangamnya masih terpasang rapi di badannya. Sebelah tangannya menutupi matanya. Semakin lama ia menemui kegelapan itu, kegelapan semu yang selalu menemui keterangan saat ia membuka mata.

Auri terus tenggelam dalam kegelapan, matanya terus terpejam namun bukan tidur. Ini lebih baik daripada harus menemui kenyataan yang penuh dengan memar.

Ketukan pintu itu membangunkannya, namun tetap dalam posisi yang sama. "Ri, turun yuk. Makan malam." Suara sayup lelah itu masih terlihat tegar dan penuh perhatian.

"Udah makan." Jawabnya bohong. Memang lebih baik untuk seperti itu daripada membuat luka itu semakin lebar.

Anita bisa mendengar itu, mendengar satu kalimat kebohongan dengan separuh kebencian. Ia hanya membiarkan Auri, biarlah dia seperti ini karena kejadian yang dulu tidak bisa terulang lagi. Toh sekarang ia hanya bisa menjalani bukan mengubah takdir.

Anita tidak bisa menyalahkan Auri selebihnya. Sifatnya yang dingin, kasar, bahkan lontaran pedas dari mulutnya—semuanya bukan salah Auri.

"Gimana?" Tanya lelaki tua itu. Anita hanya menghembuskan nafasnya, pelan.

"Biar saya saja ya." Anita menahan tangan Bima.

"Biarkan saja. Dia hanya butuh ruang, anda punya anak remaja kan? Anda pasti tau apa yang seharusnya anda lakukan saat anak anda sedang kesal." Bima takjub dengan Anita, kesabaran wanita ini membuat dirinya pilu. Bagaimana Bima tau kalau anaknya sedang kesal? Menyapa pun jarang.

Malam sudah semakin larut, bintang pun bertebaran semakin banyak. "Ya sudah saya pulang dulu. Maaf ya tadi, kalau saya tidak mengajak anda makan dulu—anda pasti tidak mendapat masalah ini."

Bima melangkahkan kaki menuju pintu, disusul oleh Anita. "Iya tidak apa."

Sebuah senyum itu tercipta di antara gemerlap bintang yang meneranginya.

***


Mentari pagi masih malu menampakkan sinarnya, terhalang oleh kepulan awan hitam. Kemungkinan besar akan hujan.

Auri memerjapkan matanya. Ia masih mengenakan seragam sekolahnya dengan kaus kaki yang menempel di kedua kakinya.

Auri bangun, segera berbenah kemudian turun untuk sarapan.

IotaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang