"Dasar buaya, nyari kesempatan aja." Vika dengan keras memukul tangan itu hingga sang pemilik mengaduh kesakitan.
"Yaelah Vik, cuma megang doang juga, gak meluk ini, tapi kalau boleh meluk juga gak apa-apa."
Daniel mendengus dengan sedikit meringis sambil mengusap punggung tangan yang kesakitan akibat pukulan dari Vika tadi, sedangkan yang lainnya malah menertawakan tingkah mereka yang memang sedikit konyol.
"Ben, ACnya kecilin dong, dingin nih."
Vika adalah tipe orang yg lumayan galak walaupun pada dasarnya ia orang baik dan nyaman kalau dijadikan sahabat.
"........."
Setelah selesai dengan kegiatan mencari perlengkapan untuk berlibur ke Bali mereka di mall itu, mereka memutuskan untuk berpisah, Daniel dan Dimas tak langsung pulang, karena mereka ada acara lain dengan teman mereka yang lain, sedangkan Beni, Anita, Aini dan Vika langsung pulang menggunakan mobil Beni.
Vika yang rumahnya berada paling dekat di antarkan Beni terlebih dulu, hingga menyisakan Beni, Anita dan Aini saja dalam satu mobil.
Beni kini hanya duduk sendiri di depan karena Anita menemani Aini duduk di kursi belakangnya.Di perjalanan menuju ke rumah Aini, semua hanya terdiam dengan pikiran masing-masing, Beni tak tau harus berbuat apa dalam kondisi seperti sekarang ini, bahkan hingga sampai di depan sebuah rumah bercat putih yang sederhana itu pun mereka masih saja saling terdiam. Aini dan Anita turun dari mobil Beni. Mereka berpisah dan baru akan bertemu kembali esok hari untuk menjalani aktifitas seperti biasa.
"Ta, makasih ya, loe emang sahabat terbaik gua." Aini memeluk Anita begitu erat, seolah-olah merek akan berpisah dalam waktu dekat.
"Iya Ni, gua sama Beni akan selalu ada buat loe, kalau butuh apa-apa loe jangan ragu bilang sama kita ya."
Setelah berpamitan, Anita kembali ke dalam mobil, namun kali ini duduk di depan menemani Beni.
"Ben, loe ngerasa ada yang aneh gak sama Aini?" Tak bisa menahan rasa penasarannya, Anita langsung bertanya hal itu pada Beni ketika mobil belum jauh melaju meninggalkan rumah Aini, karena dia merasa akhir-akhir ini Aini kembali murung, padahal sebelumnya secara perlahan namun pasti, Aini bisa pulih dari trauma "Pendakian Terakhir" mereka, yg membuat mereka hampir terbunuh oleh kejadian itu.
"Iya, gua juga ngerasa gitu Ta, tapi semoga aja dia gak kepikiran masalah itu lagi." Anita memikirkan hal yang sama dengan Beni, dia pun tak mau masa lalu itu selalu menghampiri mereka yang pada akhirnya mempersulit diri mereka sendiri untuk meraih masa depan yang lebih baik.
Sementara itu, di seberang jalan, seseorang dengan berpakaian menggunakan sweater bertudung gelap, yang membuat wajahnya tersamarkan telah berdiri cukup lama sambil memandangi sebuah rumah sederhana bercat putih yang tak jauh dari tempatnya berdiri, menunggu salah satu penghuninya pulang dengan setia, namun justru ketika orang yang di tunggunya datang dengan di antarkan ke dua orang temannya menggunakan mobil, dia menghilang, bersembunyi di balik kegelapan, hanya putih dari bagian matanya sajalah yg dapat terlihat oleh remang lampu jalan, namun tatapan tajam itu tak sedikitpun berkedip memperhatikan orang yang sejak tadi di tunggunya seolah takut ketika dia mengedipkan mata sekejap saja dia akan kehilangan orang tersebut, dan setelah menurutnya dirasa cukup untuk saat ini, perlahan dengan mengendap dia meninggalkan tempat itu dengan sebuah senyum menyeringai, memperlihatkan ekspresi kepuasan akan hasil pengamatannya hari ini.
"..........."
Hari telah menjelang pagi, Aini tidur dengan sangat nyenyak hingga suara klakson mobil yang berhenti tepat di depan rumahnya memaksanya untuk membuka mata dan segera menuju ke jendela untuk melihat siapa yang sepagi ini sudah mengganggu tidur nyenyaknya. Setelah mengetahui siapa yang berada di depan rumahnya dan setelah melirik jam yang ternyata sudah menujukan pukul 07.13 pagi, dengan tergesa-gesa Aini pergi ke kamar mandi untuk bersiap pergi ke kampus, karena di depan Beni dan Anita sudah menunggunya, dan sepertinya sudah cukup lama mereka menunggu di sana.
"Maaf telat." Dengan tersenyum merasa bersalah Aini segera meminta maaf sebelum Anita sahabatnya itu menceramahinya.
"Loe kemana aja sih non, jam segini baru bangun? Semalem habis ketemu pangeran?" Tak seperti yang di bayangkan Aini, Anita tak marah sama sekali, bahkan menanggapinya dengan candaan. Aini tersenyum tak menjawab pertanyaan Anita, dan Anita pun tersenyum melihat sahabatnya sudah bisa sedikit tersenyum kembali, jauh di dalam hati dia berharap semoga Aini bisa cepat melupakan kejadian dulu, agar liburan mereka nanti bisa lebih menyenangkan.
Tiiinn...
Sebuah sepedah motor hampir saja menyerempet mobil Beni, pengendara motor itu seketika berhenti dan melihat ke arah Beni yang merasa geram dengan ulah pengendara itu.
"Anjixx tu orang, udah salah nantangin lagi." Beni turun dari mobilnya hendak menghampiri pengendara tersebut, namun ketika Beni hampir sampai, pengendara itu pun langsung tancap gas meninggalkan Beni yang kontan saja membuat Beni semakin murka, Anita turun dari mobil lalu menghampiri dan menenangkan Beni kekasihnya itu.
"Udah, gak usah di ladenin." Beni pun akhirnya mereda, walaupun jauh di lubuk hatinya, umpatan pada pengendara sepeda motor itu masih saja di lakukannya.
Namun jauh di depan sana, di balik helm hitam yang di pakainya, seseorang tersenyum puas telah membuat Beni marah, dia melajukan sepedah motornya dengan sangat cepat menembus padatnya lalu lintas di pagi hari itu.
Hai...
Selesai baca, Jangan lupa tinggalkan vote dan komentnya ya, terus follow juga akunnya...
Terimakasih😁
KAMU SEDANG MEMBACA
NEGERI KABUT DARAH (EPS. 2)
HorrorBagi yg baru membaca cerita ini, disarankan untuk lebih dulu membaca cerita "Pendakian Terakhir", agar mengerti jalan ceritanya. Setelah selesai membaca, jangan lupa tinggalkan vote, komen, kritik dan sarannya.