I

22 1 0
                                    

                              ***

Sekitar bulan oktober, tahun 2015.
Baru saja aku keluar dari kampus pukul 12.30 siang. Aku bersama keempat temanku pada waktu itu.

"Kriiingg...." Suara handphone ku berbunyi di kantong sebelah kiri dan langsung saja aku melihat siapa yang menelfon.

ternyata om aku yang menelfon. Aku pun langsung mengangkatnya. "Ryan, lagi dimana? mamah katanya mau dirujuk ke rumah sakit tuh." Aku diam sebentar lalu menjawab dengan santai kepada saudaraku, "Iya nanti pulang, lagi dikampus nih."

Aku tidak terlalu panik, karna yang aku tahu mamah sering kepuskesmas untuk berobat penyakit nya yang suka lemas itu, juga sering dibilang oleh dokter untuk dirujuk ke rumah sakit, sayangnya aku terlalu bosan, karna mamah tidak pernah mau. Bagi dia rumah sakit itu seperti masuk ke goa katanya. Tapi aku semakin cemas dan bergegas pulang kerumah bersama teman kampusku, Herdi namanya. Ia aku ceritakan kejadian yang baru saja terjadi, cukup kaget dibuatnya.
Aku menyuruh ia membawa sepeda motorku, dan akupun di boncongi nya.

Ketika sampai dirumah, aku menitipkan sepeda motor ke Herdi untuk dibawa pulang kerumahnya, karna aku juga ga tega kalau dia aku suruh naik angkutan umum.

"Her, bawa dulu ya, nanti gue mah gampang kalau emang ke rumah sakitnya." Aku sambil memegang bahunya. "Yaudah yan, mudah-mudahan nyokap loe baik-baik aja ya." Herdi menjawab. Suatu moment yang cukup menenangkan untuk saya dikala itu.

Aku menuju rumah dengan berjalan santai, sampai didalam rumah sudah ada saudaraku di kamar, sementara mamah hanya duduk dengan wajah pucat. Aku masuk sambil tersenyum kearah mamah, kenapa mah?
Lemes banget a, sambil menundukan kepalanya. Iya a, katanya dokter darah nya rendah banget sampai 1/5. Saudaraku menimpal. Yaudah kalau emang dirujuk kerumah sakit, ayo jalan sekarang. Kuat ga mah? Biar disana langsung ditanganin. Aku menjawab. Belia mengangguk.
Setelah itu mamah dan saudaraku yang bernama tante Risma dan anaknya Fira memakai mobil pinjaman tetangga.

Sementara aku mengikuti dari belakang menggunakan motor kakek. Diperjalanan dengan terik matahari yang cukup menyengat, tiba-tiba aku ditepuk pundak ku cukup keras. Aku menoleh, ternyata polisi disebelahku menyuruh meminggirkan motorku di bahu jalan. Aku mulai emosi saat itu, tapi aku harus redam amarah, karna bagaimanapun ber-urusan dengan aparat itu susah jika ingin membela diri sendiri. Dengan motornya, polisi itu tepat berada disampingku, ia berkata:

"Kamu lihat gak itu plat nya tahun berapa?" Iya saya tahu, ini motor pajak nya mati. Saya juga bawa STNK nya. Dan ini bukan motor saya pak, motor saya lagi dibawa teman saya. Ini saya terpaksa karna saya lagi ngebuntutin Ibu saya yang ada di mobil, mau dibawa kerumah sakit. Kalau bapak gak percaya silahkan ikut saya ke rumah sakit Polri. Dia hanya terdiam.

Saya juga meminta pak, untuk tidak asal memukul, Islam mengajarkan untuk menjaga Adab perilaku kita. Kalau bapak muslim, pasti tahu.

Wajahnya semakin emosi

Ia mengatakan: "Kamu siapa ngajar-ngajarin saya ahh!" Bernada keras.
Saya mahasiswa, bapak mau pukul saya di hadapan banyak orang? Silahkan pak, saya tidak pernah takut, semua saya lakuiin karna terpaksa.
Kemudian polisi itu menyalakan sepeda motornya lalu bertugas kembali mencari uang di jalanan.

Kejadian itu membuat aku tertinggal jauh dari mobil yang dinaiki mamah dan saudaraku, dengan cepat aku menghidupkan kembali motorku dengan stengah perjalanan lagi untuk sampai ke rumah sakit.

Disana aku memarkirkan motorku, berlari kecil menuju ruang IGD.
Aku melihat ruangan itu cukup besar, didalam nya dengan orang-orang yang berbeda Usia. Dari anak-anak sampai ke yang paling tua berbaring lemah dengan balutan peralatan dokter. Aku melihat mamah sudah berada di kursi roda, memakai baju kemeja berwarna merah hitam dengan celana panjang berbahan. Wajahnya terlihat pucat sekali, bibirnya terlihat putih dan kedua matanya sayup.

Kau berbaring lemah wanita terbaikku, kau tidak seperti biasanya. Hatiku terkikis perih melihatnya, Tuhan... Izinkan aku membalas kebaikan nya yang telah melahirkanku ke dunia ini.

"Mah, sudah daftar belum? Aku bertanya sambil jongkok di sampingnya.
"udah kok, itu sama tante risma." Jawabnya.

Aku menghampiri tante ku di administrasi, ternyata ia sudah membawa berkas pendaftaran.

"udah didaftarin?" Tanyaku.
"udah semua kok a." Jawabnya.
Aku kembali ke tempat mamahku sembari bersenda gurau dengannya.

Waktu terus berpacu dengan keresahan aku menunggu bersama keluarga besarku yang menjenguk mamah diruang perawatan IGD.
Dua hari berlalu, setelah menunggu keputusan dokter, ia menyarankan bahwa Ibu Rita Haryati harus dibawa ke ruang ICU, karna beliau harus menambahkan darah pada tubuhnya yang sangat rendah sekali. Makanya ia harus dipindahkan keruang ICU. Nafasku tersesak, pikiranku makin kacau, semua keluargaku kaget dibuatnya.

Keesokan harinya mamah sudah di pindahkan keruang ICU, waktu itu aku sedang berada di kampus mengikuti UTS. Setelah usai, aku buru-buru kerumah sakit dengan menggunakan motorku. Tiba disana, pas sekali dengan jam besuk pukul 12.00 siang, aku masuk menggunakan baju steril yang sudah disiapkan oleh pihak rumah sakit. Diruangan yang serba putih-putih itu, dengan alat-alat dokter yang lebih mengerikan lagi, membuat aku semakin bersyukur bisa diberi kesehatan.

Mamah kala itu sedang tertidur, aku duduk disebelahnya, berkata dalam hati:

"Ya Allah, sembuhkan Mamah..." Beberapa menit kemudian, ia bangun dan tersenyum kecil padaku.

"A, udah pulang kuliahnya?" Tanya beliau. " Udah kok mah, baru aja, gimana tadi mah tambah daranya sakit gak?" Tanyaku kembali.
"Ahh kaga sakit kok, ini udah biasa-biasa aja, cuman masih lemes." Sambil tertawa. "Yaudah mah istirahat aja." Jawabku. Mamah mengatakan padaku kalau ia harus disuruh membuat BPJS, karna kalau tidak pakai BPJS sangat mahal sekali.

Kebetulan memang keluargaku belum mendaftarkan, jadi diberi waktu 3 hari agar kartu BPJS untuk mamah segera dibuat. Setelah tahu berita tersebut, aku langsung dibantu dengan saudaraku membuat kartu tersebut di daerah Rawamangun, Jakarta Timur. Persyaratan itu cukup menyusahkan, harus meminta tanda tangan RT, RW, dan Kelurahan. Tapi ini demi mamah, aku harus lakukan. bahkan mengorbankan UTS-ku.

Setelah semua sudah di urus, hari kedua aku berangkat subuh-subuh sekali, karna kalau nanti kesiangan tidak bisa kebagian nomernya. Memang sistem BPJS di Jakarta seperti itu, padahal kantor nya dibuka pukul 08.00 pagi tetapi mengambil nomer antrian dibuka sejak azan subuh. Aku sendiri kala itu, tidak ditemani oleh saudaraku yang harus berangkat kerja.

Ketika sampai disana, langit masih terlihat hitam sekitar pukul 05.10 pagi. Aku melihat disana sudah banyak orang yang mengambil nomer antrian. Tanpa pikir panjang aku pun mengambil dengan cepat. Seingatku waktu itu kebagian nomer antrian 88 A dengan pendaftaran baru. Gila! Ini bisa jam 11 siangan. Kataku dengan cukup emosi. Selagi aku juga malas balik lagi kerumah atau kerumah sakit, akhirnya tetap menunggu disana. Membunuh waktu dengan menulis dicatatan kecil sambil mendengarkan musik.

                                ***

KULAKUKAN SEMUA UNTUKMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang