X

8 0 0
                                    

                                ***

Hari pertama sahur biasanya aku menyiapkan makanan bersama mamah, kadang kalau ada suara tukang sate, ia buru-buru memanggilku untuk membelinya. Beliau jarang masak, hanya bapakku saja yang suka masak. Kalau kata  mamahku:

"Masakan bapak mah dari dulu lebih enak ketimbang gue."

Lanjut lagi...

Akupun menyiapkan sahur sendiran, untuk bapak, dan kakek ku. Meskipun kakek baru saja keluar dari rumah sakit, tetapi puasa tetap jalan terus.

Usai sahur aku tidak langsung tidur, takut nanti kebablasan. Setelah sholat shubuh, aku mempersiapkan untuk berangkat kerumah sakit untuk melakukan proses cuci darah yang sempat tertunda.

Pukul 07.00 pagi aku berangkat, mataku sedikit sayup menahan rasa kantuk. Dan kali ini aku menemani mamah ku untuk kembali lagi cuci darah hanya sendirian. Bapak ku kerja, tante ku juga tidak bisa menemani.

Suatu ketika mobil online datang, mamahku diangkat dari kursi roda menuju mobil dibantu oleh saudara ku dan bapak ku. Ketika ingin hendak masuk kedalam mobil, bapak ku memegang pinggang mamahku agar bisa menggeserkan ke kursi mobil, namun...

"braaaakk...!" Aku melihat kening mamahku terpentok begitu keras di bagian gagang atas pintu mobil.

Melihat kejadian itu aku ingin menangis saja, bergetar seluruh tubuhku. Wajah beliau terasa pucat sekali, saudara perempuan ku istri dari kakak mamahku hanya terdiam melihat peristiwa itu. Aku tidak menyalahkan bapak ku, mungkin ia juga tidak melihat jadi wajar saja jika terpentok.

Setelah berada di mobil, aku sembari mengusap dengan minyak kayu putih.

"Mah, sabar ya mah... Sabar..."

Suaraku semakin lirih, beliau terdiam. Beberapa menit kemudian, kedua mata mamah seperti berkedip-kedip, ia mengatakan padaku:

"A, gue kenapa nih, Ya Allah... A, gue kenapa."

Kepalanya bergerak-gerak, badannya gemetar, terlihat bibirnya sedikit berdarah karna sesekali menggigit dan mengangga.

"Ya Allah mah kenapa, nyebut mah, nyebut mah."

Aku memegang tangannya, memeluknya sambil membaca Isitigfar sebanyak mungkin, membacakan doa-doa semampuku. Beliau semakin tidak ada nafas, tubuhnya yang semula menggelinjang kini perlahan mulai tidak bergerak.

Mah, jangan pergi dulu mah, Ryan masih pengen sama mamah... Istigfar mah, istigfar mah." Aku menangis tidak henti-hentinya.

Dalam hatiku pasrah, ikhlas, jika ini yang terbaik untuk mamahku.

Namun selepas itu beliau kembali normal, membuka matanya perlahan dan seperti orang kebingungan.

Nafasku lega rasanya, aku memandang beliau, dan mengatakan:

"Mamah kenapa tadi? Sambil memegang tangannya.
"Gak tau a... Tiba-tiba gelap."

Langsung saja aku bilang ke supir online untuk kerumah sakit Pasar Rebo untuk dirawat. Aku takut ada apa-apa lagi, niatan untuk cuci darah aku batalkan, karna perjalanan juga masih jauh sekali.

Aku mengabarkan bapak ku yang sudah berangkat kerja untuk datang kerumah sakit, sembari menjelaskan apa yang baru saja terjadi.

Sungguh cobaanMu diawal Ramadhan membuat tubuhku hampir separuh hilang bagaikan angin. Tuhan... Kuatkan dan Tabahkanlah hatiku dalam menghadapi musibah ini.

Mamah akhirnya dibawa keruang IGD, ia langsung mendapatkan perawatan. Sayangnya ada kesalahan dari ucapan mamah ketika ia mengatakan sedang proses cuci darah. Wajahku kesal, karna jika beliau berkata seperti itu, ia tidak bisa dirawat dirumah sakit tersebut. Namun aku meredam nya kembali, hanya bilang:

"Kenapa sih mah bilang cuci darah, nanti jadi gak bisa diperiksa."
Aku kebingungan.
Ia terdiam saja sambil memandangku. Aku menahan emosi, tapi tidak lama, hanya beberapa menit saja.

Bapak ku datang, ia tidak bekerja. Aku pulang sebentar karna adik ku sedang sakit, mamahku ditemani bapak ku disana.

Pulang kerumah, aku memejamkan mataku sebentar, aku juga melihat adik ku masih tertidur di rumah kakek ku.

Pukul 14.00 siang aku dibangunkan tante ku, dan meminta penjelasan apa yang terjadi pagi tadi. Aku ceritakan, ia matanya berkaca-kaca.

Sore harinya aku berangkat lagi melihat kabar mamah selanjutnya.

Sampai dissna kata napak ku bisa dirawat disini tapi mamah menolak. Bahkan ketika aku dengan napak ku ingin mengambil obat untuk dibawa kerumah, diruang IGD mamahku menangis kencang dan meminta pulang.

"Sini kenapa sih temenin gue, gak mau sendirian gini. Udah pulang aja pulang, gua gak betah." Merenggek seperti anak kecil.

Kemudian aku membawa neliau dengan menggunakan taksi sekitar pukul 20.30 malam.

Sampai dirumah sudah ada adik ku, tante ku, dan istri dari kakak mamahku. Saat Beliau ingin dinaikan ke kursi roda, tiba-tiba mamah kembali lagi kejang-kejangnya seperti tadi pagi. Semua menangis, bahkan kakek ku sehabis pulang dari tarawih langsung menangis dan mengatakan:

"Ya Allah ta... Kenapa ta... Istigfar..." Pungkasnya sambil mengusap-usap kepalanya.

Kejadian itu menjadi tontonan warga sekitar.

Setelah beliau dibawa masuk kedalam rumah dan di baringkan ke kasur, kejang-kejangnya mulai berhenti.

"Mamah kenapa a?" Ucap adikku.
"Gapapa de." Ucapku.
"Kok kejang-kejang gitu." Tanyanya.
"Ayo katanya mau berobat, mumpung belum malem." Aku menghalaui pembicaraan supaya adik ku tidak kepikiran karna sedang sakit.

Aku mengantarkan adik ku menuju Puskesmas yang buka di malam hari.

Setelah diperiksa oleh dokter, adik ku terkena penyakit radang. Lalu ia diberikan obat secukupnya. Kami berdua pun pulang kerumah.

Suatu ketika ada kejadian di malam sabtu, saat semua keluargaku berkumpul untuk menjaga Mamah dan Kakek ku yang sedang sakit. Beliau menangis terus-terusan dan katanya melihat almarhumah Nenek ku.

"Mi... Ita ikut aja mi... Ikut..." Sambil menunjuk ke dinding langit.

Semua menenangkan beliau, dan bahkan saudara-saudara ada yang menangis juga. Aku melihat kakek ku menahan tangis di dalam kamarnya. Om pendi anak pertama sekaligus seorang ustad memberikan segelas air untuk beliau agar supaya tenang.

Akhirnya semua dapat diredakan,
beliau terdiam sambil menatap sekitar. Aku di depannya, sambil memandangnya penuh dengan harapan agar bisa sembuh.

Tengah malam suasana hening, keluargaku juga sudah ada yang pulang. Aku melihat ia terbangun
dan kedua matanya terlihat kosong.

"Mah, dulu pernah sering ngaji kan?" Tanyaku. Ia mengangguk.
"Masih inget gak hayo?" Sambil tertawa. Ia mengangguk lagi.
"Kalau inget baca istigfar." Aku sambil mengucapkan dihadapan mamah. Ia hanya menatapku saja.

Beberapa jam kemudian aku mengobrol dihalaman rumah dengan om pendi dan om pian. Ketika om pian mengambil makanan di dalam rumah, ia memberitahukan ku bahwa mamah sedang membaca ayat-ayat quran dan ber-istigfar. Aku mengintip dari jendela, dan seketika tersenyum.

*
Tepat hari sabtu, malam minggu.
Aku enggan untuk main keluar. Aku menjaga mamah bersama adik ku yang baru saja membelikan dua pakaian baru untuk mamah. Selepas itu kami bertiga saling bergurau, bahkan ia menanyakan padaku:

"A, waktu loe liat gua kejang-kejang gitu serem ya?" Berwajah serius.
"Iyalah, sedih malahan mah." Ucapku.
"Kalo gue lagi gitu loe berdua jangan liat ah, serem kayanya yak?" Jawabnya. Aku dan adik ku diam saja.

Suatu ketika beliau ingin meminta minuman yang dingin kepadaku. Tapi aku menolaknya, Ia meminta hanya sekali saja, sehabis itu tidak minum lagi. Pungkasnya. Mau tak mau aku langsung membelikannya sebotol aqua yang menurutku sangat dingin.

"Ini mah, tapi nanti dulu minumnya, ini masih dingin banget." Ucapku.
"Gapapa." Ia mengambil botolnya.

Saat meneguk botol aqua yang dingin, ia benar-benar tidak meneguk lagi yang kedua kalinya.

"Lagi gak mah? Sambil memandang Beliau.
"Gak ah, kan gua bilang cuman sekali doang." Ucapnya sambil menaruh botol aqua di meja.

                               ***

KULAKUKAN SEMUA UNTUKMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang