[01] Ancaman Perjodohan

45 4 2
                                    

     Pagi-pagi sekali seorang wanita setengah paruh baya dengan badan yang sudah tertutup rapat dengan mukena berwarna putih tulang sibuk mengetuk pintu kamar anaknya. Sudah hampir sepuluh menit ia berdiri sembari mengetuk pintu kamar itu namun tak kunjung mendapat jawaban dari sang pemilik kamar. Ketukannya semakin kencang tatkala suara iqamah dari masjid sudah terdengar.

     Tak kunjung mendapat jawaban dari sang pemilik kamar, alhasil ia pun kembali menuju mushola yang memang tersedia di dalam rumahnya.

     Sesaat setelah selesai melaksanakan kewajibannya, wanita itu pun kembali menuju kamar anaknya. Kali ini ia mengetuk pintu dengan sangat keras hingga akhirnya ia berhasil membuat anaknya itu bangun. Langkah kakinya pun langsung berjalan mengikuti anaknya yang justru malah kembali tiduran lagi di kasur sesaat setelah membukakan pintu untuknya.

     Melihat kelakuan anaknya yang susah sekali bangun membuatnya menggeleng-gelengkan kepala. "Sayang, ayo bangun."

"Hmmm," Anaknya hanya melenguh.

"Sudah jam berapa ini, kamu belum salat subuh."

     Lagi-lagi anaknya hanya melenguh dan terus berada dalam posisi tidur tengkurapnya. Melihat anaknya yang sama sekali tidak ada pergerakan untuk bangun dari tidurnya, akhirnya ia mengambil tindakan tegas.

"Bunda tunggu sampai satu menit, kalau kamu belum juga bangun dan salat subuh, bunda akan bilang sama Ayah buat bawa kamu ke Pesantren yang ada di Balikpapan!"

     Mendengar kata-kata yang dilontarkan Bundanya, dengan sangat terpaksa ia harus bangkit dari posisi tidurnya dan mengambil posisi duduk dengan badan yang menyender di kepala tempat tidur.

"Bunda nih, dikit-dikit bisanya ngancem aku terus." Dengan mata yang masih terpejam gadis itu berusaha mengeluarkan suara.

"Ya lagian kamu juga sih, masa udah umur dua puluh satu tahun masih aja susah buat bangun."

"Ya tapi 'kan aku masih ngantuk Bun,"

"Aida, kamu tuh sudah besar, harusnya kamu bisa memanage waktu kamu, kapan kamu harus bangun, kapan kamu harus tidur, itu semua harus kamu atur dengan baik," Dengan lembut sang Bunda membelai pucuk kepala anaknya. "Kalau tiba-tiba besok atau lusa ada yang melamar kamu terus minta kamu buat jadi istrinya, masa kamu masih aja sih kayak anak-anak."

     Seketika saja mata Aida yang tadi rasanya susah sekali untuk dibuka langsung terbelalak saat mendengar ucapan Bundanya. "Ya ampun Bunda pikirannya jauh banget sih, lagian juga kalau besok ada yang lamar aku, langsung aku tolak!"

"Loh kenapa gitu?" Kening Bunda Aida mengkerut.

"Aku belum mau nikah Bunda."

"Kenapa? Nikah itu ibadah loh Sayang. Banyak sekali berkah yang bisa kamu dapatkan saat kamu menikah,"

Aida sedikit mengerucutkan bibirnya ke depan. "Iya aku tau, tapi 'kan aku kuliah aja belum lulus, masa udah nikah aja."

"Selama orang yang ngelamar kamu akhlaknya baik dan juga tidak pernah meninggalkan salatnya, kenapa juga harus kamu tolak."

     Aida menghembuskan nafas panjangnya, bundanya kalau sudah bicara soal nikah akan lama sekali sampai lupa waktu. Akhirnya ia bangkit dari kasurnya, berjalan menuju kamar mandi dan meninggalkan bundanya yang masih duduk diatas ranjang tempat tidurnya.

"Kamu mau kemana?" panggil Bunda.

Aida yang baru saja masuk ke kamar mandi meyembulkan kepalanya keluar, "Tadi bunda nyuruh aku salat 'kan? Ya ini aku mau ambil wudhu Bun."

     Bunda Aida yang masih duduk diatas tempat tidur tersenyum tipis saat melihat kelakuan anaknya yang tingkah lakunya masih saja seperti anak kecil. Tapi baginya, anaknya itu tetaplah anak kecil yang sangat ia sayangi, sampai kapanpun.

Kuberi Tasbih UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang