Pikirmu, Aku Siswa Teladan?

68 5 0
                                    


"Ah ... Bosan!" gerutu Nana yang sukses mengundang tawa kecil Arini di sebelahnya.

"Main XOXO, yuk," Nana membuka lembaran buku matematika yang masih kosong di atas meja.

"Aku nggak berani, Na. Udah belajar aja masih nggak ngerti, apalagi kalo aku nggak nyimak," tolak Arini halus.

Bu Silvi yang terkenal lemah lembut itu, tengah menuliskan beberapa rumus fisika di papan tulis. Beliau termasuk guru yang baik hati mau mengajarkan hingga detail bagaimana menggunakan rumus-rumus tersebut. Guru fisika lainnya lebih suka memberi tahu rumus yang mereka tulis di papan tulis, kemudian meninggalkan kelas dengan sejumlah soal yang harus dikerjakan sendiri.

"Hei!" Nana menendang kaki bangku Rangga hingga berderit.

"Apa?" tanya Rangga sembari menoleh padanya.

"Main, yuk!" ajak Nana sembari menyodorkan lembaran buku kotak-kotak yang tadi ditolak Arini.

"Jangan gitu donk, kamu kan tahu aku suka Fisika." Rangga memelas.

Seketika Nana merungut.

Tak ada lagi yang bisa menghilangkan kebosanannya saat ini. Diputuskannya untuk keluar dari kelas dan berjalan santai, menuruni anak tangga, dan melintasi lapangan sekolah untuk menuju ke mushola. Langkah kakinya terhenti melihat empat orang anak lelaki berpakaian olah raga, yang pastinya adik kelas, memainkan bola basket dengan penuh semangat.

Ditatapnya lekat satu di antara empat junior itu yang sudah dikenalnya dengan baik. Adik itu adalah peserta Pendidikan Dasar Cinta Alam (PDCA) Sispala tahun ini.

"Ren, Kakak ikut main donk!" ucap Nana sesampainya di dekat mereka.

Rendi, sang junior yang baru saja diajari untuk tidak membantah kata senior itu terpaksa menuruti permintaan Nana.

"Tapi, Kak, kurang satu nih. Kalo kita berenam kan seru, bisa three on three," jawab anak kelas X itu. Dia dan teman-temannya pasti sudah selesai jam pelajaran olah raga sedari tadi, tapi mungkin belum puas bermain basket. Tiga teman Rendi lainnya terlihat berpostur tak kalah tinggi darinya, pastilah mereka anak-anak yang memang hobi bermain basket.

"Kalo aku ikut, pas kan?" Sesosok lelaki dengan tinggi badan melampaui keempat anak kelas X itu tiba-tiba muncul dan berdiri di sebelah Nana.

Seketika Nana mendongak menatapnya.

"Oke, sip. Yang kalah beliin fruit tea, yah!" sahut teman Rendi. Tiba-tiba saja mereka memisahkan diri dari kami dan menyisakan Rendi sebagai anak kelas X yang bergabung denganku dan Ken.

Rendi maju ke depan untuk mengundi koin (coin flip) dengan rekannya.

"Seriously?" Alis mata Nana berkerut saat ia beradu pandangan dengan Ken.

"Kenapa? Kamu pikir aku siswa teladan yang nggak akan ninggalin kelas kalo bosan?" sahut Ken.

Ken segera bersiap di luar garis three point begitu mendapatkan isyarat dari Rendi bahwa mereka memenangkan undian dan akan mulai duluan. Nana melakukan hal yang sama dan bersiap untuk main secara serius meski dia menggunakan rok sekolah. Kebiasaan Nana mengenakan celana short selalu memudahkannya untuk leluasa bergerak meski masih berseragam sekolah.

Satu set berlalu tanpa terasa. Nana, Ken dan Rendi berada di posisi kalah satu point, 15-16. Adik-adik kelas mereka terlihat begitu senang. Peluh sudah membanjiri pakaian mereka, karena dalam lima menit pertama ini, tak ada satu orang pun yang setengah hati bermain. Mungkin juga karena anak-anak kelas X itu sudah cukup "panas" untuk bisa langsung beraksi.

"Kalo kita kalah, kamu harus ganti rugi atas harga diriku yang tercoreng," ancam Ken pada Nana sebelum memulai set kedua.

"Apa-apaan sih! Siapa juga yang ngajak kamu main bareng," gerutu Nana sembari berjalan di belakangnya.

Rasa kesal Nana pada ucapan Ken dimuntahkannya pada lemparan-lemparan bola yang ditujukan ke ring. Tak jarang Nana membuat lelaki lain yang berada di lapangan itu berhenti bergerak untuk sesaat ketika melakukan lemparan three point yang dengan sukses menembus ring. Belum lagi lay up-nya yang selalu sempurna ketika dilakukannya dari sisi kanan. Jika saja bukan karena tinggi badannya yang hanya 155 cm, pastilah Nana sudah bergabung dengan tim basket sekolah.

***

"Kamu edan juga main basketnya." Ken duduk santai di samping Nana sembari menyeruput fruit tea rasa anggurnya.

Adik-adik kelas itu sudah membubarkan diri dan hanya Rendi yang berhasil pulang dengan membawa sebungkus minuman gratis. Dua set pertandingan three on three itu sudah berakhir dengan skor 25-21. Mereka menang.

"Aku nggak nyangka kamu bisa main basket," komentar Nana tanpa melihat ke arahnya.

"Hahaha ... yang betul itu, aku yang nggak nyangka kamu bisa main basket. Badan dan tangan kamu yang sekecil itu bener-bener nggak nunjukin postur orang yang bisa main basket."

"Jadi, menurutmu aku harus berpikir bahwa semua orang berbadan tinggi itu jago main basket?"

"Ya nggak juga, sih." Ken berdiri. "Kamu nggak mau masuk kelas?" tanyanya saat menyadari gadis itu tak bergerak dari tempat duduknya.

"Aku masih butuh angin segar. Bisa gila aku liatin rumus fisika itu di papan tulis sampai pulang nanti." Nana melepaskan ikatan rambutnya. Rambut ikal mayangnya tergerai cantik dan berayun diterpa angin. Tak lama kemudian, rambut hitam legam tersebut kembali berkumpul menjadi satu dengan sebuah ikatan yang diletakkan tinggi di atas kepalanya.

Ken terpana.

Dengan sigap dialihkannya pandangan ketika Nana melirik ke arahnya. Beruntung wajahnya memang sudah memerah akibat rasa letih yang menjalar usai bermain basket habis-habisan tadi. Jadi dia tak perlu merasa malu.

Sudut matanya menangkap gerakan Nana yang berangsur berdiri.

"Katanya nggak mau masuk kelas dulu? Mau barengan kah?" Ia berbalik dan menatap lekat ke arah Nana yang sedang menepuk-nepuk roknya.

"Enggak, duluan aja! Aku mau tiduran sebentar di mushola." Dengan cuek Nana berjalan ke arah yang berbeda, meninggalkan Ken begitu saja.

"Asem, apa-apaan cewek itu?! Baru sekali ini aku ngajak cewek jalan bareng, dan dia nolak aku gitu aja!" Ken mengutuk dalam hatinya.

Lelaki keren yang tak henti merapikan pakaiannya di sepanjang perjalanan itu, terhenti sesaat di ujung tangga. Dia sudah hendak berbelok ke kanan menuju kelas, tapi hatinya belum berhenti berdebar. Dia benar-benar merasa kesal, tapi kekesalan kali ini berbeda dengan rasa kesal yang pernah dialaminya dulu. Ditatapnya jauh ke bawah, ke atap mushola yang terletak jauh di sudut sekolah bagian depan. Dia tahu tak akan bisa melihat Nana dari gedung tingkat tiga ini, toh, Nana berada di dalam mushola itu, bukan di atas atapnya.

Tangannya masih menggenggam sekotak minuman berwarna ungu yang sudah kosong, namun ragu hendak membuangnya sebelum memasuki kelas.

"Permisi, Buk," ucapnya ketika memasuki kelas.

Minuman itu masih berada dalam genggamannya, dan tanpa sadar dimasukkannya ke dalam tas begitu sampai di tempat duduknya.

Ken tersenyum. Baru kali ini dia bisa bersahabat dengan rasa kesal di hatinya.

Tentang DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang