Pergi Bersama Mimpi

55 5 2
                                    


"Nana bisa sendiri kok, Ma. Tenang aja." Nana menenangkan Mamanya yang masih terlihat khawatir atas kepergiannya siang ini. Sebuah koper besar dan satu ransel telah dipersiapkan Nana sedemikian rupa agar tak perlu repot sepanjang perjalanan nanti.

"Seandainya abangmu udah wisuda, Mama pasti bisa nemenin kamu sekarang," ucap Mama lagi.

"Loh, kok Hadi lagi yang kena, Ma," Lelaki tinggi, kurus, berambut gondrong itu terlihat enggan dijadikan sasaran kekesalan Mama.

"Coba kalo kamu udah selesai dari kemarin-kemarin ..." Mama mendorong badan Bang Hadi.

"Udahlah, Ma. Nana beneran nggak apa-apa. Kan kita juga udah sering ke rumah mbah, masih hapal banget kok jalannya." Nana merangkul Sang Mama yang masih terlihat kesal. Niat Nana untuk menemani Mbah Puteri di kampung halaman Papanya akhirnya bisa dilaksanakannya setelah pengumuman hasil SNMPTN keluar.

Sebenarnya Nana ingin segera memberitahu Ken tentang kelulusannya tersebut, tapi lelaki tinggi hati itu benar-benar menjaga janjinya untuk tidak mengusik kehidupan Nana lagi. Bukan salah Carpathia jika ternyata tepukan tangan yang mereka terima, ternyata lebih bergemuruh dibandingkan apresiasi penonton pada Linggar. Dan, bukan keinginan Nana juga kehilangan komunikasi seperti ini dengan Ken usai perpisahan sekolah.

"Ah, apa Ken tetap akan tinggal dan kuliah di Kota ini aja? Apa mungkin dia juga punya pikiran yang sama denganku, jadi lebih milih tinggal disini dengan Kakek dan Neneknya, daripada kembali ke orang tuanya ataupun kuliah di tempat lain," batin Nana.

"Kakakmu minta maaf nggak bisa nganterin, karena kondisi dia pas hamil muda gini bikin dia nggak bisa kemana-mama," ujar Papa ketika Nana memasuki mobil.

"Iya, Pa. Tadi Kak Wati juga udah ngomong sendiri ke Nana," jawabnya sembari menutup pintu mobil dan melambaikan tangan pada Mama dan Bang Hadi yang memilih untuk tidak mengantar ke bandara.

Baru saja beberapa bulan yang lalu Mama melepas Kak Wati yang harus ikut dengan suaminya ke Kalimantan, sekarang sudah harus melepas Nana pula pergi ke Pulau Jawa. Tentu tak akan mudah baginya untuk mengelola perasaannya. Beruntung Bang Hadi tetap siap sedia di samping Mama, dan tidak mengabaikannya begitu saja. Abang satu-satunya Nana itu memang sangat sayang dengan wanita yang telah melahirkan dan membesarkan mereka bertiga dengan penuh kasih sayang itu.

"Papa nggak nyangka kamu beneran tertarik kuliah di UNS," ucap Papa sembari tetap memandang ke depan dari balik setirnya.

"Nana kan pengen sukses kaya Papa juga."

"Hahaha, sukses mah bukan dari alumni kampus mana nya, tapi dari seberapa besar usahanya untuk selalu melakukan yang terbaik."

"Iya, Papa. Nana akan lakukan yang terbaik, sama seperti yang ditunjukkan Kak Wati."

"Kakakmu aja kuliah nggak jauh-jauh," Papa tergelak di ujung kalimatnya.

"Nana nggak cuma pengen kuliah di kampus yang sama dengan Papa dulu, tapi juga pengen jagain Mbah Putri."

"Kenapa kamu perhatian sekali sama Mbah?"

"Karena Mbah selalu sayang sama Nana."

Papa tersenyum sembari berujar lembut, "Makasi ya Nana. Papa tau, kamu pasti bisa gantiin Papa untuk jaga Mbah Putri disana."

***

Nana masih juga memain-mainkan gawainya di ruang tunggu bandara. Sesekali disimpannya benda berukuran enam inchi tersebut sembari menggelengkan kepala. Namun tak lama kemudian, kembali ditatapnya sebuah nomor yang tertera di perangkat baru yang dihadiahkan orang tuanya usai kelulusan sekolah.

Tak hanya sekali dua kali dibiarkannya layar gawai tersebut meredup sendiri. Kemudian ditekannya satu-satunya tombol yang tersedia, untuk kembali memunculkan nama seseorang di perangkat tersebut.

"Kirim pesan? Telepon? Apa biarin aja?" Berkali-kali pertanyaan tersebut silih berganti memasuki pikiran Nana, namun tak ditemukannya jawaban yang tepat.

"Ah, dia aja nggak peduli kok!" gumam Nana.

Lagi. Segera dihidupkannya layar HP tersebut, hanya selang beberapa detik setelah lampunya meredup.

"Permisi, Mbak. Boleh duduk disini?" Seorang Ibu muda dengan anaknya yang masih balita, berada di hadapan Nana saat ini.

"Ya, Bu, Silahkan." Sadar sudah mengambil tempat duduk lebih dari yang seharusnya diduduki satu orang, Nana pun menggeser duduknya hingga ke tepi.

"Ah! Ketelepon!" Nana dengan panik mematikan panggilan telepon yang tak sengaja dibuatnya. Dia belum siap. Dia tak tahu harus bicara apa.

Panggilan masuk dari Ken langsung membuat jantungnya berdebar tak karuan. Belum habis keterkejutannya atas panggilan yang tak disengajanya tadi, ternyata Ken justru langsung menghubunginya kembali.

Putus.

Terlalu lama Nana menghabiskan waktu untuk mengatur napasnya, hingga tanpa sadar panggilan itu pun berakhir. Beberapa menit berlalu dan masih belum ada lagi panggilan berikutnya.

"Ken, kamu lulus dimana?" Pesan singkat itu akhirnya terkirim juga.

Lagi. Bukan pesan balasan yang diterimanya, melainkan sebuah panggilan masuk.

Dengan menarik napas panjang, Nana pun menerima panggilan tersebut.

"Aku lulus di Unand. Kamu jadi ke Solo?" tanya suara di seberang.

"Iya, ni lagi nunggu pesawat."

"What? Kamu langsung berangkat?"   

"Memangnya aku harus tunggu apa dulu baru boleh berangkat?"

Hening.

"Ken?"

"Ya, aku masih disini."

"Kenapa tiba-tiba diam?"

"Aku cuma lagi mikir. Aku nyesal nepatin janji untuk nggak ganggu kehidupan kamu lagi."

"Kamu juga yang aneh, ngapain bikin taruhan kaya begitu?"

"Mana aku tahu kalo kalian bakal lebih tenar daripada kami."

"Jadi maunya kamu apa sebenernya?"

"Maunya aku, kamu cepat pulang! Aku nunggu kamu disini!"

Nana tersipu. Beruntung Ken tak ada di hadapannya saat ini, jadi dia tak perlu malu atas pipinya yang merona kemerahan itu.

"Ya. Aku pergi dulu."

"Hati-hati." Tutup Ken.

Nana mematikan gawainya, menyimpan ke dalam saku dan berdiri dari tempat duduknya sembari menyandangkan ransel. Dia mengikuti orang-orang di sampingnya yang mulai berbaris untuk menuju ke pesawat.

Sulit rasanya menahan senyumannya. Ken ternyata menunggunya menghubungi lebih dulu. Buktinya, hanya dengan misscall, lelaki itu langsung menelepon balik. Hanya dengan sebuah pesan singkat, pria sombong itu langsung merendahkan dirinya dan melupakan segala egonya untuk menghubungi Nana yang kedua kalinya.

"Tapi, dia tetap aja bossy! Seenaknya aja nyuruh-nyuruh orang cepet balik. Emang dia pikir kuliah itu cuma sehari dua hari," gerutu Nana sembari memasukkan ransel ke dalam bagasi kabin.

Tempat duduk di dekat jendela selalu menjadi pilihan Nana. Dan kali ini, tak disangkanya akan bisa melihat wajah Ken di antara gumpalan awan putih yang dilalui pesawat terbang ini. Nana sudah gila sepertinya. Sudah lama memang dia tertarik pada Ken, tapi dibunuhnya perasaan itu karena yakin, Ken tak mungkin menyukainya. Tapi, mengingat percakapan sesaat sebelum berangkat tadi ... Ah, jangan salahkan Nana jika kini dia kembali tergila-gila pada Ken!

Tentang DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang