Edelweiss yang Terlupakan

46 3 0
                                    


"Na, kamu beneran mau naik gunung besok?" Ken mengejutkan Nana yang sedang sibuk bermain XOXO dengan Rangga. Pak Hadi, guru matematika mereka berhalangan hadir hari ini. Hanya beberapa soal matematika yang terpampang di papan tulis untuk mereka kerjakan selama dua jam mata pelajaran matematika hingga pulang sekolah nanti.

"Iya, kenapa?" tanya Nana acuh.

Alih-alih duduk di sebelah Rangga, Ken justru memilih duduk di sebelah Nana yang bangku sebelahnya juga kosong. Sebenarnya Ken sudah menahan diri untuk tidak mendekati Nana sebulan terakhir. Dia tak ingin menyakiti perasaan Fariz yang sudah terang-terangan mendekatkan diri pada Nana.

Di luar batas kesadarannya, ternyata Ken telah berusaha mengintip ke dalam kerah baju Nana. Sungguh, sebentuk rasa penasaran telah menggerakkannya untuk melihat kesana, walau tanpa direncanakan sebelumnya.

"Apaan sih!" Nana menyadari tatapan aneh Ken dan refleks menutupkan kancing paling atas dari baju sekolahnya.

"Kalungnya nggak ada ...," gumam Ken.

"Kalung apaan? Kamu nanya apa ngomong sendiri?!" Nana menghentikan permainannya dengan Rangga dan menghadap pada Ken yang duduk begitu dekat dengannya.

"Kamu ngapain kesini kalo cuma mo ngerusak mood aku?" Gadis urakan yang pakaian sekolahnya tak pernah rapi dimasukkan ke dalam rok abu-abunya itu menyilangkan tangan di depan dadanya.

Ken menggelengkan kepalanya sesaat. Dia tidak hendak menelisik keberadaan kalung Nana yang dihadiahkan oleh Fariz, dan seharusnya juga dia tak ambil pusing dengan itu. Dia punya hal lain yang lebih dikhawatirkannya.

"Kamu beneran mo naik gunung besok?" Diulangnya pertanyaan yang memenuhi pikirannya setelah menerima informasi itu dari Rangga kemarin sore. Betapa Ken sebenarnya sangat ingin langsung menghubungi Nana untuk memastikannya, tapi apa daya, sejak dia memberikan nomor HP-nya pada Nana, gadis itu tak pernah sekalipun menghubunginya. Meskipun Rangga atau Fariz mungkin saja memiliki nomor HP Nana, tapi Ken begitu gengsi bertanya apalagi memintanya pada mereka. Dan semalaman tadi, tidurnya terganggu dengan kekhawatiran tentang Nana, perempuan yang sudah berkali kali diusirnya dari pikirannya, namun tak pernah berhasil itu.

"Iya," jawab Nana singkat.

"Berangkat malam kah?" tanya Ken hati-hati.

Kening Nana berkerut sesaat. Jarang sekali dilihatnya lelaki sombong itu merendahkan nada suaranya dan melihat dengan tatapan lembut seperti kali ini.

"Nggak, kami berangkat jam dua dari sini."

"Loh, bukannya kita dah mulai pelajaran tambahan?" Nada suara sengak dan bossy itu muncul lagi.

"Aku mau ikut pelajaran tambahan apa nggak, itu urusan aku. Bukan urusan kamu! Minggir! Aku mau keluar!" Emosi Nana tersulut.

"Aku baru mau minggir kalo kamu janji bawakan edelweiss."

"Ya, ya, ya ...," jawab Nana sekenanya.

Ken menatap punggung gadis itu hingga hilang dari pandangan. Dia ingin sekali melarangnya untuk pergi. Dia khawatir akan ada apa-apa selama di perjalanan nanti. Tapi ... mulutnya terkunci.

"Apa untungnya mendaki gunung? Cuma naik sampai ke pundak, trus turun lagi. Nggak dapat apa-apa, cuma capek aja," batin Ken.

***

"Dasar cowok aneh! Bisanya cuma ngerusak mood orang aja!" Rasa kesal Nana masih belum hilang hingga dia sampai di depan mushala dan melihat sosok Fariz keluar dari sana.

Fariz yang ternyata tetap tergila-gila pada Nana, meski sudah "diinterogasi" Brian sehari usai pesta Nana itu, langsung sumringah melihat wanita pujaannya berjalan menuju ke arahnya.

Tentang DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang