Rusuhnya Pagi itu

228 14 6
                                    


Pintu pagar sekolah tertutup perlahan.

Sesosok gadis berbaju kurung yang susah payah berlari dengan sesekali mengangkat rok panjangnya, terlihat menghentikan langkah.

"Huff, nggak ada lagi gunanya lari," pikir Nana. Selendang yang tadinya hendak dipasang menjadi jilbab pun kembali diselempangkan di bahunya. "Ah, seandainya nggak wajib ngumpulin LKS di pelajaran kimia jam pertama ini, sudah pasti aku melipir ke sekretariat." Gadis itu berceloteh sendiri.

Ia mulai memutar otak sembari bersandar pada dinding di samping pagar sekolah yang sudah tertutup sempurna. Ini pertama kalinya ia terlambat di hari Jumat, dan tak punya pilihan lain selain harus tetap masuk ke kelas. Ancaman Bu Des untuk memberikan nilai hanya 50% bagi yang terlambat mengumpulkan LKS tak bisa dianggap remeh, mengingat beliau dengan tega membuat beberapa senior dahulu berhiaskan nilai merah di dalam rapornya. Bisa saja sebenarnya menunggu pagar dibuka sejam lagi, tapi, berurusan dengan guru piket adalah suatu hal yang selalu dihindari Nana.

Hap! Gadis hitam manis itu mendarat dengan mulus di halaman sekolah. Seperti biasa, pagar tinggi itu berhasil dilewatinya, meski kali ini harus mengorbankan rok panjangnya yang terpaksa dirobek hingga setinggi lutut.

Dengan susah payah dilaluinya lorong sempit berisikan meja dan kursi rusak yang tak lagi terpakai, di samping kelas XI-1 yang berada di sudut kanan, bagian paling depan sekolah. Sebenarnya jalur ini bukan pilihan yang menyenangkan untuk dilalui, karena bersebelahan dengan ruang guru. Tapi berhubung tasnya harus ditinggalkan di suatu tempat, mushola yang berada di sudut kiri sekolah dan biasanya dilalui anak-anak yang keluar-masuk sekolah tanpa melalui gerbang sekolah, bukanlah pilihan yang tepat.

Tas selempang hijau kesayangannya itu ditinggalkan di sebuah laci meja yang terletak di tengah-tengah lorong, beserta semua isinya kecuali dompet dan LKS kimia, tentunya. LKS yang kini jadi benda paling berharga untuknya itu, diselipkan di antara baju dan rok belakang, menempel pada punggung mungilnya.

Tanpa bantuan kaca, dengan mahir dipasangkannya selendang yang tadi tersampir dibahunya membentuk jilbab yang menjadi sebuah keharusan bagi seluruh siswi di hari Jumat. Sembari menarik napas panjang, ia menyadari bahwa keribetan pagi ini masih belum berakhir. Dia masih harus melakukan sesuatu terhadap roknya yang robek begitu tinggi hingga melewati lutut itu.

Sambil menjinjit mengintip kaca, diperhatikannya kelas XI-1 yang berisikan siswa-siswi unggulan, dan dengan lega mendapati sedang tidak ada guru di situ.

"Hei, bisa tolong pinjamkan peniti atau jarum pentul ke teman cewek yang duduk di belakang kamu itu?" tanya Nana tanpa basa basi pada cowok ganteng yang duduk di kursi paling depan dekat pintu kelas.

Cowok keren itu tak menjawab. Dia mengernyitkan keningnya dan memasang tampang tak bersahabat.

Tak mau membuang waktu, segera Nana beralih pada teman sebangku lelaki sengak itu. Kali ini disempatkannya membaca nama pada baju sekolah pria itu.

"Tolong donk Rangga, pinjamkan pentul atau peniti ke teman cewekmu," pinta Nana sambil tetap berdiri di pintu kelas mereka, biar bagaimanapun ia menahan diri untuk tidak seenaknya masuk ke kelas orang lain.

Cowok bernama Rangga itu terlihat lebih santai. Meskipun tak kenal dekat dengan Nana, dia tetap membantu bertanya pada dua cewek yang duduk di belakangnya. Kedua cewek yang tadinya sedang sibuk dengan buku mereka, memandangi gadis kecil mungil itu dengan heran. Nana hanya tersenyum dan melambaikan tangan dengan wajah sok bersahabat.

Beruntung salah satu dari mereka membawa satu set jarum pentul, hingga lima jarum berhasil disematkan sebagai penyambung robekan roknya Nana. Dengan perlahan dan berhati-hati, Nana berjalan menuju kelasnya. Nana tak mau robekan roknya tiba-tiba terbuka lagi hingga menarik perhatian guru-guru di depan ruangan guru yang sedang dilewatinya. Dia pun tak mau tertusuk jarum pentul yang jumlahnya tak sedikit itu.

Tentang DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang