Sweet or Bitter? (2)

52 3 2
                                    


"Ken mana?" tanya Nana ketika menghampiri Fariz dan Rangga yang sedang bercengkerama dengan beberapa fans mereka.

"Loh, bukannya Ken sama kamu?" Fariz seketika menjauh dari kerumunan cewek-cewek tersebut dan langsung berdiri di samping Nana.

"Gimana ceritanya bisa sama aku?" Sontak Nana terkejut. Seingatnya, usai Galuh menghampiri tadi, dia bergabung sebentar dengan anak-anak Carpathia dan lanjut membaur dengan anak-anak sispala tak lama kemudian. Sebetulnya Nana juga heran kenapa tamunya cukup ramai, padahal dia sendiri lumayan "eksklusif" dalam berteman. Meski begitu, Nana tetap menyempatkan diri menyapa tamu-tamunya tersebut setiap kali beradu pandangan. Karena itu pula, Nana menguatkan hatinya untuk menyapa Ken dan memperlakukannya sama seperti teman-teman yang lain. Tapi apa daya, lelaki tersebut tak ada ketika dia menghampiri rombongan Linggar.

"Ng ... mumpung kamu disini, aku mo nyerahin ini." Fariz mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku celananya.

"Kado untuk aku?"

"Iya, tapi sengaja nggak aku bungkus kertas kado. Aku mau kamu langsung lihat hadiahnya dan kasi tau aku, suka apa nggak?"

Dengan penuh tanda tanya, Nana memperhatikan gerakan tangan Fariz yang membuka kotak tersebut secara perlahan. Sebuah kalung emas dengan bandul bunga yang cantik terlihat berkilauan.

"Wow ...," riuh rendah suara fans mereka terdengar bersahut-sahutan.

Tak hanya Nana, Rangga yang masih berada di antara para fans-nya itu pun ikut terkesima. Hadiah yang diberikan Fariz pada Nana itu sepertinya terlalu berlebihan untuk ukuran seorang teman.

Tanpa menunggu respons Nana, Fariz mengeluarkan kalung itu sembari menyimpan kembali kotaknya. Dengan hati-hati dia mendekatkan diri pada Nana, hendak memasangkan kalung tersebut di leher gadis tomboi yang pada kesempatan ini terlihat begitu menawan.

"Aku suka kamu. Kalo kamu mau jadi pacarku, jangan lepaskan kalung ini. Kalo kamu nggak mau, kembalikan kalung ini ke kotaknya dan simpan saja. Pakai kembali kapan pun kamu siap menjadi pacarku," bisiknya tepat di telinga Nana.

Tiba-tiba saja, Fariz mundur ke belakang.

Tiga orang lelaki berbadan besar telah berdiri di belakang Nana dengan tangan terlipat di depan dada, disertai pandangan tajam yang menikam jantung Fariz seketika. Gama, Aditya, dan Brian ada disana.

Nana yang menyadari kehadiran tiga sahabatnya itu segera berpaling dan berkata lembut, "tolong jangan kacaukan pestaku."

Kembali Nana menghadap pada Fariz.

"Kamu belum kasi kotaknya ke aku," ucapnya sembari mengulurkan tangan.

Fariz tak menyangka tangannya akan bergetar ketika menyerahkan kotak tersebut. Kehadiran tiga sahabat Nana yang tak ubahnya seperti bodyguard-nya itu, benar-benar membuatnya mentalnya drop.

***

"Apa-apaan cewek aneh itu! Memangnya kalo dia suka aku sedari dulu, aku juga harus suka suka sama dia, gitu? Apa dia pikir perasaan itu bisa diatur-atur?!" gerutu Ken saat menyusuri lorong samping rumah Nana, hendak kembali ke tempat pesta berlangsung.

Untung saja Galuh tidak nekat mengikutinya, jika itu terjadi, entah seperti apa ucapan kasar yang akan terlontar dari mulutnya. Ken tak pernah suka dengan perempuan yang agresif, dia membenci itu. Cewek-cewek agresif itu begitu mudah mengingatkannya pada teman-teman yang mem-bully-nya semasa SMP dulu. Jangankan pada perempuan yang dia benci, para penggemarnya yang baik hati saja, juga tak luput dari kata-kata sinisnya saat menolak pernyataan cinta mereka.

Sebenarnya Ken sangat heran, entah kenapa fansnya tak pernah berkurang meski dia selalu dingin dan kasar. Semakin hari malah justru semakin bertambah jumlahnya. Karena itu, dia benar-benar merasa hutang budi pada Nana karena berhasil membuat kegilaan penggemarnya itu berhenti seketika hanya karena gosip pacarannya mereka.

"Karena Nana? Apa benar aku menolaknya karena Nana? Ah, bukan! Bisanya juga aku selalu menolak para gadis muda itu. Aku butuh wanita yang sedikit lebih dewasa dan elegan!" Lelaki tinggi berkulit putih yang terlihat begitu tampan dalam balutan jas casual berwarna biru tua itu, mencoba mengusir sosok Nana dari pikirannya.

Tepat saat dia hendak memasuki rumah, punggung Fariz menutupi pandangannya dari sosok Nana yang ternyata berada tak jauh darinya. Alih-alih menghampiri mereka, Ken memutuskan untuk tetap berdiri di samping pintu dan memperhatikan dengan saksama kelakuan rekan se-band-nya itu yang sedikit pun tak pernah terlintas dalam pikirannya.

Hatinya bagai teriris sembilu ketika melihat Nana diam saja saat Fariz memasangkan kalung di lehernya yang jenjang itu. Tanpa disadari Ken, tangannya sudah terkepal begitu kuat, hampir saja dia meninju kusen kayu tempat badannya bersandar tadi.

Ken membalik badan begitu saja dan mengurungkan niatnya memasuki rumah Nana. Tangannya tak berhenti menggenggam erat kunci mobil yang baru saja dikeluarkan dari kantong celananya. Ada rasa kesal yang begitu memuncak, rasa kesal yang belum pernah dirasakannya sebelumnya.

Bukkk!

Akhirnya terlampiaskan juga sedikit amarahnya pada setir mobil yang tak bersalah. Ditumpukannya kepala pada kedua tangannya yang melingkar di atas setir, dan menatap kosong ke arah pedal gas dan rem.

"Apa-apaan aku ini? Kenapa marah." Ken menghela napas panjang.

Sebuah pesan singkat dari Rangga dibacanya setelah emosinya mereda.

"Dimana, Bro? Kok nggak balik-balik? Nih, si Nana nyariin."

"Aku dah pulang. Tolong sampein maaf aku ke Nana karena pulang tanpa pamit. Ada urusan mendadak."

***

"Ternyata Ken udah pulang, Na. Dia minta maaf nggak sempat pamitan karena mendadak ada urusan penting." Rangga memperlihatkan pesan balasan dari Ken pada Nana.

"Ya udah, nggak apa-apa." Seberkas rasa kecewa menghampiri Nana yang kemudian berlalu dari rombongan Linggar menuju ke rombongan lainnya, hendak berbagi salam.

"Aku aja yang kegeeran! Mungkin dia kesini cuma mau singgah karena sejalan dengan urusan berikutnya." Nana menguatkan hati sembari bercakap-cakap dengan para tamunya di sela-sela menyantap hidangan yang tersedia. Beberapa di antara mereka bahkan tak pernah sekalipun berbincang dengan Nana di sekolah. Kesempatan kali ini tentu tak akan disia-siakan Nana untuk lebih berbaur dan mengenal teman-teman satu sekolahnya yang lain.

Ketika pada akhirnya pesta selesai dan menyisakan keheningan, pikiran Nana masih tak bisa pergi dari Ken. Gadis itu masih belum membersihkan riasannya ketika mengempaskan badan di kasurnya dan menatap langit-langit kamarnya yang berwarna biru, tak jauh beda dengan warna jas Ken yang sempat dilihatnya dari jauh tadi.

"Kenapa dia pergi gitu aja?" batin Nana sembari mengayun-ayun handphone-nya. Nomor Ken sudah tersimpan disana. Teringat jelas oleh Nana, pertama kalinya Ken berkunjung ke tempat duduknya, cowok itu meninggalkan sebuah nomor di buku tulisnya, yang ternyata ada nomor handphone Ken. Ketika itulah untuk pertama kalinya Nana berpikir atas kemungkinan tertariknya Ken padanya. Tapi, sepertinya itu semua hanya mimpi. Tak akan mungkin Ken yang perlente itu menyukai gadis urakan seperti dirinya.

"Ah, hari ini terlalu banyak kejutan," gumam Nana sembari memegangi liontin yang baru saja menghiasi lehernya beberapa jam yang lalu.

Tentang DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang