IV

34 5 14
                                    

Wilayah Mini Town, Pulau Cassa
pukul 8.53 a.m.

"Sudahlah, kau tenang saja. Aku yakin ini jalannya."

Mobil mereka terus melaju walau tak tentu arah. Di depan sana sudah hilang mobil yang semula mereka ikuti. Jalanan yang tak terlalu ramai menjadi poin plus bagi sang pengemudi. Ia menyetir ugal-ugalan walau rekannya telah memeringatkan.

"Itu! Itu mobil mereka!"

"Wtf, dari mana kau tahu ini jalannya, sih?"

"Sudah kubilang kan aku tahu."

Mereka melambatkan laju mobil tanpa sekali pun mengalihkan pengawasan dari mobil biru navy di depan. Mobil cetakan bule itu kemudian berhenti tak lama kemudian di sebuah warung. Mobil pengikut menepi di jalan sambil penyetirnya mengumpat kesal.

"Goblok, kenapa berhenti mendadak."

Rekan pria itu mendecak singkat. "Jangan bilang mereka tahu kita ikuti?"

"Tidak."

"Tidak salah lagi?"

"Matamu."

Ada tiga orang dalam mobil navy itu, semuanya keluar. Nampaknya mereka membeli rokok dan segera masuk kembali ke mobil untuk melanjutkan perjalanan.

"Aku sudah lama tidak ke Mini Town," tutur rekan pengemudi, si penumpang.

"Rumahmu kan di Antartika sana. Buat apa kau ke sini?"

"Cari jodoh."

Mereka tiba di sebuah lahan dimana hanya terdapat beberapa rumah yang nampak kosong. Demi meminimalisir ketahuan, mobil pengikut berhenti cukup jauh dari jarak mobil navy.

"Mereka berhenti?" tanya pengemudi yang tengah memeriksa isi tasnya.

Si penumpang yang tengah mengawasi dari jendela mengangguk. "Di sana. Tak jauh."

Usai tiga pria pengendara navy itu turun, barulah si pengemudi dan penumpang turun. Mereka berjalan menuju sebuah gudang yang cukup besar. Letaknya berada jauh di tengah lapangan. Rindang, tetapi sedang mendung.

"Awas!"

Mereka bersembunyi di balik pohon dan semak selama beberapa kali ketika nampak kehadiran beberapa pria lain dari dalam gudang. Apakah navy sedang mengadakan m&g?

"Kau yakin mau ke sana?" tanya penumpang. Si pengemudi mengangguk mantap.

Menyerah, ia pun mengekori pengemudi yang tak ada takut-takutnya sama sekali menuju gudang tersebut. Pintu terdengar dikunci dari dalam, artinya mereka—mungkin—takkan keluar untuk waktu yang cukup lama. Mereka menguping dan mengintip ke dalam diam-diam.

"The fuck is that? Organ manusia?!" bisik penumpang.

"Sstt!" Pengemudi menempelkan telunjuk di ujung bibirnya. "Dugaanku benar."

Si penumpang masih sibuk mengintip. Benar-benar gila. Apa sekelompok pria itu bertransaksi ilegal? Jeroan manusia bertebaran di meja, kemudian dimasukkan ke sebuah kantong dan dikemas dalam peti. Rapi. Mereka bahkan membersihkan mejanya.

"Ezra!" panggil si pengemudi, masih sambil berbisik.

Ezra menoleh, mendapati si pengemudi mengeluarkan peledak dari tasnya. Ia mendelik kaget lantas menghampirinya.

"Kau sinting?! Mau apa dengan itu?!"

"Jelas-jelas ini namanya peledak! Tentu saja untuk meledakkan kepalamu yang lemot sekali berpikirnya itu!"

Si pengemudi menyerahkan tiga peledak pada Ezra, tiga lagi untuknya. Ia memasang dua peledak di belakang dan satu samping, Ezra sisanya.

"Theo!"

Ezra berlari kecil menghampiri pria itu, Theodore. "Apa-apaan? Kau ada tugas?"

"Tidak," jawab Theodore.

Ezra semakin mendelik kaget. "Lalu apa yang kau pikir kau lakukan?!"

"Diamlah! Pasang itu!"

"Aku bukan timmu! Jangan sangkut pautkan aku!"

Theodore memutar mata jengah. Ia mengambil kembali peledak di genggaman Ezra dan memasangnya seorang diri.

"Tolong, kau pasang di sana." Theodore menyerahkan satu peledak untuk Ezra pasang di samping. Pria itu tak tahu harus berbuat apa, terlebih karena seisi gudang bisa saja keluar tiba-tiba. Ia pun memasang peledak si samping seberang dan pergi dengan Theodore kembali ke mobil.

"Cepat, cepat!"

Mereka berlari kembali, lalu menekan tombol peledak ketika telah masuk ke mobil.

BLAM!

***

"Ah, aku mau mati rasanya."

Tulang-tulang Leonar berbunyi ketika diregangkan. Ia melepas jaket dan melemparnya sembarangan, lalu menurunkan temperatur AC. Ia menoleh ke arah Dirga yang sejak tadi matanya rekat menatap layar ponsel horizontal. Tangannya terangkat untuk menggaruk dagu sambil menguap.

"Kalau ponsel itu sudah masuk ke matamu baru kau berhenti ya?" ujarnya.

"Ha," sahut Dirga, masih fokus.

"Apa yang kau lakukan?" Leonar membaringkan tubuh dengan melipat tangan sebagai bantal.

"Game."

"Apa? Fruit Ninja?"

"Bukan." Dirga menghentikan kesibukannya. "Aku sebenarnya ingin jadi sniper, lalu ada Rei. Ya sudah."

"Mau bertukar denganku?"

"Aku tidak mau pakai kacamata sepuluh senti."

"Maaf, aku hacker classy." Leonar tertawa nyaring. "Aku sebenarnya tidak berminat jadi sniper, cadangan sekali pun."

"Lalu?"

"Kau bilang kau ingin? Kenapa tidak mengajukan diri?"

"Entahlah. Nyaliku rasanya kurang."

"Tapi ... "

"Apa?"

"Pasti ada sesuatu yang menyebabkan bos tidak memilihmu. Kau tahu apa?"

"Mungkin ... aku kurang jeli?"

"Mintalah Rei melatihmu. Tidak perlu malu. Kau biasanya memalukan."

Dirga mendecih.

"Oh ya, Ezra mana?" tanya Leonar.

Dirga mengedik. "Entah. Sepertinya tadi pergi dengan Theo," jawabnya.

"Kenapa aku jadi curiga mereka berkencan?"

"Jangan bercanda."

"Tidak. Maksudku, apa hanya aku yang merasa Ezra jadi loyo saat harus berhadapan dengan Theo?"

Hening.

Mereka terbahak.

***

Initials : The First [FINISHED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang