2. Jangan marah

275 22 7
                                    

Aku tahu kamu sulit untuk digapai, maka dari itu aku hanya ingin menjadi sebatas pengagum, walaupun hatiku meminta lebih.

•• Shanaya ••

Naya berdiri di balkon kamarnya. Dia memandang langit malam dengan tatapan sendu. Hatinya perih setiap melihat bintang. Perasaan bersalahnya muncul kembali.

Gilham Beinanda.

Nama itu. Nama abang kandungnya. Abangnya yang sangat dia rindukan. Abangnya satu-satunya.

"Abang masih marah sama Nay, ya?" gumamnya pelan.

"Kenapa abang gak pernah datang ke mimpi, Nay? Ini udah dua tahun bang. Maafin Nay."

Air matanya jatuh perlahan. Rasanya hatinya sangat sakit mengingat kesalahannya. Berapa kali pun bundanya mengatakan ini bukan salahnya, tetap saja rasa bersalah itu menghantuinya.

Karena jika abangnya tidak datang dalam mimpinya dan mengatakan telah memaafkannya dia tidak akan bisa tenang. Baginya dirinya lah yang bersalah.

Naya mengadah. Langit sangat cerah dengan bintang yang bertaburan. Tapi hatinya tidak. Entah kapan hatinya bisa secerah langit malam ini.

Naya tersenyum pedih. Apa abangnya sedang melihatnya saat ini? Apa abangnya juga sedih ketika melihat Naya sedih, seperti dulu?

"Abang, selamat malam. Naya tidur dulu, ya. Nay, kangen abang."

Naya berbalik meninggalkan balkon menuju kamarnya. Lalu, naik ke tempat tidur dan memakai selimut hingga menutupi wajahnya. Dalam hati dia berdoa agar abangnya datang ke mimpinya.

•• Shanaya ••

Seperti biasa saat jam istirahat kantin penuh dengan penghuni.

Di keramaian, Naya duduk di sudut kantin. Tempat favoritnya. Tidak bisa dibilang tempat favorit sih, tapi orang menilai itu menjadi tempat favorit Naya karena dia selalu duduk di sana setiap berada di kantin.

Naya memang cewek dingin dengan kepintaran diatas rata-rata. Tapi, bukan berarti Naya adalah cewek kutu buku yang selalu menetap di perpustakaan.

Naya hanya membutuhkan ketenangan ketika dia berpikir keras, Ketika dia merasa sedih, dan ketika dia marah. Selebihnya, Naya senang dengan keramaian.

Belajar di tengah keramaian pun dia sanggup. Naya memiliki fokus yang sangat baik, sehingga suara berisik yang timbul dari keramaian bukan masalah untuknya.

Naya duduk disana dengan earphone yang menyumbat telinganya yang volumenya sengaja dia kecilkan dan juga sebuah novel yang dibacanya sambil menunggu makanan pesanannya siap.

"Neng Naya, ini nasi goreng anget-angetnya sudah siap," teriak Mpok Tuti yang tidak jauh dari tempatnya.

Mendengar itu, Naya melepas earphone-nya lalu beranjak dari tempat duduknya untuk mengambil nasi goreng pesanannya.

"Makasih, Mpok Tut!" ucap Naya sambil mengambil nasi gorengnya di atas meja.

Dia kembali ke mejanya dan melihat Rion telah duduk santai di sana. Naya mendengus. Mau apa lagi sih?

"Eh Nay, sini aku bantu bawain." Rion berdiri ingin mengambil piring nasi goreng di tangan Naya tetapi Naya menghentikannya.

"Gue bisa." Naya menatap Rion tajam.

ShanayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang