12. Hijrahnya sebuah hati

20 2 0
                                    

     Kupikir disinilah akhir dari harapanku, batas penantianku. Kembang-kembang rindu itu tak akan muncul kepermukaan lagi.

     Sejak Gun mengatakan kesukaannya pada Rida. Sejak dari tatapan ibu Gun yang setengah sinis menilaiku. Sejak itu Gun, hatiku seakan lumpuh total berharap padamu.

    Jika ada hal yang paling berat yang tak mampu kupikul adalah memaksa hati ini melupakan ingatan  yang sering menyelinap ke ulu hati ini. Nyeri..sangat nyeri, Gun...desahku berat.

    Gun, sepertinya adalah nama yang selama ini ku manja-manja dan kini... mestikah kubuang?

     Berapa banyak waktu yang dilalui bersamamu, Gun. Berapa banyak kemesraan yang kau bilang aku hanyalah sebagai adik kecilmu. Dan aku tak pernah menangkap sinyal-sinyal terang di matamu yang sangat kuingin kau melabuhkannya dihatiku.

     Kupikir, aku adalah teman terbaikmu saja dikala sepi, dikala kau butuh aku sebagai teman curhatmu. Dan rasanya sekarang tak pantas aku meminta lebih. Hatimu..misalnya!

     Lagi pula buat apa aku semakin berharap, sekarang atau nanti kau tetap ingin  memilih hati yang lain, bukan hatiku!

     "Niah! Kau bilang nak cari kamar kost. Di Tiban Kampung masih ada satu kamar yang kosong di sebelah kamar kami. Kau mau?" Suara Tika membuyarkan lamunanku. Heran entah sejak kapan Tika tahu-tahu saja sudah berdiri didekatku. Padahal aku belum selesai mengkhayal tentang Gun yang tak habis-habis jadi perbincangan hatiku.

     Aku memang sedang mencari kost-kost-an yang lebih dekat dengan tempat kerjaku. Karena rumah pamanku terbilang agak jauh memakan waktu hampir satu jam lebih  diperjalanan.

     "Mauu!" jawabku spontan campur senang. Karena aku tahu disana adalah tempat kost-an Mayang, Tika dan Yayuk.

    Aku pikir tak ada salahnya aku mulai belajar hidup mandiri. Aku sudah membicarakan itu dengan keluarga paman. Mereka sudah menyetujui perihal ku ingin pindah itu.

     "Kapan kita kesana Tik? Sore ini bisa? Aku senang akhirnya bisa tinggal dekat kalian." tanyaku tak sabaran. Dengan semangat aku ingin menghabiskan sisa-sisa pcb yang belum kuperiksa. Aku ingin cepat menyudahinya agar tak tertinggal.

    "Sepulang kerja ini boleh. Nanti keluarnya kita samaan ya. Biar tak susah cari-carian. Aku merapikan kerjaanku dulu ya." ujar Tika setengah berteriak sambil membalikkan badan meninggalkan mejaku menuju boxnya tanpa sempat kubalas perkataannya.

      Tika memang tergolong salah satu teman akrabku yang paling gesit. Tubuhnya yang tinggi, suaranya terdengar garang suka marah tapi hatinya sangat baik.

     Tanpa mengabari Gun, esok harinya aku hijrah ke Tiban kampung dengan bantuan ketiga teman akrabku, Mayang, Tika dan Yayuk.

     Ada perasaan senang dan haru atas perhatian mereka yang membawakan semua barang-barangku ke tempat kostku yang baru.

       "Niah nanti temani aku ke gang sebelah ya. Ada seseorang yang ingin kujumpai." ucap  Tika, matanya mengerjap-ngerjap menatapku sambil menaruh  koper pakaianku di ruang tamu dimana kami duduk  berempat mulai berbincang.

      "Mau apa kesana?" balasku penuh tanda tanya.
Sedangkan hari sudah hampir malam. Lagi pula hari ini adalah hari pertamaku disini. Dan ya ampun ...badanku terasa begitu letih. Tapi demi temanku apa bisa aku mengatakan kata tidak?!

    "Jika nanti bertandang ke  rumah Johan jangan terlalu lama. cepat pulang Tik, tak baik malam-malam bertandang ke rumah pria." ucap Mayang mengingatkan.

    Lalu Yayuk menjelaskan padaku siapa Johan. Johan adalah anak kelahiran Padang yang sedang diincar Tika. Kabarnya malam ini Johan kedatangan tamu seorang gadis dari Padang bawaan keluarga yang ingin mereka kenalkan pada Johan.

     Malamnya ketka Mayang dan Yayuk kami tinggalkan aku dan Tika pergi menuju rumah Johan. Dengan menyingkirkan rasa malu, Tika memperjuangkan Johan untuk hatinya. Tika takut kehilangan Johan.

     Ah, mengapa aku tak seberani Tika berjuang, pada Johan yang belum jelas  menjatuhkan pilihannya ke Tika. Mengapa aku tak punya nyali sekuat dan segigih Tika mempertahankan keyakinannya untuk mendapatkan Johan. Sikap Tika yang santai dan menyenangkan terus berusaha menarik perhatian Johan. Johan yang baik, pantaslah Tika menyukainya sebesar itu.

     Perbincangan jadi ramai di rumah johan saat kami datang. Johan yang wajahnya seratus persen Padang, putih dan gagah mungkin  itu yang membuat Tika tak mau kalah selangkahpun dari Debi yang sekarang adalah pesaing yang tak boleh diremehkan kecantikkannya.

    Mengapa aku tak bisa seperti Tika. Tak bisa mengabulkan permohonan hatiku untuk terus mengejar Gun. Mengapa aku tak bisa seperti itu, Tuhan? sekecil inikah cintaku?

     Alhasil, dari pertemuan dan perkenalanku dengan Johan pada malam itu aku seolah dapat pelajaran,  apakah salah mengejar janur kuning yang hampir dimiliki orang. Apakah salah mengejar janur yang sebentar lagi mengembang.

       Sepulang dari mengantar Tika, sang pemilik rumah, ibu Loly yang aslinya dari Nias, non muslim itu menyambutku dengan pertanyaan ramah dan menyenangkan hatiku.

     Dari wajahnya kutebak sekitar berumur dua puluh lima tahun. Dengan usia cukup muda sudah berkeluarga punya dua orang anak perempuan yang masih balita.

     "Semoga betah ya Ran." ucapnya ramah ketika berpapasan menuju kamar baruku.
      Cat pink warna dindingnya dengan seperangkat meja kerja, tv, ac dan tempat tidur simple  benar-benar itu sangat aku sukai.

    Belum lagi jendelanya yang menghadap langit malam. Bintang-bintang yang bertaburan nampak jelas seperti intan saat aku memandang keluar dibalik teralis.

     Juga batang-batang pinus meskipun agak terlihat seram dan gelap sungguh sangat terlihat seperti magis saat mataku  memandang sambil merebahkan seluruh badanku yang lelah dikasur empuk setelah seharian seakan terhempas.

     Disini, Gun...aku akan lebih leluasa mengingatmu. Disinilah nanti akan lahir sajak-sajak sepi, sajak-sajak rindu. Dan aku tak kan menyangkal semua puisiku pasti betah bercocok tanam disini.

      Dan satu hal lagi disini aku akan belajar memupuk rasa sabar dalam penantian yang tak kunjung usai. walau itu sangat berat namun aku yakin bisa mengatasi keinginan yang tak tahu diri ini dengan puisi-puisi kering namun tak kunjung layu. Malah kian subur berkembang. Dan jangan salahkan sekarang rindu itu mirip sebuah nada  panjang penuh genderang di sepanjang musim hidupku.

     Maafkanlah aku Gun, perkara rindu itu ternyata sulit nak padam. Namun tenanglah ia tetap aman kusimpan.

     Dan itu bukan hal mudah  mengubah posisi hati ini  berpindah-pindah, walau aku sudah berusaha hijrah, dengan banyak pria mendekatiku lalu kubiarkan pergi tanpa berharap mereka akan menetap di jiwaku.

    Kalaupun aku sering menuruti ajakkan pria-pria yang dikenalkan Mayang dan Yayuk kepadaku. Itu hanya pelampiasan, hanya  ingin sesaat melupakan sakitku merindukanmu.

     Meskipun ini bukan kehendak diriku, ini hanya melipur hati saja.  Bepergian kemana saja dengan mereka setidak nya aku sedang menghibur agar jangan sampai hatiku berrsedih sepanjang hari.

    Tapi Gun,  terus terang hati ini tak bisa dipaksa-paksa harus patuh pada apa yang tak disuka. Seandainya ada keajaiban diluar kuasaku. Kelak, aku ingin hati itu benar-benar jujur dan tulus sepertimu yang sengaja mau datang sebagai hati yang hanya untukku.

     Haruskah aku bertahan  bertahun-tahun, sampai batas aku menyerah menunggumu, Gun? Sampai kau menghilang dan aku berhasil melupakanmu? Sampai kau menjadi sejarah dalam puisi yang kutimbun, kubenamkan agar kau tahu betapa akulah pengantin kecil yang ingin kau tunggu. Tapi kapan itu Gun?! Jeritku menggaung.

              &&&&--&&&&

Beberapa hari ini nulisnya agak nyendat..karena lebaran tinggal menghitung hari..untuk itu aku mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri, mohon maaf lahir dan bathin..

Dan jangan lupa ikuti terus kelanjutan cerita ini ya....

Tq buat semua yang sudi membacanya..happy always...love..love you...

Sel, 12 juni 2018

    
  

    
   
    
    
    

Sepotong cinta untuk RaniahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang