11. Misi rindu

25 2 0
                                    

Rindu itu datang lagi
Sudah kusuruh pulang
Tapi harus pulang bersama kau
Apakah kau bisa seperti itu?

Dikedalaman mata, hati dan sungai yang mengalir
Di ujung pulau, bukit dan belantara
Di benakmu cahayanya tinggal
Lalu, aku ada dimana?

Rasa itu bukan tidak sungguh-sungguh kucegah. Rindu itu bukan aku yang mau, tapi rindu itu hati yang mendesakku. Apakah kau juga sanggup menahan jika sesuatu ada yang ingin meledak cepat dihatimu?

Hal ini yang paling tidak kumengerti, Kisahnya belum pernah diawali. Sekarang seakan sudah usai.
Mungkin saja misinya baru dimulai
Itu yang buatku sedikit kalut dan lunglai.

Perih itu semua bermula lagi dari perginya Gun kemarin. Seenaknya saja membentangkan jarak yang memilih jauh tanpa sepotong kata darinya.

Dan apakah aku bisa melanjutkan rasa ini sedang Gun memilih hilang. Padahal perginya cuma dua hari bukan dua tahun. Kenapa hati rasanya begitu alay.

Satu hari Gun pergi tak bisa sebanding lima hari aku menghilang. Sudah kubujuk hatiku agar mencoba melepaskan.

Kata orang lebih bijak melepaskannya pergi daripada menahannya tapi ia tidak merasakan kebahagiaan.

Tapi jangan salahkan langkah ini, Gun. mengapa kaki ini sampai kemari. Mengapa aku mau saja menuruti ajakkan Lusi yang belum seberapa aku kenal. Anak bagian test tune yang orang tuanya tinggal di Kota Piring Tanjung Pinang, dekat Istana yang terbuat dari kaca-kaca. Sekota dengan Gun.

Kabar yang kudengar dari seorang temannya. Gun, mau menengok ibunya yang sakit. Dan hatiku serasa terpanggil meskipun tak ada yang memanggil.

"Memangnya kau belum pernah ke Tanjung Pinang?" tanya Lusi di sore itu saat pulang dari kerja.

"Belum. Aku cuma penasaran kabarnya Tanjung Pinang banyak objek wisata. Aku pingin lihat lebih dekat melihat Istana Piring, pulau Penyengat dan pantai Trikora yang terkenal itu." jawabku yang tidak sepenuhnya benar. Biarlah Lusi tak tahu, biarlah Gun juga tak tahu, untuk apa aku ke Tanjung Pinang.

"Oh iyalah. Kau wajib tahu, tempat kelahiranku itu memang indah dan patut kau tengok." Senyum Lusi mengembang terpancar rasa bangga pada kotanya.

Esoknya minggu pagi pukul 6 kami sudah diatas kapal pertama. Udara dingin sedikit menusuk tulang. Kututup rapat-rapat jaketku. Aku tak bawa apa-apa karena hanya satu hari. Angin laut yang segar membawa kami ke Tanjung Pinang.

Hampir tiap minggu Lusi pulang menengok orang tuanya. Karena jarak dan waktu cukup dekat. Dan ongkosnya pun cukup murah pp hanya seratus ribu saja Lusi sudah bisa bertemu keluarganya.

Alhamdulillah keluarga Lusi menyambutku dengan baik dan ramah. Banyak yang mereka tanyakan padaku, tentang asal-usulku.

Ponsel pinkku berdering saat aku bercerita dengan keluarga Lusi. Gun, jelas terbaca di layar ponsel memanggilku.

"Iya aku sekarang di Kota Piring, Pinang. Dengan Lusi." sahutku ketika Gun menanyakan keberadaanku.

"Aku kesana ya!?" sahut Gun lagi.
"Terserah kau lah." jawabku setengah bimbang. Sepuluh menit Gun pun sampai. Jarak yang jauh rupanya disini menjadi dekat. Sebab pulau ini termasuk sepi kendaraan.

Sesampainya Gun meminta izin dengan Lusi dan keluarganya membawaku keluar.

"Jangan kesorean Niah, kita pulang jam lima sore." Pesan Lusi mengingatkanku.

"Ya." jawabku sambil melambaikan tangan, aku memasuki mobil Gun.

"Sekali lagi kalau pergi jauh, bisakah kau tak jalan dengan sembarang orang. Ini pulau, tingkah orang bermacam-macam. Lagi pula kau dengan Lusi belum lama kenal. Kau tahu sekarang marak perdagangan wanita. Hati-hatilah berteman."kata Gun panjang lebar di perjalanan.

Dari caranya bicara nampak Gun kurang suka kalau aku terlalu akrab dengan Lusi.
Memang, kalau dilihat dari segi dandanan, Lusi terkesan agak menyolok dan sedikit binal. Tapi aku memandang tak sampai kesitu. Kupikir kita tak boleh menilai seseorang dari luarnya saja. Bagiku ia baik padaku itu saja.

"Iyalah lain kali aku akan lebih berhati-hati. Thank's ya." ujarku tak ingin berlama-lama membicarakan perihal Lusi.

Dalam perjalanan banyak yang kami singgahi. Pusat kuliner Akau potong lembu, pulau Penyengat, Wihara pohon Banyan. Akhirnya kami tiba di pantai Trikora yang terkenal sangat indah dan banyak dikunjngi wisatawan. Sungguh perjalanan yang sangat mengesankan. Sedetikpun aku tak mau kehilangan moment itu. Saat bersama Gun, saat yang paling mimpi.

Tepat pukul tiga sore, Gun mengajakku mampir kerumahnya di Tanjung Uban. Terus terang ada semacam ketakutan yang menyerangku diam-diam.

Tiba dihalaman luas, rumah berpagar hitam. seorang wanita berdiri mengawasi kami, menatapku tajam. Lalu ia menghilang dibalik pintu. Siapa dia ya? Mungkinkah itu ibunya Gun? Kabar yang kudengar ibu Gun sakit. Mungkinkah itu ibunya Gun? Tapi mengapa begitu sikapnya menyambutku.

"Beberapa hari ini ibuku sering sakit kepala. Kemarin sudah aku bawa ke dokter. Sekarang sudah agak mendingan." Gun menjelaskan seolah membaca apa yang ada dipikiranku.

Lalu Gun menyuruhku duduk di teras rumahnya menyusul ibunya kedalam.
"Siapa lagi itu Gun? Dari mana dia berasal? Berani betul seorang perempuan mendatangi rumah laki-laki. " samar-samar aku menangkap suara ibunya Gun.

Duk!! Seperti ada yang memukul jantungku. Terlalu liarkah aku dalam pandangan ibu Gun. Mengapa tak sampai kesitu pikiranku. Ah, aku menyesali perbuatanku yang selalu spontan dan tak pikir panjang.

Aku seperti duduk diatas bara, panas dan kecewa. Rasanya aku mulai tak tahan lagi duduk disini. Aku ingin cepat pergi.
Mungkin karena desakan, akhirnya ibu Gun mau juga keluar dan berbasa-basi denganku. Lalu aku mengajak Gun permisi pulang.

"Kau jangan ambil hati ya Niah. Apapun yang dikatakan ibu tolong maafkan. Karena ibu belum kenal kau." ujar Gun seakan membaca diamku yang panjang selama perjalanan menuju rumah Lusi.

"Taklah aku tak mikir gitu. Aku senang bisa lihat ibumu sehat. Mungkin kata ibumu ada yang benar. Tapi sudahlah, aku tak apa-apa kok. Tenanglah." ucapku tersenyum kearah Gun yang sedang menyetir mobil.

Namun tak urung serasa ada kegagalan yang baru aku mulai. Aku terus bercerita tentang kesenanganku, kegembiraanku dan rasa terima kasihku pada Gun yang sudah mengajakku berjalan seharian. Aku tak mau Gun berpikir kesusahan diwajahku. Aku selalu tersenyum untuknya.

Biar..biar Gun, cukup hatiku saja yang merasakan godam itu bertalu-talu memukulku.

Kupikir aku tak ingin bertanya lagi pada hatiku. Inikah yang kau inginkan wahai jiwa? Menemukannya meskipun tak jua menyatukan. Legakah hatimu sekarang. Apakah mendapati kenyataan diluar dugaan ini cukup membuatmu paham?

Apakah kau ingin berhenti berharap dan terus mengikuti langkahnya? Berhenti merindukannya. Tidakkah kau ingin segera sadar, perjalanan ini tak semanis yang kau bayangkan. Ingin dianggap manis dan dapat nilai tertinggi di mata Gun dan ibunya.

Sekarang nilai sudah ditangan. Berhentilah..berhentilah Niah! " teriakan hatiku kencang. Sungguh ini sebuah misi rindu yang gagal.

&&&&

Nah, baca lagi yang selanjutnya ya
Esok kita lanjut ke 12 ya....

Aku menulis karena hobby
Aku menulis karena aku tak mudah mengutarakan bisik hati yang paling dalam.

Semoga berkenan memberikan suara dan saran...aku terima dengan senang.
#Kumohon baca terus ya...biar semangat aku melanjutkan...
#Terima kasih buat semua...happy reading..

Plg, 5 juni 2018



Sepotong cinta untuk RaniahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang