9. Sebelah jiwaku pergi

27 1 0
                                    

Sejak kejadian kemarin, hari ini aku tidak masuk kerja. Bukan karena badanku terasa lemah tapi hati ini terasa berada didasar paling bawah bumi. Terhenyakkan!

   Aku masih ingin mengumpulkan kekuatan hatiku. Agar ia benar-benar siap menghadapi kenyataan. Hati yang bertepuk sebelah tangan. O o miris banget ya!

     Sebenarnya mengapa aku tidak belajar membuka hati ini kepada hati yang lain. Bukankah ada beberapa pria yang berusaha mendekatiku.

     Misalnya Gavril anak teknisi keturunan Itali yang suka kirim salam itu, juga Oji yang suka kali bawain aku coklat tableron atau Johnny yang selalu bayarin jajanan aku di kantin pas makan bareng.

    Terlebih lagi Ganda, meskipun kami beda keyakinan. Tapi Ganda sangat perhatian dan sayangnya luar biasa.
Mereka baik semua. Tatapan dan sikap mereka seperti menunggu uluran hatiku. Apa coba kurangnya mereka?

     Mengapa harus Gun yang jelas-jelas tak ada hatinya buatku. Menerima Rida itu jelas bahasanya menunjukkan aku tidak ada istimewanya.
Mengapa musti Gun yang tiap hari bermain dipikiranku. Mengacaukan semua aliran darahku. Mengapa Tuhan...batinku menjerit.

     "Niah! Buka pintunya! Ada Gun yang datang!" teriakan bibi Lisa dari balik pintu kamar, membuyarkan lamunanku.
"Suruh masuk aja Bi. Pintunya tak dikunci. " balasku sambil merapikan rambut dan selimutku yang agak acak-acakan.

     Dalam posisi terbaring aku malas berdiri. Walau aku masih bisa melakukannya. Tapi serasa masih belum terkumpul kekuatanku.
      Kulihat bibi mengantar Gun ke ruang kamarku yang cukup besar. Lalu bibi meninggalkan kami berdua dengan pintu yang terbuka lebar.

     "Gimana sudah baikan sekarang. Nih aku bawain buah segar dimakan ya. Biar cepat pulih." ujar Gun tersenyum manis penuh perhatian dengan sekeranjang buah di tangan.
Lalu Gun duduk di kursi di sebelah tempat tidurku.

      "Ada salam dari teman-teman, juga dari Rida, mereka belum sempat datang. " ucap Gun lagi, sebelah tangannya mulai mengupas kulit jeruk lalu menyuapi aku satu persatu.
     
      Aku mengusir kuat-kuat benciku saat Gun menyebut nama Rida. Aku ingin menikmati jeruk yang disuapkan Gun ke mulutku.

     Aku ingin melewati semua dengan Gun tanpa ingin mengingat hal-hal yang bakal merusak hatiku. Aku ingin menjalani ini dengan Gun, lelaki yang kukagumi dengan secara diam-diam.

    "Makasih. Aku hampir sembuh kok. Besok juga aku sudah kerja lagi. Aku bosan disini." ujarku sambil mengunyah sisa jeruk.

     "Bagaimana kau jadi berangkat minggu lusa ke Pinang? Selamat ya mudah-mudahan aman dan lancar "tatapku pada Gun berusaha senang.

     "Tak jadilah. Minggu depannya aja. Aku tak bisa pergi sebelum melihatmu benar-benar sudah baik." ujar Gun dengan wajah masih diliputi kekhawatiran.

     "Hei Gun! Kau tak usah cemaslah. Aku tak sakit kok cuma kemarin itu aku lalai tak sarapan. Jadinya pingsan. Kau jangan kecewakan Ridalah. Kasihan dia, tak baik membuat seorang gadis kecewa. Kau lihat besok aku sudah segar." kataku sambil berusaha duduk bersandar bantal, meyakinkan Gun bahwa aku tak apa-apa.

     "Kau pergilah..cuma hari minggu yang kau punya waktu yang lebih panjang. Senin sudah masuk kerja. Jangan tak pergi Gun! Aku baik-baik saja. Lagi pula ada bibi dan pamanku. Juga Lidya entar sore sudah pulang kerja. mereka kan siap menolongku jika terjadi apa-apa." kataku lagi menatapnya memberi semangat penuh.

      "Baiklah aku akan pergi minggu lusa, kau baik-baik ya. Kalau ada apa-apa cepat kabari aku." ucap Gun setengah bimbang.

    Ah Gun, apa sih yang tidak untukmu. Untuk kebahagianmu aku sanggup merelakan separuh kebahagianku walau aku tahu benar, akan ada retak di hatiku
Demimu aku rela Gun. Karena kau baik dan spesial. Dan karena ada rasa yang tak bisa kujelaskan. Walau aku harus terhempas ke jurang kesedihan.

     Aku kuat Gun...desahku berat.
Cukup lama kami berbincang, akhirnya pukul lima sore Gun pulang meninggalkan aku di kamar.

     Gun selalu begitu, selalu perhatian. Terus bagaimana mungkin aku harus membencinya. Tak ada alasan yang tepat, yang bisa mengubah cinta ini menjadi benci.

     Saat pertama aku merasa Gun lebih unggul dihatiku. Aku tidak ingin menyakitinya walau aku tahu suatu saat nanti Bukan aku yang memberikannya kebahagiaan.

    Aku sudah berusaha mencegah perasaan yang aneh ini, perasaan yang kian menambahkan rasa sakit teramat dalam.
Aku tahu semua orang harus punya mimpi dan harapan. Tapi semakin kusadari, mimpi dan harapan itu hanya kamu. Dan aku tak bisa buat apa-apa untuk memperjuangkannya.

     Kupikir ada baiknya aku belajar melepaskan, merelakan demi kebahagiannya.
Pikiranku terus melayang, kudengar suara azan berkumandang. Aku bangkit dengan langkah berat menuju kamar mandi mengambil air sembahyang.

    Tuhanlah tujuan terakhirku menumpahkan segala yang menghimpit jiwaku. Tuhan, kini aku datang kepadaMu. Hanya padaMu.. tolong kuatkanlah aku....bisikku pelan.

&&&
Wah dah pagi aja nih..cepat betul ya waktu berjalan...tq ya sudah sudi baca dan kasih suaranya...
Lanjut lagi ya yang ke 9...

Jangan bosan ya mengikuti ceritaku...
Happy reading

Sab-

31 mei 2018



Sepotong cinta untuk RaniahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang