re·bas
bertitikan; berjatuhan.
( air, air mata )***
Keluarga tidak pernah melarang, tidak juga bermaksud untuk campur tangan mengenai mimpi yang akan ia simpan. Hanya saja perkataan: "Kenapa tidak memilih pekerjaan lebih baik dan menguntungkan untuk diri kamu sendiri?" terdengar hampir setiap hari. Konyol sekali.
Sungjin mendudukkan tubuh berbalut pakaian berwarna abunya di salah satu kursi besi depan pintu berkarat sebuah toko. Di sana, ia mulai bersiap untuk memainkan lagu pertama seperti biasa—selalu sama.
Mencoba melupakan banyak beban di atas pundak, menyanyikan lagu tersebut sebagai penutup kedua telinga ketika mereka mulai mengomentari segala sesuatu mengenai mimpinya. Namun sebelum ia menyentuh bagian akhir lagu, suatu suara mengganggu dari plastik pembungkus membuyarkan lamunan dalam satu kedipan mata. Otomatis Sungjin mengernyit, melihat sebungkus kue kering cokelat sudah berada di dalam tas gitar yang memang sengaja ia letakkan di jalanan karena kursi ini hanya cukup menampung satu orang.
"Maaf, aku—aku tidak punya uang. Tapi sungguh, permainan gitarmu patut diapresiasi!" kata seorang gadis berambut gelombang dengan wajah memerah beserta jaket hitam tebal sampai menyentuh bagian paha. Sekarang Sungjin jadi tahu, bahwa bukan ialah satu-satunya orang gila yang akan berkeliaran di atas pukul sepuluh malam saat musim gugur berlangsung.
"Kamu kira saya ini gelandangan, begitu?" Ada penekanan pada beberapa kata terakhir yang Sungjin lontarkan dengan menahan tawa, sebelum iris membola si lawan bicara benar-benar menghancurkan pertahanannya.
"Astaga! Bukan?! Maafkan aku!" Ia menutup sebagian area bibir, merasa malu.
Jujur saja, Sungjin tidak keberatan mengenai penilaian orang-orang terhadap penampilannya. Ralat, tidak peduli. Lagipula daripada memikirkan kritikan manusia berotak dangkal yang tidak tahu seberapa keras mengejar suatu impian tanpa ada dukungan, ia jauh lebih suka mendengar bagaimana komentar gadis ini mengenai permainan gitarnya tadi.
"Tidak apa-apa, saya memang semenyedihkan itu, kok." Sekitar sepuluh sekon sesudah kalimat tersebut terlontar, keheningan malah menguasai, membuat Sungjin merasa bersalah sendiri akibat tanpa sengaja mengutarakan masalah pribadi yang sangat tidak penting. Dasar bodoh.
"Kenapa ... kamu bilang begitu?"
Lekas saja Sungjin mendongak, menangkap tatapan sayu si gadis berkulit pucat dari jarak sekitar empat langkah. Ditambah perubahan pada mimik wajahnya. Jelas Sungjin tahu, ia tidak bodoh untuk mengetahui bagaimana sang lawan bicara pun telah jatuh terbawa suasana.
Sialan, diberi tatapan prihatin begini, Sungjin semakin merasa seperti gelandangan betulan.
"Bukan—"
"Namaku Nala. Aku tahu, tidak akan ada orang yang mau berbagi cerita pada gadis asing dengan mudah. Apalagi jika mereka bertemu saat jarum jam berhenti di angka sebelas malam," potong Nala bersama satu tangan terjulur, berniat menjabat tangan milik Sungjin yang kini hanya bisa diam mencerna.
"Sungjin."
Percakapan di pinggir jalan yang terus berlanjut menjadi hal baru bagi Sungjin. Ya, walau tadi Nala sempat memberi tahu bahwa ini bukanlah kali pertama ia melihat presensi Sungjin di sini. Sayang sekali ia baru menyadari, padahal Nala merupakan gadis baik yang patut dijadikan teman untuk saling bertukar kisah. Manis pula.
Omong-omong, Park Sungjin merupakan contoh orang yang ingin terbebas dari pertengkaran keluarga mengenai mimpi yang mereka anggap sebagai sampah. Jadi, bukan tanpa alasan mengapa pemuda berahang tegas ini kerap kali mencari suasana baru dengan melarikan diri dari rumah tiap malam menjelang pagi. Peduli setan soal cuaca.
"Kenapa kamu suka keluar malam? Mau pergi ke suatu tempat?" tanya Sungjin membuka percakapan. Nala yang bersandar pada bagian belakang bangku—menggantikan posisi Sungjin yang kini tengah terduduk di bawah—nampak mengembungkan pipi sambil menyipitkan mata berpikir. "Em ... bisa dibilang ini salah satu kebiasaan baruku." Nala tersenyum, memberi jeda sebentar lalu membuka mulut lagi, "belakangan aku sering keluar malam. Meski bukan keinginanku sendiri, sih."
Dari sini, bisa Sungjin lihat pantulan temaram cahaya lampu sekitar jalan menerangi Nala yang masih terus bergumam. Entah sejak kapan, Sungjin jadi suka mengamati keadaan sekitar.
"Kalau begitu, keinginan siapa?" Pertanyaan Sungjin tidak langsung mendapati jawaban. Melainkan ia harus bangkit dari posisi awal secara mendadak akibat pergerakan Nala yang sedang membuka ritsleting jaket begitu saja.
"Nala, tunggu—"
"Dia yang suka menikmati udara malam," balas Nala tersenyum, memperlihatkan lesung pada kedua pipi sementara Sungjin merasakan beku pada kedua kaki.
Hingga pada detik di mana tawa sumbang Nala bersama rebasnya beberapa likuid melewati pipi, si pemuda lantas berlutut di hadapannya, menyamakan tinggi mereka berdua sebelum meredam isakan pilu milik Nala di balik satu rengkuhan hangat yang serba tiba-tiba.
Katupnya ingin terbuka, mengucapkan berbagai kata baik untuk memberi ketenangan walau sebentar. Namun kembali, Sungjin sadar bahwa dirinya bukan juga pribadi yang pantas untuk memberi arahan orang lain agar berbuat baik. Ia bahkan jauh lebih buruk, terlalu buruk dibanding seorang calon Ibu tanpa pendamping.
"Dia memang nakal, sudah pintar membuat Ibunya harus mau terbangun malam-malam begini dan berakhir bertemu dengan kamu. Merepotkan, ya, Sungjin?"