re·a·li·tas ; (réalitas)
kenyataan.***
Pukul duabelas tepat terhitung semenjak Dowoon berkutat serius dengan layar persegi lebar penuh tulisan tanpa mengucapkan sepatah kata. Satu gelas frappuccino sudah dipesan, tapi tentu itu bukan untuknya, melainkan seseorang. Hanya sekadar info saja, ia tidak suka hal manis.
"Dowoon, sudah lama?" Lekaslah salah satu tangan ia gunakan untuk membuka sebelah headphone ketika merasakan pukulan pelan di area pundak. "Oh, belum, aku juga baru sampai."
Ada tawa canggung yang terlontar sementara gadis berkuncir kuda itu hanya bisa menelan ludah tidak enak. "Aku terlambat lagi ... sudah satu jam 'kan?" tanyanya memastikan tanpa berani langsung menatap manik.
Merasa jika Jian sudah bersikap tidak biasa, dengan cepat Dowoon pun berusaha membangkitkan suasana, berkata tidak apa-apa berulang kali lantas mempersilakan gadis itu agar segera mendudukkan diri.
Ia tahu, tidak seharusnya Jian melihat tugas setengah selesai tadi. Karena itu malah semakin menunjukkan bahwa ia melakukan kesalahan akibat datang melebihi batas waktu perjanjian. Lain kali, ia akan lebih berhati-hati mengingat Jian merupakan gadis yang cepat sekali merasa sungkan. Toh, Dowoon sudah terbiasa datang kemari sendiri. Jadi tidak masalah. Kalaupun Jian tidak datang, tak apa.
"Kenapa sudah ada frappuccino di meja? Ada satu orang lagi?" Jian nampak mengerutkan dahi sebentar sebelum Dowoon akhirnya memberikan jawaban, "Untukmu. Green tea ... favoritmu 'kan?" Jian membelalakan mata terkejut diselingi ucapan terima kasih. Dari sinilah Dowoon baru menyadari bahwa ada yang berubah sedikit dari caranya bertingkah.
"Pesan dua muffin, serta ...," gantung Jian saat seorang pelayan tengah menulis pesanan dan segera mengubah arah pandang.
"Oh, satu kopi hitam tanpa gula."
Sejenak, perbincangan sederhana mereka mampu membuat Dowoon melupakan beratnya menempuh tugas kuliah. Namun entah kenapa, sewaktu satu cangkir kopi tergeletak di hadapan, topik pembicaraan mendadak saja teralihkan. "Kenapa kopi hitam? Itu bahkan terlihat pahit sebelum dicicip."
Mimik penasaran Jian membuat Dowoon mau tak mau harus tersenyum, memasang wajah setenang mungkin sebelum menyesap sedikit cairan pekat tersebut. "Jangan terbiasa melihat sesuatu dari satu segi pandang saja. Pada nyatanya, kopi ini tidak hanya memiliki rasa pahit percuma," jelasnya.
"Tapi dari semua macam rasa enak kopi, kenapa harus memilih yang tanpa gula? Lagipula, sejak kapan kamu suka pahit?"
Ada rasa menggelitik di balik tanya polos milik Jian barusan. Bukankah secara tak langsung ia baru saja mengatakan, "Aku tahu kamu tak suka pahit. Jangan membual."
Tentulah Dowoon tertawa, seraya membereskan berbagai kertas yang berserakan di atas meja. "Kamu tahu tidak, seberapa pahit realitas milikku dibanding secangkir kopi tanpa gula?" Kedua tangan Dowoon masih tetap sibuk menata kertas tugas, mematikan laptop sampai ringkas tersimpan dalam tas. "Sungguh, masih belum ada apa-apanya."
Si gadis pecinta novel romansa hanya bisa menghela napas pasrah, memutuskan untuk tidak banyak bersuara. "Saran dariku, campurkanlah sedikit gula dalam kopimu agar lidah itu tak melulu mengecap kepahitan tanpa kenal ujung. Mengerti?"
Dowoon menunduk, lantas mengangguk sambil tersenyum kecut. Baru saja ingin membuka mulut kembali, namun pekikan khas milik Jian sudah lebih dulu mengudara, "Di sini!"
Sepatu dari kulit berwarna hitam adalah hal pertama yang muncul dalam pandangan Dowoon. Walau begitu, sudahlah ia tahu pasti siapa orang yang memang berniat menghampiri mereka berdua. Jadi di sana, Dowoon berusaha memasang tampang luar biasa ramah.
"Terima kasih sudah menjaga Jian," ujar si tamu ketiga memandang Dowoon lembut. Sementara yang ditatap hanya bisa diam memperhatikan bagaimana pipi gadis di hadapan kian memerah.
Setelah tas kecil berwarna cokelat dalam genggaman Jian siap dibawa pergi, cepat saja pemuda bersurai hitam tersebut membuka konversasi kedua secara berbisik, "Nanti akan kutraktir di rumah, Dek."
Dowoon bergeming mengingat tepukan biasa sang Kakak pada pundak kiri sembari membawa Jian pergi, meninggalkan peperangan tersendiri atas batin yang ia miliki.
"Betul. Kopi itu selalu terlihat pahit bahkan sebelum dicicip. Sama seperti salah satu kisah realitas dalam hidup. Kamu, contohnya?" Dowoon mulai menyandarkan punggung di sofa, bermonolog dengan kedua manik tertutup resah.
"Ini hanya perihal waktu, Ji. Sama seperti itu, aku akan berangsur menikmati pahit selagi melepas pergi rasa manis."