klan·des·tin
secara diam-diam ;
secara rahasia.***
Masih teringat di penghujung semester kemarin, ketika lorong terasa jauh lebih sepi dan ubin putih memantulkan sedikit sosoknya yang tak lagi berpakaian rapi tengah gemetar karena sebuah konversasi.
"Berkencanlah denganku, akan kubuatkan satu lagu bagus." Kalimat yang lolos beserta sorot tajam semakin membuat atmosfer sekeliling menjadi canggung. Keduanya lalu tenggelam dalam pemikiran abstrak masing-masing.
Si pemuda, masih kukuh berusaha menahan bobot badan agar tetap berdiri tegap di sana, menyaksikan wajah pucat gadis tersebut mendadak kehilangan kata. Brian kira, mungkin perasaan aneh ini akan berhenti setelah jawaban dari Tana terdengar.
Namun suara gugupnya saat berujar, "Maaf, aku tidak mengenalmu." membuatnya harus bisa menelan bulat-bulat harapan untuk terbebas dari penyakit asma langka.
"Aku tak mau kehilangan orang yang menyukaiku. Jadi, mari berteman dulu. Mau?"
Brian tidak tahu sudah berapa pekan atau bulan semenjak kejadian memalukan itu berlalu. Ia masih ingin tertawa mengingat bagaimana Tana memutar badan dan berjalan melewatinya tanpa mau menuntaskan obrolan mereka. Gila.
Tapi mendadak, rasa kesal di batin menjadi beku sewaktu tanpa sengaja si tokoh utama tengah berada dalam jangkauan kedua mata. Dan kebiasaan lama pun datang. Selain membuang muka, Brian juga sempat mengumpat pelan, "Sialan."
Jika boleh jujur, banyak kebetulan yang membuat Brian tahu mengenai beberapa tempat singgah Tana di sekolah. Karena bisa dibilang, ia adalah pengagum rahasia terpayah. Jangankan rumah, makanan kesukaan Tana saja ia tidak tahu. Tanya saja sendiri kegiatan macam apa yang berandal itu lakukan secara serius selain membuat lirik lagu.
Walau ibarat kata hanya satu dari sepuluh, setidaknya Brian tahu bahwa Tana sangat suka dijuluki 'Bunga matahari' karena tingginya yang khas untuk ukuran gadis berumur delapan belas tahun. Manis.
"Temui aku Selasa esok, akan kuberitahu di mana. Pokoknya, kamu harus menyanyikanku sebuah lagu. Barulah setelah itu kita resmi berkencan." adalah kalimat yang Tana ucapkan begitu ringan setelah menemukan Brian dengan posisi berlutut bersama kedua tangan terangkat di hadapan kelas. Seperti biasa, murid pembangkang.
Sementara Tana telah bersiap pergi, Brian masih terus bergeming tanpa bisa melepas fokus dari wajah si gadis. Ketika dirasa jarak sudah cukup jauh, barulah ia berdecih, "Cih, kukira sudah lupa."
Kalau dipikir-pikir, ini bukanlah kali pertama baginya untuk meloloskan diri dari kegiatan sekolah. Toh, ia malas juga jika selalu berakhir duduk di luar kelas seperti orang bodoh hanya karena menendang meja. Jadi tanpa banyak pertimbangan, Brian lantas menjajal langkah ke alamat yang beberapa menit lalu Tana kirimkan. Jelas sekali di sana tertulis pukul tujuh malam. Tapi Brian tengah menjadi Brian si pembangkang sekarang. Maklum.
Sebuah pintu rumah bercat putih menjadi destinasi terakhir kedua tungkai si pemuda. Walau masih ragu, ia tetap berdiri di sana sampai tiba-tiba pintu terbuka dan menampilkan sesosok wanita paruh baya bertanya, "Tamu Nona, ya?"
Brian diam, ia hanya diminta untuk berjalan mengekor di belakang. "Non, ada teman." Ketukan pelan pada pintu kayu berhias lukisan bunga menjadi titik sorot paling menarik sebelum kenop diputar, perlahan menunjukkan sesosok gadis berpiyama panjang lengkap dengan selang transparan tergantung pada sekitar hidung.
"Brian!"
Tana terus menggulingkan badan ke kiri dan kanan, sedang Brian hanya mampu tersenyum kecil karena baru pertama kali ini melihat Tana dalam balutan pakaian selain seragam.
"Kapan kamu mau bernyanyi? Nanti keburu aku mati, loh." Tana tertawa, lalu bangkit dari posisi tidurnya untuk segera duduk bersila, berhadapan langsung dengan wajah Brian di kursi samping ranjang. Brian hanya tidak tahu saja, jika seorang Tana yang canggung merupakan pecinta lelucon menyangkut kematian.
"Aku tidak suka selera humormu. Ganti, bahaslah sesuatu yang lebih lucu."
Tana nampak berpikir sebentar sebelum kembali berujar, "Kalau begitu ... kapan aku mati? Menurutku, sih dua atau tiga—"
"Tidak mungkin mati," potong Brian mendadak, membuat keheningan sejenak melanda. "Tuhan tidak akan mengizinkanmu pergi tanpa ada kenangan baik." Berbeda dari harapan, sepertinya perkataan Brian masih terdengar lucu di telinga hingga tak memberikan efek berarti.
Awalnya ia kira begitu, tapi di akhir gelak tawa milik Tana, Brian justru menjadi pihak paling bungkam seribu bahasa.
"Jangan melucu, Bri. Bahkan kamu sendiri pernah menjadi satu dari sekian ribu hal mustahil yang terjadi. Lantas, kenapa masih tidak percaya jika aku akan mati?"