in·tu·i·si
bisikan hati.***
Gadis itu termangu, mengingat si pemuda pernah menempati janji setelah kali pertama ia datang kemari. Menyanyikan lagu ciptaan sendiri sampai mampu membuatnya lupa diri; tahu-tahu saja sudah terbangun di pagi hari.Brian tidak pernah mengingkari janji. Sama seperti hari ini, ketika ia sudah tidak tahan lagi menampung lelucon mengenai kematian yang Tana kerap jadikan topik pembicaraan. Jadilah sekarang, pemuda itu meminggirkan mobil, menatap Tana yang tengah berbalut gaun hitam bermotif bunga di samping kiri.
Ada guratan kecil yang terukir sebelum tanya Brian menyambangi kuping, "Bagaimana? Suka?" Dan Tana mengangguk antusias.
Brian memundurkan badan setengah lega—kembali ke posisi awal sambil memperhatikan. Sebenarnya tidak banyak yang bisa ia lakukan, selain hanya mengingat bahwa Tana ingin berjalan keluar tanpa kelelahan sekali saja. Maka tercetuslah acara super dadakan begini, melihat pemandangan taman bermain dari mobil. Konyol.
"Maaf, hanya bisa membawamu sampai sini."
Masih dengan senyum sumringah yang tertahan, Tana lantas membalikkan badan, mempertemukan iris mereka setelah perjalanan penuh akan kesunyian. "Tidak apa-apa, sudah dari lama aku mau keluar lebih sering. Setidaknya untuk sekarang, bisa mengenang memori semasa kecil," jawabnya kemudian mengarahkan kepala ke luar jendela. "terima kasih."
Sungguh, Brian memang tepat dijadikan pemegang rekor sebagai pengagum rahasia terpayah di dunia jika boleh dikata. Barang setelah mengenal Tana lebih jauh sedikit saja, masih banyak hal yang belum ia ketahui secara pasti kenapa.
Contohnya sekarang, ia tidak tahu bahwa kemungkinan tanpa dasar yang ada dalam benaknya semalam mengenai: mayoritas gadis menyukai anak kecil. Akan membuat tingkatan bahagia milik Tana benar-benar mendekati jumlah tertinggi.
Siapa yang sangka pula, hingga detik di mana Bibi penjaga rumah menanyakan hal yang sama kembali, "Tamu Nona, ya?" Gadis itu bahkan masih menikmati dunianya, tidak berhenti menyangkut pautkan segala sesuatu mengenai para anak kecil berlarian dan bermain ayunan.
Brian menutup pintu kamar menggunakan kaki perlahan dengan kedua tangan menggengam segelas air putih, beberapa obat berukuran kecil, serta satu piring penuh berisi biskuit.
Sesekali ia memandangi Tana yang tengah melompat kecil dalam keadaan terduduk, tersenyum samar sebelum meletakkan semua hal tersebut ke atas nakas dan bergegas mengambil kursi kayu dari meja belajar untuk ia posisikan pada samping ranjang.
"Bri, kalau masih ada waktu, ajak aku berkeliling lagi, ya?" Suara Tana sedikit memelan pada bagian akhir, bertepatan saat kelima jemari Brian memutuskan untuk bergerak menyusuri rambut depan si gadis. Sedikit basah, bekas mandi sore tadi.
"Boleh. Mau ke mana?"
Ada jeda mengisi. Brian masih menunggu, sementara Tana tampak mengarahkan kepala ke arah langit-langit, berpikir dengan keadaan bibir bagian bawah tergigit sedikit. "Museum. Aku rasa tubuh ini masih kuat kalau disuruh berkeliling satu tempat. Buktinya kemarin-kemarin aku bisa bertahan lama di sekolah, bukan?"
Brian ingin tertawa, tentu. Ia jadi semakin meyakini bahwa bukan ialah pengagum rahasia terpayah di dunia, melainkan Tana saja yang terlalu sulit ditebak isi kepalanya.
Banyak sekali keinginan Tana yang justru berbelok jauh dari prakiraan Brian. Ini betulan. Gadis yang ia pikir begitu anggun dan tak acuh, nyatanya cukup sensitif juga misterius. Walau tetap manis, sih meski begitu.
"Ibu menggenggam tanganku di musim dingin ke sekian menuju pintu masuk museum. Beliau memperkenalkanku mengenai beragam sejarah yang ternyata cukup berat dicerna anak berumur enam tahun," timpal Tana sambil terkekeh ringan. "walau bisa dihitung jemari, tetapi berpergian ke museum bersama Ibu menjadi salah satu momen berharga dalam hidup. Kamu tahu kenapa?"
Brian menggeleng kecil, memangku dagu menggunakan sebelah tangan dengan mata mawas hingga si gadis di hadapan mulai tersenyum kecut.
"Karena kunjungan ke museum adalah hal terakhir yang bisa Ibu lakukan secara leluasa, sebelum terkena penyakit sama yang aku derita."
Brian otomatis menegapkan tubuh, menarik fokus perhatian dari wajah ke telunjuk Tana yang bergerak gelisah mengelus kancing pada piyama putih miliknya. Terhisap penuh pada memori lama.
"Aku tidak boleh menganggap penyakit ini sebagai beban. Dibanding Ibu yang harus tetap melaksanakan kewajibannya mengurus aku dan Ayah yang hampir menggila, bebanku masih tetap bukanlah apa-apa."
Tidak ada suara balasan apapun dari lawan bicara. Karena paham akan nihilnya respons, maka Tana memutuskan untuk diam. Entah karena ia merasa terlalu banyak mengungkap fakta pahit menuju permukaan, atau membuat dirinya terlihat memuakkan. Tana tidak tahu pasti.
Kini manik gadis tersebut terbuka secara spontan, mendapati eksistensi satu tangan besar menggantung pada puncak kepala.
Suaranya melemah ketika berbicara, "Jika alasan terkuat kedua di balik taman bermain hari ini adalah mengenai sosok Ayah—apa bisa aku berperan sebagai tokoh ketiga pria dan kali kedua dari seribu kemustahilan yang pernah ada, Tana?"
Tana bukanlah manusia hebat yang mampu membaca pikiran. Ia juga tidak mengerti apa yang tengah Brian gumamkan saat ini merupakan suatu kebenaran, atau kesalahan pendengaran?
Namun Tana hanya mampu bergeming tanpa bereaksi. Terlepas dari bagaimana Brian yang mendadak saja berdiri dari kursi, melangkahkan kaki dalam gerakan lambat menuju pintu dan menimpali, "Aku akan segera pulang. Sebentar, aku panggil Bibi."
Brian menghindar. Mungkin malu? Memang sejak kapan ia menjadi mudah terpancing oleh topik yang gadis itu bawa? Biasanya juga ia selalu menahan geram tiap Tana berniat untuk memulai sebuah konversasi—karena pasti akan berakhir membahas tentang kepasrahannya akan mati.
Kemudian tanya yang Brian ajukan lantas terlintas dalam benak, membungkam kembali kedua katup bibir serentak.
Iya, ini perihal Brian yang tanpa sadar sudah mengakui bahwa eksistensinya merupakan suatu bukti akan beribu kemustahilan yang pernah terjadi. Padahal gadis itu sudah berekspetasi mengenai alam abadi tanpa susah payah harus meninggalkan seseorang di sini.
Tuhan tidak akan mengizinkanmu pergi tanpa ada kenangan baik.
Maka jika benar, ia jadi semakin penasaran akan maksud lisan si pemuda sendiri. Tana berharap dapat segera mendengar sebuah jawaban pasti. Setidaknya sebelum fajar lebih dahulu menghampiri bumi.
"Sampai bertemu besok, Bri. Semoga intuisiku tidak meragu lagi."