pre·ten·si
(2) perbuatan berpura-pura.
(4) dalih.***
Kalau kamu mengira bahwa orang-orang yang semula berada di titik terendah tak akan sanggup melesat hingga lapisan tertinggi secara cepat, mungkin kisah pemuda ini akan mematahkan bagaimana caramu berpendapat.
Sama seperti yang lain, ia juga tersisih, tidak dianggap, serta memiliki banyak sekali nama pemberian dari satu angkatan.
Bahkan wajah Wonpil yang rupawan tidak mengurangi niatan mereka untuk menjatuhkan. Justru, itulah poin kedua yang menjadi alasan mendasar mengapa ia diberi predikat sebagai pecundang sekolahan.
Bagian terpenting dari kisah ini bukan mengenai Wonpil yang hampir tiap malam terpaksa harus menelan beberapa butir obat penenang. Tidak pula mendeskripsikan bagaimana kesendirian sosoknya yang sangat memerlukan kawan hanya sekadar untuk menemani saat makan, atau duduk bersebelahan.
Namun lebih mengarah pada Wonpil yang tahu kalau tidak semua orang di dunia ini waras. Tidak semua orang memedulikan bagaimana para manusia lain mengomentari segala macam hal yang bisa dikatakan melenceng jauh dari keinginan mayoritas. Kurang lebih, itulah yang Wonpil temukan dari seorang murid pindahan bernama Arum.
"Wonpil, temani aku berkeliling, ya?"
Ia berusaha menetralkan keterkejutan, menghindari tatapan sekitar yang cenderung mendiskriminasi. Pasrah akan tautan tangan yang membelenggu, si pemuda jadi semakin menimang kesan pertama apa yang mungkin bisa ia jabarkan mengenai Arum. Kira-kira seperti, murid pindahan yang tidak suka hidup tenang.
Wonpil kira Arum akan berhenti setelah mengetahui fakta bahwa nama pemuda yang menemani setengah hari pertamanya kemarin merupakan bahan olok-olokan utama majalah dinding. Akan tetapi kejadian tersebut terulang.
Di kelas akhir pun, Arum sering ia temui berdiri dekat gerbang depan sekolah pagi-pagi, menanti dengan wajah terkantuk lalu menggumam, "Aku menunggumu, Won. Dari mana saja?"
Meski kehadiran Arum kini mampu menoleransi kalimat ‘sekolah adalah neraka kedua’ pada kamus milik Wonpil, tetapi tetap saja ia terus gencar menyadarkan Arum akan sekat tipis yang menghalangi mereka berdua. Arum harus sadar, ia terlalu berharga untuk menjalin pertemanan dengan seorang sampah.
"Wonpil bisa bermain bola!" ucapnya lantang sembari mengangkat satu tangan kosong si pemuda. Sedang sang empunya nama hanya bisa mencoba bereaksi tenang, walau area wajah jelas sudah memucat duluan.
Bagaimana tidak? Lagipula Arum sudah pasti mengerti, penyebab utama mengapa Wonpil diperlakukan sangat tidak baik di sekolah adalah karena pandangan orang-orang yang menganggap hal normal yang biasa para kaum adam lakukan dengan mudah, tidak bisa Wonpil lakukan sesuai standar mereka. Contoh kecil saja, olahraga. Banyak dari mereka menganggap, bahwa fisik Wonpil itu lemah menyerupai seorang dara.
"Benar, nih? Kalau begitu, ayo, bermain bersama kami."
"Jangan bertingkah seperti perempuan, Won."
Begitu para kumpulan pemuda berjalan mendahului ke arah lapangan, di sanalah tubuh Wonpil mendadak stagnan. Ia lantas menolehkan kepala ke belakang untuk melihat sekilas presensi Arum yang tengah mengepalkan kedua tangan sambil membisikan kata semangat.
Wonpil menyunggingkan senyum tipis, masih tidak mengerti mengapa Arum mendadak bersikap seperti tadi. Sungguh, ia tidak memiliki praduga mengenai apapun.
"Wonpil bisa bermain piano." Begitu kalimat tersebut terlontar, cepat saja jeritan beberapa gadis menggema di sekitar kelas. Rupanya, pekikan mereka juga mengundang beberapa murid lain untuk menggabungkan meja pada bangku milik Arum—ikut mencuri dengar.