Jae

7K 654 159
                                    

fa·ta·mor·ga·na
(2) hal yang bersifat khayal dan
tidak mungkin dicapai.

***

Keheningan sore menjelang malam saat itu tak bisa berlangsung lama. Mulut Jae sudah gatal untuk berbicara daripada diam menaruh perhatian secara percuma. "Kak, kenapa skill bermain gitarmu jauh lebih bagus?"

Raeina, gadis berpawakan mungil dengan kaus panjang hitam kesayangannya hanya bisa tertawa, bahkan sampai melepas jemari lentik yang berada pada tiap-tiap senar sambil memukul pundak Jae berulang. "Kok tanya begitu? Ya, jelas karena aku lahir lebih dulu, menyentuh gitar lebih dulu daripada kamu. Mengaku 'kan sekarang kalau aku hebat?" tanya Raeina menggoda. Sedang Jae yang berada di samping hanya bisa mangut-mangut mengerti, berusaha paham walau tetap nihil.

Kini permainan lagu kedua dimulai oleh Raeina terlebih dahulu. Dan Jae juga sudah siap menimpali. Tak jarang pula telapak tangannya berdenyut akibat pukulan lumayan bertenaga dari Raeina. Memang begitu cara ia mengajar, 'Satu pukulan sama dengan satu hadiah dari not salah yang kaumainkan.'

Di tengah-tengah lagu bernada tenang itu dimainkan, tiba-tiba suara pintu diketuk membuyarkan atensi. Sama seperti Jae, Raeina pun memutuskan untuk berdiri menghadap depan pintu. Lebih tepatnya, pada seorang wanita paruh baya yang baru saja masuk dari sana. Sang tuan rumah, Ibu Jaehyung.

"Ini gajimu untuk satu bulan. Ajari terus Jaehyung sampai handal memainkan gitar. Ingat, dia aset keluarga." Wanita itu segera melemparkan sebuah amplop cokelat beraroma asing pada Raeina begitu ringan. Setelahnya, barulah ia berjalan menjauh dan berucap tegas sebagai pesan penutup, "Jangan membuatku kecewa ... miskin."

Raeina tersenyum setelah membungkuk hormat dan berakhir dengan debuman keras pintu tertutup menggalun pada kedua telinga. Itu wajar.

"Kenapa kamu masih menghormati Ibu?" tanya Jae datar, melihat bagaimana Raeina diperlakukan jauh dari kata baik. Si gadis menoleh, memasang senyum sumringah. "Beliau yang memberiku kesempatan untuk hidup dari uang ini. Jadi, kenapa harus tidak dihormati?"

Jae diam. Atmosfer seperti ini selalu datang setiap kali Ibu memberi Raeina gaji bulanan. Ini bukan masalah mengenai, 'Kenapa para manusia bodoh itu mau saja diletakkan pada posisi sederajat mata kaki?' Jelas, beda. Ini perihal mengapa wanita berlabel Ibu yang hanya ingin mendapati sorotan serta pengakuan publik dengan menggunakan anak lelakinya sebagai temeng malah diperlakukan secara manusiawi? Bajingan. Ia bahkan tidak pernah memanusiakan manusia lain.

"Sudah ... ayo, kita teruskan. Sampai bagian mana tadi?" Raeina sudah siap dengan gitar akustik dalam genggaman, hanya tinggal menunggu presensi Jae untuk duduk, namun pemuda itu masih diam memperhatikan.

Raeina sudah sepenuhnya memunggungi Jae ketika ia bersuara, "Ada apa? Kembalilah ke posisimu." Jae berjalan, kemudian duduk sesuai perintah. Namun ketika satu petikan gitar terdengar, justru saat itu pula Raeina berusaha menahan amarah yang mendadak muncul.

Tanpa aba-aba, Jae berdiri, lantas membanting gitar mahalnya ke atas lantai, meludahi, memukul, dan menginjak tanpa kenal ampun hingga menimbulkan suara luar biasa gaduh ke sekitar ruangan.

"Hentikan, gila!"

Jae berhenti, menuruti perintah lagi. Lagipula, apa yang selalu ia dengar selain peraturan, tata tertib, dan bermain cantik? Jadi saat tangan Raeina telah sepenuhnya bebas, Jae lantas jatuh tersungkur ke dalam sana.

Terkadang ia sendiri tidak mengerti, betapa melelahkan rasa penjara keluarga yang membuatnya ingin mati.

Suara petikan gitar yang pernah Ayahnya ajarkan dahulu bagai surga. Walau tak berlangsung lama, tapi lucu juga jika mengingat fakta bahwa Ayahnya telah angkat kaki dari rumah. Bertengkar hebat sewaktu umur Jae baru menginjak angka lima.

Katanya, tidak kuat. Beliau miskin, anak buangan yang kebetulan dapat bantuan seorang wanita dari golongan sendok perak.

Katanya lagi, cinta. Tapi Ibu sangat pandai membual, menggunakan beliau sebagai pihak kedua di rumah bertakhta istana. Sekarang, semua beban Ayah dilimpahkan padanya, pada Jae yang harus selalu tampil sempurna sebagai temeng nama baik keluarga.

"Kak, kenapa skill bermain gitarmu jauh lebih bagus?"

Gitar pemberian Ayah telah hancur tak berbentuk. Raeina masih tidak bisa mendengar suara Jae secara jelas, apalagi iris hitam yang selalu melebar taktala ia berhasil memainkan lagu dengan benar. Masih belum nampak.

"Kamu ingin tahu?" sahutnya, lalu perlahan mengusap puncak kepala Jae yang dibalas anggukan kecil. "Aku menjadi pejuang sejak lahir. Sepertimu. Jadi, apa kamu mau mengaku bahwa kita berdua sama-sama hebat?"

Jae merespons dengan menggelengkan kepala, diselingi hela napas remeh seolah tak membenarkan sama sekali jawaban cenderung asal tersebut. Menurutnya, itu mirip seperti reaksi tanpa simpatik milik mereka.

"Jae, kamu pasti bisa."

"Sabar, ya."

"Kamu 'kan lelaki!"

"Jangan lemah!"

"Begitukah? Betapa menyedihkan."

"Memang. Tapi karena bisa bertahan di dunia sehancur ini dengan berpikir bahwa kasih sayang merupakan fatamorgana, aku bangga ... walau ironi sering tertawa."

Lakuna ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang