WHO?

85 3 0
                                    


Dengan menunduk aku mencoba mengalihkan perhatianku dari pemikiran tadi. Kini aku hanya bisa menatap tidak enak ke punggung Nega. Sehabis shubuh tadi, papa dan Nega memutuskan untuk berdiskusi sejenak di balkon dekat kamar tidurku. Sedang aku dan mami memutuskan untuk menyiapkan sarapan pagi untuk semua orang.

Untung saja abangku tidak ada di rumah karena kemarin malam dia memutuskan untuk pergi lembur di kantornya. Terpaksa dia menginap disana juga. Aku sangat yakin jikalau pagi ini dia akan pulang, ya meski sekadar mandi dan berganti pakaian. Tapi nyatanya dia hanya muncul saat kami selesai sarapan.

Aku bergumam, jantungku kembali berdetak tak karuan. Bahkan aku sempat berpikir apakah aku memiliki riwayat penyakit dalam, khususnya jantung mungkin. Tapi mengapa harus akhir-akhir ini aku merasakannya? Sungguh membingungkan.

"Kenapa, Ume?  Kok kelihatannya gelisah begitu" tanya nega tiba-tiba, pasti dia melihat ekspresi wajahku dari cermin spion.

Jujur saja, aku kaget dan mengerjapkan mataku beberapa kali. Aku tahu kini kami tengah terjebak lampu merah dan itulah mengapa Nega berani bertanya kepadaku, mungkin.

Aku menggeleng, bodoh bukan? Dia sedang membelakangiku tapi aku bertingkah seakan-akan dia tengah menatapku. Ah sungguh konyol.

"Ume? " panggilnya lagi

"Uh, ume baik-baik saja kok" sahutku kikuk

"Ume mau tahu satu fakta? "

"Apa? " aku berujar enggan.

"Biasanya kalau seseorang berbicara dengan nada cepat dan disertai dengan kata 'kok' dibelakangnya, kemungkinan besar dia sedang berbohong, ya setidaknya menyembunyikan sesuatu" jelas Nega enteng. Dia mengatakannya seakan bukan aku yang akan merasakannya kali ini. Entah disengaja atau tidak, itu menyinggungmu.

Aku menegang seketika, aku yakin jikalau air mukaku sudah berubah pucat. Aku merutuki kebodohanku, kenapa Nega harus mengatakan hal itu? Jelas-jelas aku merasa tersinggung dibuatnya.

"Yaudah kalau tebakan Nega benar juga gak apa-apa. " ujar Nega lagi.

Aku hanya terus terdiam, lidah ini rasanya kelu hanya untuk sekadar mengucapkan sesuatu hal yang sedari tadi ingin aku katakan.

Mungkin aku harus menunggunya tiba di sekolah terlebih dahulu. Tapi itu cukup lama, apa aku harus memberitahu nega sekarang saja? Oke akan aku lakukan

"Nega, kalau Ume boleh tahu, tadi papa ngomong apa aja sama Nega? Papa gak marahin Nega kan? " tanyaku lirih

Nega tiba-tiba menggeleng dan itu sungguh membuatku sedikit lega. Setidaknya papa tidak membuat anak orang lain bersedih karena ulah ucapannya yang terkadang menusuk relung hati itu.

"Papa Ume cuman bilang kalau Ume gak boleh punya hubungan khusus sama lawan jenis dulu"

"Lho, kok papa jadi bahas hal itu sama Nega? "

"Ume, percaya deh. Papa Ume itu sangat sayang sama ume. Dia gak mau kalau Ume sakit hati lagi"

"Apa papa cerita soal itu juga? "

"Iya "

Aku menghela napas dalam-dalam. Seharusnya papa tidak mengatakan hal itu pada siapapun termasuk Nega. Aku tahu itu masa lalu yang buruk tapi aku pun tidak pernah bisa melupakannya. Sama sekali tidak bisa. Bagiku seseorang di masa laluku itu sangatlah berharga, sungguh.

"Seharusnya Nega gak tahu itu" lirihku lagi

"Lho kenapa gak boleh tahu? " tanyanya. Dapat kurasa nada tidak suka dalam cara bicaranya

Apakah Nega marah?

"Ya, Ume rasa itu hal tabu. Nega pasti tahu itu cuman masa lalu, dan sampai sekarang pun Ume belum bisa hapus semua itu, sama sekali belum"

"Ume pasti bisa, Nega  selalu percaya sama Ume "

"Makasih" ujarku pelan

Lagi-lagi aku tersenyum, bodoh. Sebegitu perhatiannya nega kepadaku. Tanpa aku ketahui sedikit pun bahwa waktu itu dia memang sengaja melakukan hal itu. Di depan kami rupa gerbang sekolah sudah mulai nampak, banyak siswa-siswi yang berlalu-lalang di sana. Tak jarang juga beberapa pasang mata itu menatap kedekatanku dengan nega. Ya, itu hal yang cukup menyebalkan.

PEKA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang