Aku membenarkan letak penutup kepalaku. Merapikannya sedikit dan menoleh ke arah ketukan pintu yang mendera. Sepertinya sosok yang sedari ku tunggu sudah sampai. Aku tersenyum, melihat pantulan bayanganku lagi sembari tersipu malu dan merasa bingung pada diriku sendiri.
Selesai bersiap-siap aku pun segera menyambar tas selempang kecilku dan membawanya ke lantai bawah. Baru saja menapaki tangga sudah bisa kulihat sosok itu tengah asik mendiskusikan sesuatu dengan papa.
Pssttt, dia bilang itu urusan pria dewasa. Dia bahkan melarangku untuk mengetahuinya. Tentu saja aku sempat marah padanya, tapi saat ku tanyakan hal itu pada papa jawabannya pun sama saja. Mereka berdua benar-benar bersekongkol ternyata.
Aku masih merasa dongkol dan menendang kekesalanku kepadanya.
Melangkah dengan cepat, aku beralih ke dapur dan menuangkan segelas air putih yang dingin. Aku membelakanginya dan saat aku berbalik, tatapan kami bertemu. Dia tersenyum manis padaku dan kembali menimpali pendapat papa. Mereka sepertinya benar-benar menikmati diskusi ini.
Aku sengaja berjalan melewati mereka. Tentu saja dengan tampang menyebalkan yang aku punya.
"Yume" panggil papa
Aku menoleh sejenak dan mendekati papa sehingga papa menarikku untuk duduk bersama mereka.
Aku tentu saja mengikuti permintaan papa dan ikut duduk bersama mereka. Sesekali ku dengar mereka membicarakan tentang demokrasi dan perbedaan, mereka terkadang membicarakan hal-hal berat seperti politik atau semacamnya.
Tapi papa selalu menyebutkan namaku sebagai candaan untuk menjahili Nega.Awalnya aku bingung, tapi lama kelamaan aku pun mengikuti alur permainan papa. Nega terus saja tertawa lantang, aku bahkan belum pernah melihatnya tertawa seperti itu. Dia hanya selalu tersenyum saja. Tapi melihatnya seperti itu membuat pipiku kembali menghangat
"Yaudah deh om. Kayaknya Nega sama Ume mau berangkat sekarang aja deh. Takutnya nanti kemalaman, nanti om marah lagi anak gadisnya dibawa Nega terlalu lama"
Papa tertawa lantang, aku mengerut bingung. "Asalkan itu sama nak Nega sih om percaya aja"
"Lho kok gitu pa? Kalau aku diapa-apain sama Nega gimana?" tanyaku tidak terima dengan jawaban enteng papa.
"Ya, memangnya kenapa? Nak Nega ini anak baik-baik kok, ya papa tenang aja kamu pergi sama dia"
"Tapi kan seharusnya papa gak asal kasih aku gitu aja. Biasanya papa kekang aku, kok sekarang berubah?"
"Jadi kamu mau dikekang papa?"
"Ya, enggak juga" lirihku
"Terus mau gimana?"
"Ini papa serius gak larang Ume sedikit pun?"
"Gak. Toh nak Nega sudah ijin baik-baik sama papa"
Aku merasa dongkol dengan pernyataan papa barusan. Memang tidak ada yang salah tetapi tetap saja aku kesal dibuatnya. Ku lirik Nega yang sedari tadi hanya terdiam menatapku lekat, sepertinya dia acuh dengan perdebatanku dan papa. Tak mau berlama-lama, ku raih tas selempang kecilku dan segera menyalami papa dan mama lantas melenggang pergi ke luar rumah.
"Nega pergi dulu ya om. Nanti anak gadisnya Nega kembalikan jam 9 malam. Assalamu'alaikum" dapat kudengar ujaran nega yang diangguki mantap oleh papa
Itu membuatku kembali kesal. Katakan saja aku labil, tapi aku memang begitu. Kesal karena tidak tahu apa yang mereka rencanakan.
"Ayo Ume!" ajaknya
Aku segera naik ke atas motor maticnya dengan tampang yang masih saja sama. Aku terisak, entah kenapa aku pun tak tahu.
"Ume kenapa? Kok nangis"
"Ume gak apa-apa"
"Apa Ume nangis karena Nega? Kalau iya, Nega minta maaf. Atau lebih baik kita balik ke rumah Nme aja, Nega gak keberatan kalaupun Ume gak mau jalan malam ini"
"Gak ada apa-apa, Ume cuman kesal aja. Mungkin karena mau dapat tamu bulanan. Nega fokus sama jalan aja" elakku.
Samar-samar aku melihatnya menganggukkan kepala, dia tahu aku berbohong, namun dia lebih memilih diam
Nega memberhentikan motornya di sebuah pasar malam. Ramai sekali pengunjung yang berseliweran disana. Untuk pertama kalinya dia menggenggam tanganku. Menelusupkan jari-jarinya dan mengusap tanganku pelan
Dan rasanya hangat, nyaman.
"Ume dinginkan?"
Aku hanya diam, mengigit bibir bawahku seperti saat sedang gugup dan tak bergeming sedikit pun.
"Ume duduk dulu disini ya, jangan kemana mana. Nega mau beli sesuatu "
Dan benar saja, dia membelikanku sebuah jaket dan memintaku untuk memakainya. Nega memang pria baik, benar kata papa. Dan tidak seharusnya aku kesal padanya.
"Nega, maaf"
"Hm? " dia menatapku bingung, alisnya sedikit terangkat.
"Maaf" lirihku
"Untuk?"
"Ume sempat kesal sama Nega tadi. Tapi sekarang enggak. Ume tahu apa yang Ume lakukan itu gak benar."
Dia tersenyum, begitu manis. Aku baru sadar bahwa dia memiliki dua lesung pipi yang tidak begitu dalam tapi mampu terlihat saat dia tersenyum seperti ini.
"Wajar sih, ume kan emosional"
"Tuh ya, ejek aja terus. Ume marah lagi aja deh" kataku memberenggut kesal.
Aku berdiri dan meninggalkannya, bodo amat dengan dia yang terus saja memanggil namaku padahal banyak orang yang sedari tadi memperhatikannya.
Ku akui Nega memang tampan, malam ini. Ralat, maksudku dia memang selalu tampil memukau setiap saat. Bahkan kenapa harus disaat-saat seperti ini aku baru menyadarinya.
"Ume, Nega suka sama kamu sejak tujuh tahun yang lalu"
Aku menghentikan langkahku seketika itu juga. Tanganku bergetar dan minuman yang tadi Nega belikan bersama jaket itu pun terjatuh dengan sendirinya.
"Ume"
Aku menoleh ke arahnya dan seketika semua menjadi gelap.
KAMU SEDANG MEMBACA
PEKA ✔
Short StoryPeka [complete] 🌿 Based on true story 🌿 Bukan dia yang acuh, tapi nyatanya aku yang tidak mengerti perasaannya, aku tidak peka. Dia, cowok bermata sipit itu. 👑 Dapat menyebabkan baper parah dan keinginan memukul orang yang tidak peka. An : Tah...